Sebuah cerpen yang menggambarkan tentang kasih ibu dan anak. Alur cerita yang menarik, dan suguhan konflik yang sederhana tapi bermakna sangat dalam. Cerpen tentan kasih ibu ini layak dibaca.
“Ampun! Ampun! Sakit!” jerit seseorang di dalam rumah.
“Tidak tahu untung! Anak tidak berguna! Heeeeh rasakan!” maki wanita dalam rumah itu.
“Ampun, Mak! Ampun!” jerit anak itu.
“Awas kalau kau berani permalukan Mak lagi!” wanita itu akhirnya mereda.
***
Layang-layang
merah itu terbang tinggi. Begitu gagahnya seolah-olah ingin
menyombongkan diri. Sore mulai terlihat kemerah-merahan namun angin
masih bertiup lembut. Sesekali Bima menyeka peluh yang mengalir di
dahinya dengan tangan. Kulitnya yang legam tampak mengkilat dengan
keringat di sekujur tubuhnya. Tiada kesenangan yang pernah Bima rasakan
selain bermain layang-layang bersama teman-temannya. Sepulang sekolah,
selepas membantu ibunya menjual makanan bagi para buruh bangunan di
ujung jalan kampungnya, Bima menyempatkan diri untuk bermain
layang-layang. Ibunya hanya seorang buruh cuci di kompleks perumahan
elit di sebelah kampungnya.
Hari mulai gelap. Bima dan teman-temannya beranjak pulang.
PLAAK!!
Tamparan
itu tepat mendarat di muka Bima. Ia meringis kesakitan. Entah untuk
keberapa kalinya ia menerima tamparan dari Mak, ibunya sendiri.
“Anak kurang ajar! Mengapa jam segini baru pulang, hah?” maki Mak.
Senja itu Bima memang pulang agak larut. Ia membantu temannya mengambil layang-layang yang tersangkut di pohon.
“Ampun, Mak! Ampun! Bima janji tidak akan mengulanginya lagi,” ujar Bima sambil meringis.
Mak
menjambak rambut Bima dan menyeretnya duduk di kursi tua rumah gubuk
itu. Mak tak mempedulikan Bima yang berteriak kesakitan. Hari itu Bima
kembali dihukum oleh Mak. Sapu lidi itu diangkatnya tinggi-tinggi dan
dihantamkannya ke badan Bima berkali-kali.
Kasih ibu…
***
Bapak.
Sosok
itu tidak begitu dikenal Bima. Bapak sudah mati. Begitulah pemahaman
Bima tentang Bapak. Usianya kira-kira lima tahun saat melihat Bapak
ditanam kedalam tanah. Bima hanya bingung melihat semua orang menangis
sementara Bapak terbungkus kain putih. Sejak saat itu Bapak tidak
pernah terlihat lagi.
Mak.
Perempuan
ini selalu menyiksa Bima apapun alasannya. Bima tidak pernah benar di
mata Mak. Cubit, tampar, pukul, jambak, atau melemparkan sesuatu ke
tubuh Bima adalah hal yang kerap dilakukan Mak apabila merasa kesal
pada anak itu. Sepertinya kasih sayang Mak pada Bima sudah tidak
bersisa. Semua itu ketika Bapak telah pergi.
Bima.
Anak
malang yang selalu disiksa oleh Mak. Hari-harinya dihabiskan untuk
sekolah, membantu Mak, dan bermain layang-layang. Bima tidak pernah
mengerti mengapa Mak selalu menyiksanya. Seperti ia tak mengerti
mengapa perempuan jahat itu harus dipanggil dengan sebutan ‘Mak.’ Bima
hanya menerima saja hidup yang diberikan padanya. Sekalipun Mak kejam,
tapi Mak yang memberi ia makan dan tempat tinggal selama ini. Pun Mak
yang mengijinkannya sekolah dan bermain. Bima hanya punya Mak.
Begitulah pikirnya.
***
Wajahnya
pucat pasi. Bibirnya bergetar hebat. Langkahnya terasa amat pelan dan
gontai. Bima benar-benar ketakutan. Saat menjual makanan tadi,
sekawanan preman menghadang dan merampas uang hasil jualannya siang
itu. Ludes semuanya. Bima takut pulang ke rumah. Takut dimarahi Mak dan
dipukuli lagi. Lebam di kepalanya belum sembuh benar akibat pukulan
benda keras oleh Mak kemarin sore. Namun kali ini pastilah ia tak dapat
lari dari hukuman Mak.
“Apa?” pekik Mak.
“Maafkan Bima, Mak! Tapi mereka…”
Plaaak!
Wajah Bima menghantam ujung tempat tidur di kamar Mak. Ia mengerang
kesakitan dan memegangi kepalanya. Darah segar mengucur dari hidung
anak malang itu. Cairan berwarna merah menodai baju seragam sekolahnya.
Bima memalingkan wajahnya kepada Mak. Berharap Mak kasihan melihat
keadaannya. Namun,
“Dasar kamu, Bima! Tidak berguna! Malam ini kamu tidak dapat makan!” teriak Mak murka.
Kembali
diseretnya Bima, kali ini ke kamar mandi. Diguyurnya tubuh ceking anak
itu dengan air dingin. Lalu ia mengunci Bima, setidaknya sampai besok
pagi. Itulah hukuman untuk Bima karena kelalaiannya.
Kasih ibu…
***
Layang-layang
merah yang gagah dan biasanya terbang tinggi tidak terlihat sore itu.
Begitu pula si empunya layang-layang tidak kelihatan batang hidungnya.
Matahari masih bersinar hangat sebelum membenamkan diri. Beberapa
anak-anak asik bermain layang-layang. Mereka berlomba layang-layang
siapa yang paling tinggi dan kemudian mengadunya. Berlarian kesana
kemari, mereka tampak girang sekali. Seolah-olah mereka lupa bahwa si
layang-layang merah kebanggaan mereka tidak ada. Bahkan sampai senja
menyeruak pun sosok itu tidak kunjung tiba.
Bima
menggigil. Tubuhnya bergetar hebat. Dia tidak sadar bahwa hari
menjelang malam. Hanya bulir-bulir air mata yang tumpah menemani
sesalnya. Bima menyesal. Sekali lagi ia telah membuat Mak kecewa dan
marah. Dan ia harus menerima semua hukuman ini. Bima semakin menggigil.
Malam semakin dingin. Tapi tak satu kata keluar dari mulutnya. Bahkan
untuk memanggil Mak agar meringankan hukuman ini.
Kasih ibu…
***
Langit
sore yang cerah tampak lengang. Tidak terdengar riuh rendah suara
anak-anak bermain layang-layang. Sore itu terasa kosong. Bahkan saat
matahari mulai membenamkan diri dan langit berwarna kemerahan hanya
sepi yang terasa. Semua orang tengah berduka dan berkumpul di rumah
gubuk itu. Beberapa orang tampak membaca ayat-ayat suci dan mendoakan
kepergian seseorang. Hingga langit semakin pekat dan orang-orang itu
pun berpamitan.
Tadi
pagi-pagi sekali Mak akhirnya membuka pintu kamar mandi. Ditemukannya
Bima terkulai tak berdaya. Bibirnya pucat dan napasnya
tersengal-sengal. Darah yang keluar dari hidungnya telah mengering. Mak
iba. Diambilnya handuk dan diselimutinya Bima. Dengan tangan bergetar
dirabanya wajah anak itu. Air mata mengalir dari pipinya ketika ia
mencium Bima. Sudah lama sekali Mak tak melakukan hal itu. Ada
penyesalan dalam batinnya. Lalu kemudian Bima tersadar. Cepat-cepat ia
menarik tubuhnya dari Mak. Dengan tangannya yang lemah ia kibaskan
pelukan Mak. Pastilah Mak mau mencekiknya, pikir Bima. Ia merangkak
dengan cepat menjauhi Mak dan mencari celah agar ia bisa lari dari
kamar mandi itu. Mak berusaha menahan dan mencengkeramnya. Bima
meronta-ronta lemah. Habislah ia kali ini. Mak kembali memeluknya,
seketika itu pula Bima mendorongnya. Pastilah Mak akan memelintir
kepalanya, pikir Bima lagi.
Tadi
siang ramai warga kampung di pemakaman itu. Ketika semua orang perlahan
beranjak, sosok itu masih berdiri di samping makam. Ia menatap pada
tanah yang masih basah dan diselimuti taburan bunga mawar. Matanya
tidak basah oleh air mata, hanya tatapannya nanar. Ingin sekali ia
tidak mempercayainya. Mak terjatuh di kamar mandi tadi pagi. Ia hanya
ingin memeluk anaknya. Namun Bima ketakutan dan berpikir lain kemudian
mendorongnya. Kepala Mak membentur sudut bak mandi dengan keras. Darah
mengucur hebat dari kepalanya. Mak meringis dan menatap Bima. Air
matanya berlinang dan dari mulutnya terucap kata maaf. Bima hanya
mematung. Orang yang selalu menyiksanya selama ini tak bernapas. Mak
mati. Untuk pertama kalinya Bima akan terbebas dari siksaan Mak.
***
Orang-orang
berpamitan pada Bima. Kini bocah itu sendirian di rumahnya malam ini
dan seterusnya. Tidak ia hiraukan ajakan kerabatnya untuk tinggal di
rumah mereka. Bima hanya ingin menikmati kebebasan ini sendiri saja.
Mak sudah pergi dan tak ada lagi yang menyiksanya. Tetapi perlahan Bima
merasa sepi. Ia rindu teriakan Mak yang menyuruhnya tidur. Ia rindu
makian dan pukulan Mak apabila ia melakukan kesalahan. Akhirnya Bima
menangis. Ia tahu bahwa sesungguhnya Mak pastilah sangat menyayanginya.
Namun malam ini, Bima sendiri. Sambil terisak-isak ia menyanyikan lagu
yang pernah diajarkan di sekolahnya.
Kasih ibu kepada beta…
Tak terhingga sepanjang masa…
Hanya memberi tak harap kembali…
Bagai sang surya menyinari dunia…
“Bima sayang Mak,” lirihnya.
http://whatsup_siska.blogspot.com/2007/12/kasih-ibu.html