Sep 9, 2009

Renungan Ramadhan: Mengenal Kematian

Sebuah renungan di bulan Ramadhan yang mulia. Suatu hari Imam Ghazali bertanya kepada para muridnya, 'siapakah yang paling dekat dalam kehidupan kita di dunia ini?' Para muridnya menjawab sesuai dengan pengalaman yang mereka alami sendiri. Seorang murid menjawab, bahwa bahwa orang tuanyalah yang paling dekat dalam kehidupannya. Yang lain menjawab temannya dan yang lain lagi menjawab gurunya.

Imam Ghazali kemudian menjelaskan, bahwa jawaban murid-muridnya itu pada dasarnya benar semuanya. Tetapi ia kemudian menjelaskan bahwa sesungguhnya yang benar-benar paling dekat dengan kehidupan adalah sang maut, kematian.

Ghazali benar. Apa yang ditegaskan oleh Sang Hujjatul Islam itu sebenarnya sebuah peringatan kepada para muridnya (juga kepada kita semua) betapa kita seringkali melupakan kematian yang setiap waktu bisa mendatangi kita. Kita sering menganggap bahwa kematian adalah sebuah peristiwa yang terjadi jauh di ujung sana (padahal kematian adalah hal yang paling dekat dengan kehidupan).

Mengapa kematian dianggap sebagai sesuatu yang paling dekat dalam kehidupan kita, mengalahkan orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita? Karena kematian adalah keniscayaan, sebuah kepastian. AL-Qur'an dalam surat Ali Imran menyebutkan bahwa segala yang hidup pasti akan mengalami kematian.

Kepastian akan datangnya kematian merupakan fakta sejarah yang tidak bisa dibantah dan diingkari oleh manusia. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini sudah membawa takdirnya sebagai mahluk yang kelak pasti akan menemui kematiannya sendiri. Kepastian ini bersifat mutlak dan tidak bisa dirubah oleh manusia yang paling berkuasa di muka bumi sekalipun (kalau ada).

Kita tentu ingat dialog antara Nabi Ibrahim dengan raja Namrud, yang sesumbar mengaku mampu menghidupkan dan mematikan manusia. Kemudian Namrud membuktikannya dengan membunuh orang yang ia kehendaki dan membiarkan hidup yang lainnya. Akan tetapi, kita semua tahu bahwa Namrud sendiri tidak bisa menolak takdirnya. Menolak kematiannya yang tragis: mati karena seekor nyamuk yang masuk kedalam telinganya.

Karena kepastiannya bersifat mutlak, maka kematian akan terus mengikuti ke mana pun kita pergi. Detik-detik hidup kita akan selalu diintai oleh kematian. Tak ada barang sejengkal pun di atas muka bumi ini, bahkan di seluruh alam jagat raya ini tempat yang steril yang bisa membebaskan kita dari maut, dari kematian. Semuanya bisa dijangkau oleh maut, oleh kematian. Kapan pun dan di mana pun ia hendak menghampiri kita.

Jika kematian merupakan kepastian yang tidak bisa ditawar, maka tak ada yang paling pantas kita lakukan selain mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Megapa demikian? Karena kita yakin bahwa kematian bukanlah akhir perjalanan kita. Kematian hanyalah sebuah dermaga, sebuah terminal atau stasiun yang harus kita lalui untuk menuju dunia lain. Sebuah pintu untuk membuka dunia yang abadi tempat kita memetik dan menuai. Dan kita semua tahu, yang akan kita petik dan tuai di sana tidak lain adalah apa yang kita tanam dan kita semai di sini, pada hari ini.

Sabtu, 4 September kemarin, seorang sahabat saya datang sehabis sahur ke rumah saya. Dia datang sambil bercucuran air mata, menangis. Sambik tersedu-sedu dia bercerita bahwa adiknya yang bungsu, adik perempuan satu-satunya telah meninggal dunia. Di sebuah Rumah Sakit di Ciamis. Sambik menangis, berhamburan kalimat-kalimat penyesalan, ketidak percayaan, pertanyaan-pertanyaan kenapa dan mengapa. Mepertanyakan tentang hidup, kematian dan bahkan takdir Tuhan.

Saya tidak tahu harus berbuat apa. Hanya memeluknya dan meminta sahabat saya itu untuk sabar dan sadar. Sabar dan Sadar, hanya itu yang mampu saya ucapkan untuk menenangkannya. Innalillahi wainna ilaihi raji'un. Kita semua milhk Allah dan akan kembali kepadanya.

Semoga beristirahat dengan tenang.
Tri Adjeng Lismaya