Mar 13, 2010

Contoh Cerpen - Kumpulan Cerpen

Cerpen : Gadis Kecil di Lampu Merah


Cerpen: Riz Koto

Suara Karya
Minggu, 27 Mei 2007

Malam sebenarnya sudah amat larut, setengah dua malam menjelang pagi, di perempatan lampu merah Tol Timur Bekasi. Dingin menjelang subuh itu jelas menusuk hingga ke tulang. Meski aku tidak merasakannya, karena dibatasi dinding metal bercat mewah buatan Jepang dan kaca tembus tiga puluh persen, aku sungguh bisa membayangkan dinginnya malam itu.

Namun, bocah kecil dengan baju kumuh yang menempel seadanya di tubuh ringkihnya di seberang jalan, yang tiba-tiba tergopoh-gopoh berlari ke arah mobil yang aku tumpangi, pasti merasakan benar tusukan dingin itu. Tapi ia tampak tak peduli.

Ketika kami berhenti karena lampu merah di perempatan itu menyala, gadis kecil dengan rambut tak terurus itu lekas bergerak ke arah kami. Matanya, dengan kantuk menggelayut berat di pelupuknya, tak lepas dari mobil yang aku tumpangi di urutan terdepan jalur lampu merah itu. Seberkas cahaya tampak membayang di sana

Ringan ia berlari ke samping sopir, temanku, yang menyetir di balik kaca gelap tiga puluh persen. Tanpa aba-aba dan basa-basi apa pun ia memulai aksinya. Tapi, sigap pula temanku mengangkat tangan, melambai ringan memberi tanda. Namun, entah kenapa, fokus mataku terus tersedot kuat ke wajah gadis kecil.

Wajah dingin dan kesal temanku makin kuat manakala gadis kecil terus memainkan kecreknya dengan lagu dangdut rupa-rupa, dengan suara lemah. Dan memang, jangankan keindahan yang terdengar, justru nada sumbang yang berkencrengan.

"Ngapaain... ada tu.. yang mengomandoi," pelan, terdengar temanku yang berwajah dingin kesal bergumam. Mendengar itu, satu sudut hatiku langsung protes. Namun, itu hanya suara salah satu sudut hatiku yang lemah. Dan sudut-sudut hatiku yang lain mendiamkan komentar temanku yang saklek, bahkan cederung menyetujuinya. "Iya... uang yang kita berikan bukan untuk dia!" Konyol, aku menyetujui temanku.

Berkali-kali temanku melambai lagi, hingga akhirnya gadis kecil berbadan ringkih yang mencoba bertahan akhirnya berbalik pelan dan pergi membawa kecewa setelah beberapa saat sempat merapatkan wajahnya ke kaca jendela sembil memagarinya dengan kedua telapak tangannya, seolah meneropong kami di dalam yang kesal, cukup lama--yang membuat temanku benar-benar kesal.

Namun, dalam kepergian itu si gadis kecil sempat menoleh (seolah) memandang kami sebentar--dan berkata entah apa--tanpa menghentikan langkahnya. Duummm! Saat itulah wajah itu, kekecewaan itu, kesedihan itu, tambak bagiku begitu memelas, dan serasa tak asing, bagai pernah kukenal.

Aneh, di wajah itu kurasakan ketakutan. Bukan kesal, bukan pula mengumpat sebagaimana sempat kukira tadi. Pelan-pelan hatiku ciut, mendingin seperti dirasuki uap es ke seluruh relungnya. Dan perasaan cemas menyergap. Jangan-jangaan....

Air bah penyesalan tiba-tiba menghantamku, atas apa yang aku tidak lakukan: sekadar melemparkan recehan yang sebenarnya tak banyak artinya bagi kami. Wajahku mengeras, mataku memejam, kelam menyergap, begitu gelap.

* * *

Ingatanku jatuh di sebuah gubuk di desa miskin nun jauh di ujung hamparan sawah Dusun Tumpak di daerah Plelen, Jawa Tengah, tempat tinggal seorang mak dengan empat anak yang masih kecil-kecil. Aku tak mengerti kenapa aku ada di sana, aku juga tak sempat bertanya untuk apa aku ada di tengah empat anak dan seorang ibu dengan wajah pucat tak berdaya itu. Yang jelas, aku benar-benar merasa sedang berada di sana, di tengah mak dan empat anak-anaknya yang masih kecil, yang saat itu mengalami derita yang mengiris-iris.

"Maaak... lapaaar...!" Tiba-tiba aku dikejutkan suara kecil lemah memelas seperti pernah kudengar, persis di belakangku, nyata sekali, di sudut gubuk itu. "Maaak...." Aku ternanar, cepat memutar badan dan menoleh ke arah suara. Wajah itu, dengan mata yang sayu seperti lampu teplok kehabisan minyak, memandang ke arahku. Aku benar-benar terpana, benar! Sorotan matanya itu! Wajahnya kemudian menunduk, pelan badannya merebah di lantai tanah gubuk apak, meringkuk, lalu kedua tangannya beringsut menarik kedua lututnya hingga mendekap. "Maaak...," suaranya memelas lalu diam.

Aku buru-buru mendekat, memegang tubuhnya, tanganku terus ke lehernya, meyakinkan diri. Aku takut sekali, sesuatu yang tak tepermanai akankah aku alami? Gadis kecil ini berpulang di hadapanku karena kelaparan. Ya Allah...

Namun, pelan mata gadis kecil itu membuka lagi, wajahnya menoleh ke arahku, menatapku lagi dengan wajah derita. Bibirnya gemetar. Oh... dia benar-benar kelaparan dan sedang berusaha menyesuaikan diri agar lapar tidak terus menggelepar di dalam dirinya yang kecil dan lembut. Aku kemudian mengangkatnya dengan kedua tanganku, mendekapnya. Malam terus mendingin. Angin kemarau malam menebar derita yang kejam.

* * *

Siang itu, di gubuk reot mak, ramai oleh suara anak-anaknya yang ceria. Di tengah riuh itu terdengar suara orang menambah lagi kue dengan bangga. Gadis kecil tampak senang, amat kontras dengan semalam. Dan di tangannya kini tergenggam sepotong donat dengan bekas gigitannya. Sekali-sekali ia memandang lagi kue yang tampak asing baginya, tapi tampak benar-benar membuatnya senang.

"Terima kasih ya Nak Prangki..." Aku mendengar suara mak di depan gubuk, di atas bale bambu. Rupanya pagi itu keluarga gadis kecil kedatangan seseorang, tamu dari kota, yang sebenarnya berasal dari desa gadis kecil.

"Oh, sama-sama, Mak... Ini tidak seberapa... ala kadarnya, dari kota..." Franky membalas Mak percaya diri serasa pamer.

"Eh ngomong-ngomong, anak Mak ada berapa...," Franky tiba-tiba bertanya yang cukup membuat mak kaget. Soalnya, ini perhatian yang amat mewah bagi mak. Mak merasa ada sesuatu yang menggeliat di dalam hatinya.

"Tuu...juh, Nak Prangki, dua putra lima putri...." Dengan menyebut jumlah anaknya mak telah memancangkan sinyal minta pertolongan.
"Kok banyak benar Mak, zaman sudah modern begini..." Enteng.

"Yaah... Tuhan ngasih terus....," kata Mak pelan, tampak malu. Tapi kemudian tak acuh, melanjutkan dengan kata-kata dibuat bijak. "Yoo... ini titipan Tuhan, yoo harus diterima saj..ja... to... Nak Prangki."

Franky hanya tersenyum, lalu mengangkat satu kakinya ke atas bale, menopangkan sikunya di situ. Matanya menatap cukup lama ke arah gadis kecil.

"Anak-anak Mak masih sekolah...." Mak kaget ditanya begitu. Dia tidak menyangka ditanya hal yang lebih baik dia lupakan mengingat kesusahan yang dia alami. Tapi, harapannya yang tadi menggeliat mendapat pupuk yang membuatnya cepat membesar.

"Tinggal si Darsih," kata Mak menyebut si gadis kecil, mencoba mengingkari pergolakan di dalam dirinya. "Tapi sudah sejak tiga bulan lalu tidak sekolah. Ia malu katanya terus ditagih bayaran oleh gurunya..."
"Ditagih opo, Mak... kan sud..."
"Sudah gratis! Gratis opo Nak Prangki..."

Tiba-tiba gadis menghambur ke arah mak. "Iya Mak, bayarlah Mak bayaran Darsih, Darsih mau sekolah...," katanya merengek. Ia tampak benar-benar berharap keinginannya sekolah dapat dikabulkan. Wajah polos dan suci gadis kecil begitu cepat melupakan deritanya semalam. Ia memang belum paham kondisi keluarganya. Maklum anak-anak.

Si mak menatap si gadis kecil dengan sedih. Matanya kemudian tampak berkaca-kaca, ia lalu tertunduk. Tiba-tiba mak mengangkat wajahnya dan memandang ke Franky sebentar, seolah ingin melihat respons atas sinyal mohon pertolongan yang sudah dilepasnya tadi.
"Oh itu gampang Mak, bera..." kata Franky cepat seperti merespons kegundahan Mak.
"Eh... ndak usah to Nak Prangki," cepat Mak menyela merasa malu--ciri orang timur.
"Oo ndak pa-pa to Mak..."

Si gadis kecil bangkit ke arah Mak dan menyender manja. Wajahnya berseri-seri. "Darsih bisa sekolah ya Mak, ya Mak...." Adik-adiknya ikut mendekat. Mereka bergelendotan di tubuh mak yang kurus.

Namun Mak diam tanpa ekspresi. Hanya kesedihan membayang di wajahnya. Ia lalu merangkul pelan anak-anaknya, memandanginya dengan kasih sayang berwarna duka.

Mak sadar sekolah penting bagi anak-anaknya, meski ia tak pernah sekolah hingga ia tak bisa membaca. Mak benar-benar telah merasakan betapa kebodohan mencengkram dirinya lantaran tak sekolah hingga tak bisa hanya sekadar menuliskan namanya sendiri. Ke mana-mana ia digandoli oleh rasa tidak bisa. Mak akhirnya tampak menerawang.

Ingatannya mengembara, lalu jatuh pada anak sulungnya, Joko Sulung, yang kini jadi buruh tani, yang untuk dirinya saja kekurangan. Lalu mak ingat anak keduanya, Teguh, tak jauh berbeda. Konon pergi ke kota dan menjadi pedagang asongan. Mak sekali-sekali memimpikan anak keduanya ini mengirimkan uang barang seratus ribu kepadanya. Dulu sekali Teguh pernah mengirim, senangnya mak tak kepalang. Itulah sebabnya Mak terus berharap, walau tak pernah lagi.

Yang ketiga tak ada kabarnya setelah minta izin ikut orang kota menjadi pembantu di Jakarta. Mak berurai air mata waktu melepas anak gadisnya yang berwajah cukup menarik ini. Begitu menariknya rupa putrinya ini, mak sampai pernah berkhayal dapat menantu orang berada di kampungnya. Namun, khayalan itu sirna bersama perginya sang gadis ke "kota penuh harapan".

Darsih dan tiga adiknya masih di gubuk di bawah lindungan mak yang sebenarnya juga perlu perlindungan si bapak yang tiba-tiba berpulang belum lama lalu. Kata dokter puskesmas, si Bapak sakit karena kurang gizi. Kata mak, sang bapak sering mengalah agar anak-anaknya bisa makan.

* * *

"Okelah Mak, kalau begitu, saya pergi dulu," si Franky tiba-tiba minta diri.

Di kampung itu Franky dikenal sebagai pemilik berbagai usaha di Jakarta. Tapi tak ada yang tahu usaha apa yang dibosinya. Namun setiap dia pulang kampung, dia selalu membagi-bagikan uang. Dan ketika kembali ke kota, ia selalu membawa warga kampung yang katanya untuk diajak bekerja di perusahaannya.

"Eh kok buru-buru Nak Prangki," cepat Mak bangkit memburu ke arah Franky. "Ya ndak ada yang dapat Mak suguhkan ya...."
"Oo ndak usah repot-repot to Mak, biasa aj-ja...," kata Franky sambil belangkah.

Tapi Franky berbalik ketika mak memburunya. Mak juga mendekat dengan kikuk, seperti menghendaki sesuatu. Mak lalu memandang ke si gadis kecil, menoleh lagi ke Franky tanpa berkata selain kikuknya tak kepalang.

"Oh ya, Mak, ha ha ha...." Franky merogoh kantong belakangnya, menarik dompet dan membukanya. Dia lalu membalik-balik lembaran lima puluh ribuan. Mata mak terbelalak. Sudah begitu lama dia tidak melihat lembaran-lembaran sebesar itu, apalagi dimilikinya.

Mak terus memandang jari-jari Franky membolak-balik lembaran lima puluhan ribu itu. Tapi Franky tak kunjung menarik keluar barang selembar pun. Bahkan ia kembali memasukkan dompet itu ke sakunya. Franky lalu mendekat ke arah mak dan menatap mata mak dalam-dalam. Mak kebingungan dan amat kecewa.
"Mmmm eh... itu gampang Mak. Saya bisa membayar semua biaya sekolah Darsih, tapi..."

"Tapi... tapi apa to, Mas Prangki...." Mak tampak sekali tak paham dan bingung, sampai-sampai menyebut Prangki dengan Mas Prangki.

"Begini Mak, bagaimana kalau Darsih... kalaaau... saya... bawa ke Jakarta...."
"Ooo..." Mak pucat. Ia mundur, berbalik terus melangkah kuyu... lalu terduduk lemas. Tampak harapan yang tadinya tumbuh di dalam dirinya menguap tiba-tiba. Ia bahkan tampak sekali berubah kecewa dan takut, walau menutup-nutupinya--hal yang sering dialami orang kecil: harapan yang mudah tumbuh, tapi lebih sering terhempas tanpa perlu alasan.

"Begini, Mak... saya ada kerjaan anak-anak, tidak berat, ya... sambil main-mainlah, nyanyi-nyanyi, tapi dapat duit lumayan...." Mak tampak memaksakan diri untuk tertarik ucapan Franky.

"Saya rasa adik-adik Darsih bisa sekolah sementara kakaknya bekerja sambil bersenang-senang sama saya. Mak nggak usah khawatir, akan saya jaga Darsih. Sekadar Mak Tahu saja, nih, nggak ada yang berani sama saya di kota," kata Franky. "Anak Mak aman, saya jamin!"

Ia kemudian duduk di samping Mak yang terpana. "Ini bisa juga terserah Darsih, Mak. Kalau Darsih nggak betah, bisa pulang. Saya sendiri yang mengantar pulang, Mak. Kalau suka, ya bisa terus... ya kan?" Perlahan Mak tampak tertarik. Harapannya kembali terusik.

"Tapi ya... semua terserah Mak," kata Franky sambil bergerak berdiri, jual mahal, seperti sering dia lakukan. Mak memandangi gerak punggung Franky. Ada yang tumbuh di dalam diri mak lagi. Ia juga spontan hendak berdiri. Gadis kecil memandang heran di dekat tiga adiknya yang acuh asik bermain tanah.

Tapi dalam berdirinya mak hanya terpaku. Ada pergolakan hebat terjadi di dalam dirinya: antara harapan dan rasa kasihan atas anak perempuannya yang masih kecil juga membuyut. Oh, akankah dunia gadis kecil segera berganti dengan dunia kerja yang keras dan kejam tanpa ampun.

"Mak... Darsih bisa sekolah ya Mak," si gadis kecil menyela. "Di sekolah banyak teman, Mak, kami belajar, bermain tali. Darsih selalu menang lo Mak, soalnya Darsih bisa sampai saratus... Pak guru baik... kalau pe-er Darsih salah, Pak Guru nggak marah, dikasih tahu aja..."

Mak mematung. Air matanya meleleh. Aku terpana. Dan ada yang bergulir di pipiku. Deru gas mobil tiba-tiba bersahut-sahutan, mengagetkanku.

"Tu.. tu... lihat tu, Zal...." Tiba-tiba temanku berseru sambil menunjuk sekilas ke sudut warteg di seberang jalan. Aku kaget. Ternyata aku masih di mobil temanku di lampu merah Tol Timur Bekasi. Buru-buru kuseka pipiku. Untungnya saat itu malam sehingga gelap, yang membuat temanku ta tahu aku menggulirkan air mata.

Di seberang jalan, di samping warteg agak gelap, tampak membayang duduk tiga lelaki sangar. Di depannya, di atas bangku panjang reot, tampak bayangan tiga botol dan beberapa gelas berserakan. Satu-satu pengamen mendekat dan pergi dari sana. Tiba-tiba darahku tersirap, jantungku berhenti berdetak. Sekilas kulihat gadis kecil menjauh dari sana. Wajahnya, dukanya, memelasnya itu... Diakah gadis kecil Mak?***

Jalan Bangka, 21 Maret 2007

Cerpen : Wajah


Cerpen: Sides Sudyarto DS
Republika
Minggu, 01 Juli 2007


Durma mempunyai kesadaran yang luar biasa atas kesadarannya sendiri. Ia tahu bagaimana menghadapi orang bodoh, pintar, orang culas, orang jujur, orang miskin atau kaya. Ia bisa jadi orang gila dan gagu, ketika harus naik oplet karena tidak mampu membayar.
Ketika muda ia merantau ke Yogya. Di sana ia membeli buku loakan. Pada halaman awal buku stensilan itu terbaca kalimat: filsafat tidak menanak nasi. Dan kini, dalam hidupnya di perantauan ia mencatat sendiri: ijasah tidak menanak nasi. Ia jadi penarik becak saat baru masuk Jakarta. Posisinya meningkat, saat ia jadi penjual koran.
Lompatan jauh ke depan, yang paling spektakuler, terjadi ketika ia dari tukang koran menjadi wartawan surat kabar paling berpengaruh di Jakarta. Tidak banyak orang tahu proses metamorfosis dahsyat itu. Ia menutup ketat masa lalunya itu. Puncak karirnya, ia menjadi penasihat seorang politikus muda yang sedang naik daun. Ketika kemudian tokoh flamboyan itu menghalalkan semua cara, ia pilih mundur. Antiklimaks terjadi, ia jadi penganggur, hidup lontang-lantung.

Berbeda dengan mereka semua, Durma memilih warna lain. Ia memberikan beban berat kepada mukanya sendiri. Kepada wajahnya. Ia selalu siap menjadikan wajahnya sebagai alat penyamaran, alat berpura-pura, atau sebagai topeng perasaan dan pikirannya. Doktrin hidup pribadinya sekarang ialah: selama aku mampu merendahkan diri, siap dihina orang, aku masih bisa mendapatkan sedikit uang untuk hidup!
Wajahnya selalu menengadah, siap dimaki, dihina, disiksa, dianiaya, ditampar atau bahkan juga diludahi. Karena wajah baginya adalah satu penampang dan simbol kehormatan, maka Durma siap menelan risiko menjadi manusia yang tidak terhormat.
"Mengapa kau memilih bunglon sebagai mahagurumu?" tanya Paron. "Karena saya tidak punya mahaguru dari universitas. Toh ada bedanya. Bunglon berubah warna kulit untuk menyelamatkan dirinya, tanpa sadar. Ketika saya mengubah taktik saya, itu saya lakukan dengan sadar," jawab Durma.
"Apa kau tidak mampu mencari mahaguru yang lebih bermutu?
" ejek Paron.
"Ada, bahkan jauh lebih bermutu."
"Siapa?"
"Kemiskinanku. Penderitaan hidupku adalah guruku yang nomor satu."
"Coba, kasih contoh untukku salah satu bentuk penderitaanmu!"
"Saya pernah disuruh menagih utang oleh seseorang, kepada seseorang. Karena aku menagih di pinggir jalan, orang itu marah dan ia meludahi wajahku."
"Lalu, selanjutnya?"
"Selanjutnya aku menarik garis lurus kesimpulanku. Ternyata dengan bersedia diludahi di wajahku, aku dapat uang. Artinya aku bisa bertahan hidup!"

"Apa tidak ada bisnis lain? Pekerjaan apa yang kau lakukan itu?"
"Aku bisnis muka. Bisnis wajah! Bisnis lain juga banyak kulakukan. Aku mengurus SIM, STNK, BPKB, calo tanah, calo onderdil mobil."
"Dan hasilnya membuat kau bahagia?"
"Walah! Walah! Mas Paron, untuk saya kebahagiaan itu tidak pernah ada!."
Sudah tiga tahun terakhir ini Durma bekerja sebagai sopir pribadi Bu Jonoamijoyo. Ia akrab dipanggil Bu Ami, dikenal sebagai perempuan yang paling galak, kasar, tetapi baik hati. Ia suka memberi uang kepada siapa saja. Tentang Bu Ami orang-orang mengatakan: Ia menghidupi orang dengan uangnya, sekaligus membunuh orang dengan kata-katanya. Semula Durma tidak percaya semua omongan orang itu. Setelah ia bekerja cukup lama barulah ia tahu apa yang sebenarnya.
Sebenarnya, Bu Ami perempuan yang cantik paras muknya, pikir Durma. selalu. Rambutnya yang hanya sebahu panjangnya, bergelombang alami. Memang sudah mulai memutih, tetapi menambah indah parasnya. Wajahnya selalu bersih, tanpa mengenakan bedak. Bibir pun merah asli tanpa gincu. Di zaman anggaran kecantikan mengalahkan anggaran pertahanan, ia sama sekali tidak berdandan.
Sayangnya, badannya terlalu besar karena gemuknya. Hebatnya, meskipun gemuk dengan bokong yang terlalu besar, ia selalu bergerak cekatan dan tidak ada segannya naik turun tangga dalam rumahnya yang berlantai tiga. "Durma, sebulan ini kau bekerja baik sekali. Kau tidak mangkir sehari pun. Kau pantas menerima bonus satu juta rupiah! Ingat, jangan sampai dicuri binimu di rumah. Perempuan kebanyakan hanya bisa mencuri uang suaminya. Rata-rata mereka tidak lebih dari komodo-komodo penghisap darah daging suaminya. Perempuan, juga istrimu, pastilah komodo yang pura-pura setia sebagai modal utamanya," ujar Bu Ami.
Sering kali, Bu Ami dimaki-maki orang di depan rumahnya, karena ia sendiri menghamburkan makian yang luar biasa kotornya. Dua musuh utama Bu Ami adalah pemulung dan peminta sumbangan yang terus tumbuh bagai cendawan di musim hujan.
"Hai maling jahat! Rapikan kembali sampah-sampah itu. Kamu makan dari sampah, tetapi tak tahu aturan. Sampah kau obrak-abrik, berantakan. Baunya ke mana-mana. Jika tidak kau rapikan lagi, makan semua sampah busuk itu biar kenyang perutmu!" maki Bu Ami menghardik pemulung. Suatu hari, datang seorang pemuda gondrong membawa daftar sumbangan. Jumlah sumbangan sudah ditentukan.
"Sumbangan itu suka rela. Jangan maksa begini! Aku tak mau dipaksa. Kalau maksa, namanya rampok! Garong! Kau pikir cari uang mudah?" ujar Bu Ami bergetar. Penarik sumbangan marah luar biasa. Ia menghunus goloknya, lalu mengejar perempuan gembrot yang menghinanya. Durma terpaksa tampil sebagai pahlawan.
Akhir-akhir ini Bu Amijoyo sakita-sakitan. Keluhannya, seringkali, kakinya merasa pegal-pegal dan ngilu, terutama pada bagian-bagian prsendiannya. Dia bilang itu penyakit asam urat. Maka secara periodik ia pun harus ke dokter dan apotek untuk beli obat. Langganannya: Voltaren, silorit. Hingga bosan ia membayar dokter dan membeli obat, tidak juga sembuh. Rasa sakit, nyeri dan ngilu memang lenyap setelah makan obat. Tetapi begitu obat habis, kambuh lagi rasa sakitnya yang sangat menyiksa.
"Durma, sudah seminggu kau tidak bekerja, lantaran aku sakit. Kau makan gaji buta! Sekarang aku sakit, kau tidak peduli. Sekarang kau mau berbuat apa?"
"Apa yang bisa saya lakukan, Ibu?"
"Kau punya otak atau tidak? Mestinya kau berpikir, bagaimana aku cepat sehat. Molor saja kerjamu itu!"
"Saya sudah antar Ibu ke dokter. Saya sudah ke apotek beli obat," jawab Durma.
"E, apa matamu buta? Sudah berapa juta uang dihamburkan untuk beli obat? Dokter mahal, obat mahal. Tidak menyembuhkan! Penipu! Coba cari obat lain, Durma!"
Durma pergi mencari obat tradisional. Di jalan, ia jumpa Mas Paron lagi. "Kau masih bekerja pada Bu Gendut itu?" tanya Mas Paron.
"Masih, Mas. Orangnya baik sekali!"
"Baik sekali katamu? Sopir lain hanya tahan tiga hari! Kau sudah tiga tahun!" "Dia itu orang yang sangat kaya harta, tetapi sangat miskin bahasa. Ia banyak memberi uang kepada orang. Bukan hanya kepada saya saja, Mas!"
"Kau mau ke mana sekarang?"
"Majikan saya sakit asam urat. Sudah lama. Dokter dan obat tidak menyembuhkan, Mas. Kalau kumat, ia nangis jejeritan."
"Dia orang baik, katamu. Harus kita tolong. Nah cari obat tradisional, ini merknya. Adanya di warung jamu Pasar Lama. Harganya hanya seribu perak sebungkus," ujar Mas Paron. Durma pulang dengan sepuluh bungkus jamu.
"Luar biasa. Seperti orang main sulap saja. Sayang langsung sembuh!" ujar Bu Amijoyo kepada Durma. Ia sangat kagum, sebab minum jamu sore, pagi harinya ia langsung bisa jalan normal lagi. Hari itu juga Bu Amijoyo minta diantar ke supermarket, untuk membeli keperluan sehari-hari.
Beberapa waktu kemudian terjadi peristiwa yang paling mengejutkan dalam hidup Durma. Bu Amijoyo menyerahkan surat rumah, surat mobil kepadanya. "Ini mesti saya apakan, Ibu?"
"Pegang saja, simpan. Barang-barang itu semua akan jadi milikmu."
"Saya tidak berhak menerima warisan dari Ibu. Maafkan saya, Ibu!"
"Diam, Durma. Aku tak punya anak, tak ada sanak saudara. Aku akan ke notaris. Itu semua untukmu." ujar Bu Ami. "Tidak lama lagi saya masuk panti jompo. Di sana orang-orang tua yang tidak mau terlantar seperti aku, bakal dirawat dengan baik."
Beberapa bulan kemudian Bu Amijoyo menuju panti jompo, diantarkan Durma dengan mobil mewahnya. Di sana ia menunjukkan nomor kamarnya, tempat untuk menerima jengukan dan sebagainya.
"Saya yakin, Ibu masih punya kerabat dekat," ujar Durma memberanikan diri. "Jangan membuat aku berpikir mundur! Aku hanya ingin hidup bebas. Kebebasan adalah segalanya dalam hidupku!" ujar Bu Ami. Durma terdiam saja.
"Baiklah kalau kau mau pulang. Tengok aku sehari sekali. Jika tidak, seminggu sekali atau sebulan sekali. Jangan lupa, kau akan mengatur pembayaran panti sebulan sekali. Terima kasih, Durma," ujar Bu Ami sambil tegak berdiri.
Durma mohon diri, untuk dengan berat hati meninggalkan majikannya. Bu Amijoyo memeluknya beberapa lama. Setekah renggang rangkulannya, Bu Ami menyeka air matanya. Begitu juga dengan Durma. Ia tak tahan membendung tangisnya yang tanpa suara. Perempuan tambun berwajah cantik dan bersih itu terus menatap langkah-langkah Durma, hingga tak tampak lagi dari pandangannya.***

CERPEN : SEMUT DI GEDUNG TUA



Oleh Feri Muhammad Syukur

Laki-laki setengah tua. Lampau muda. Ketika uban sudah meraja. Kaca di mata menebal. Tungkai tak lagi tegak, merunduk. Mengerut. Mengecil. Kehilangan udara dalam dada. Timbul wibawa karena ketuaan, kemudian sedikit mengikis lagi wibawa itu. Jalan berderma setangkai kayu. Hampir layu. Tubuh itu, berdiri di ambang jendela. Menghadap gedung tua.

Kakinya bergoyang. Tak tentu kemana arahnya. Kursi di gesernya dengan tongkat. Namun, matanya tetap saja memandang gedung tua itu. Tak lepasnya sekejap mata. Orang tua yang sibuk dengan memandang gedung tua, seperti memandang lukisan abstrak para perupa. Atau semacam memandang bayi yang selamat dari sebuah kecelakaan maut.

Dari gedung putih, yang berlantai empat, di tambah taman kecil di ujung gedung, dan pendaratan helykopter, ia masih bisa berharap, nanti, esok hari atau masa depan sebelum ia menutup mata, orang-orang dalam gedung sebrang gedung putih sudah tak ada. Atau sekedar menghilang saja sejenak, sebelum ia menutup mata. Mati penasaran sebelum kandang semut itu menghilang.

Karyo namanya. Karyo Atmowiloto Cokro Bin Bimo. Keturunan jawa, sunda, dan belanda. Walau tanpa van di namanya, orang masih bisa melihat mancung hidungnya, atau mata biru yang menyala di malam hari. Seperti mata kucing yang mengintai mangsanya.
Tak banyak yang ia bisa lakukan. Dalam keadaan yang sempit ini, ia tak bisa berjalan keluar. Melintasi daun pintu, atau hanya menempelkan telinganya di dinding pintu, ingin mendengar luaran kamarnya. Atau sekedar untuk buang angin. Beli kopi. Beli mie. Beli kue. Garam. Baju. Celana dalam. Kutang istri. Atau semacam gincu untuk istrinya yang ke dua. Tak bisa lagi ia lakukan. Tak bisa. Sekali lagi, tak bisa apa-apa.

Karto panggilannya. Karto Atmowiloto Cokro Bin Bimo. Nama ubahan dari Sugeng Suharta. Anak buah Karyo. Lelaki kuasa yang tak bisa keluar rumah. Bahkan kamar pun ia tak bisa. Ketika tak bisanya itu, Karto kini bisa leluasa keluar masuk istana putih. Sebuah gedung bercatkan putih yang hadir dengan pagar mobil-mobil kaca. Berwarna-warni. Motor sekelas apapun tak ada. Di atas gedung itu yang di atasnya ada taman kecil dan tanah bertuliskan H, ia bisa memandang sebuah gedung tua. Setua perkataan orang-orang tentang dirinya. Yang kokoh di terjang badai, hama dan juga semacam bom atom di Hirosima dan Nagasaki.

Dunungannya tak punya pekerjaan lain. Selain memandang gedung tua itu. Dia pernah berkata tentang kelakuannya itu, tapi Karyo tak menjawab. Ia tak bergerak sedikitpun mengenai itu. Kanapa ia selalu berdiri di sana? adakah yang aneh atau indah di sana? adakah kenangan yang tersimpan di sana? harapan mungkin? Semacam unek-unek? Atau segenggam kebencian? Karyo tak menjawab. Sampai akhirnya Karto tak lagi mau bertanya tentang gedung tua itu. Tentang kelakuan tuannya yang aneh.

I
Matahari di bibir hari. anak-anak bayi di paksa bermandi cahaya mentari. Memandang langit dan melahap vitamin yang tak bisa membuatnya kenyang. Mencuri-mencuri kekuatan. Dari tangan matahari yang selalu merayapi bumi. Dari liang semut, hingga liang kemanusiaan yang semakin menganga setiap harinya.
Seperti bisa, Karyo dan Karto datang bersamaan. Seperti amplop dan perangko. Guntur dan halilinar. Karyo, sang dunungan berjas, kemeja putih, celana katun. Bejalan santai dari dalam mobiolnya menuju pintu gedung putih. Karto, yang berjalan di belakang tak jauh berbeda, hanya saja karto berkaca mata hitam. Sehitam kulitnya yang legam.

“Kamu tahu gedung di sebrang sana?”
“Pentagon tuan?”
“Sudah lama saya mendengar bising-bising dari sana. seperti gergaji kayu yang siap membabat hutan.”
“Mungkin hanya perasaan tuan saja.”
“Perasaan pemimpin selalu benar. Benar pada hal-hal yang menyangkut kekuasaan!”
“Maksudnya?”
“Sering saya melihat orang-orang hitam itu membawa roti buaya ke balik bilik mereka. Saya takut kalau mereka akan berguru pada buaya-buaya, Yang akhirnya tumbuhlah gigi-gigi tajam dari balik bibir mereka.”
“Kalau begitu, kita harus mengadakan rapat dadakan tuan?!”
“Kumpulkan sekarang juga orang-orang kita Karto. Kita akan mengadakan rapat dadakan yang tertutup!”
“Bagaimana dengan para preman? Apa harus juga kita undang?”
“Kamu jangan lupa, kalau mereka itu adalah anjing-anjing kita yang harus kita beri makan. Agar mereka mau menuruti perintah kita. Menjaga kita dan mengabdi pada kita.”
Sambil menutupkan pintu kerjanya, Karyo menutup pembicaraan hari itu.

II
Dari balik pentagon. Bersebrangan dengan gedung rektorat. Yang di antara mereka menghadang taman parterre. Beberapa pohoh beringin tua hidup di antara lantai-lantai keramik. Tembok pertahanan masing-masing dari serangan musuh. Bagi rektorat dari pentagon. Bagi pentagon dari rektorat.

Segerombolan semut berjalan masing-masing. Tetap saling sapa dan saling mewasiatkan. Seolah mereka menyimpan sebuah rahasia besat. Yang sangat besar tanggung jawabnya. Semut satu dan yang lainnya tak bisa berbagi senyum. Mereka berbicara dari tangan satu ke tangan yang lainnya. Hanya saling raba. Dari jala tangan yang berkeriangat, satu sama lain bisa menilai satu sama lain. Apakah dia kawan ataukah lawan.

Semua saling curiga. Junior dengan seniornya. Mahasiswa dengan dosennya. Dosen dengan jurusannya. Jurusan dengan dekannya. Dekan dengan rektornya. Dan rector dengan mahasiswanya.

Beberapa orang yang tertangkap sebagai status prasangka mata-mata tak bisa menghindar. Dari tajamnya pedang yang di asah oleh kebencian. Ketidak percayaan yang menggelayuti. Apalagi tersangka, yang tervonis dengan amarah, tak bisa selamat. Ruh yang abstrak sekalipun tetap harus merasakan sebuah kekejaman. Saling curiga.

Ketika orang-orang pentagon sedang asik membagi roti di meja permasalahan, mereka tak bisa menyembunyikan garis-garis muka yang menghitam. Karena benturan moral dengan kebijakan. Antara tanda tangan dan toa yang berteriak. Atau palu meja hijau dengan urat kerongkorangan yang menegang.

Daftar hadir di isi. Nama-nama tercantum sebagai pengikat. Agar kata dan laku mereka bisa di ikat. Seperti tali anjing yang melingkar di leher. Agar tak menggigit.
Satu, dua, tiga dan seterusnya kalimat berurai. Berjatuhan. Seperti hujan. Seperti daun di masa kemarau. Seperti buah mahoni yang berjatuhan dari pohonnya. Berputar. Menari. Memalingkan pahitnya biji dengan tariannya. Jatuh kejalan. Ke taman. Di atap rumah. Di kendaraan. Di tangan anak kecil. Di tangan orang dewasa. Menyentuh buku. Menyentu toga. Terinjak sepatu. Tergilas ban. Di makan burung. Masuk kolam. Satu sama lain tak saling bertemu. Sendiri-sendirinya berjalan.

Dari jauh. Di sebrang pentagon. Sepasang mata nyalang memperhatikan mereka. Gerak bibir berbicara di tafsirkan sebagai sebuah ancaman. Gerak tangan yang memutarkan pena berubah menjadi panah yang siap melesat. Kertas-kertas seperti sebuah senjata yang akan menghukumi dirinya dengan segala tuduhan.

Karyo berbicara dengan seseorang di selulernya. Dengan sekali-sekali menelan ludah. Karyo berdiri dari kursinya, melewati meja dinas dan jas yang tergantung. Membuka jendela dan melemparkan pandangannya ke sebrang.

“Siapkan saja semuanya. Saya akan urus semut-semut kecil itu. Tak usah takut. Saya akan jamin kalau mahasiswa kami tidak akan turun ke jalan. Ya, semuanya tanggung jawab saya sebagai rektorat di kampus ini. Kalau mereka memaksa, maka akan saya paksa juga para dosen untuk menyembelih nilai mereka. Tenang saja pak. Bapak tinggal urus saja undang-undang pendidikan yang belum selesai itu. Bukankah undang-undang itu juga sangat penting untuk kepentingan kita? Orang-orang yang berpengaruh dalam dunia didik mendidik. Ya, saya mengerti. Bapak minta yang bagai mana? Ya, saya akan kirimkan dia nanti sore. Kebetulan hari ini dia ada kelas. Hingga tengah hari.”

III
Hari itu, di mana hari-hari yang berputar seperti meinggu kemarin. Tak ubahnya seperti mobil yang berjalan di jalan. Dari jauh menjadi dekat, dari dekat kemudia menjadi jauh, meninggalkan asap tebal di muka jalan. Hanya beberapa orang saja yang turun ke jalan. Semua mati. Di tembak para polisi. Teman-teman yang lain, yang selamat dari penculikan para aparat, menghilang. Tak di temukan jejaknya.

Hari sudah siang. Para mahasiswa hanya tersisa empat orang. Yang lain sudah pulang, teman-teman sembilan orang lainnya. Toa tak bisa lagi diandalkan. Hilang suara. Tiba-tiba saja terkena panas dalam. Serak. Kalau adapun tinggal jerit kesakitan. Hanya itu tersisa. Dari sebuah perjuangan yang saling cemburu. Curiga. Dan saliang terkam. Semut-semut malang yang tak bertuan. Kini hilang, tak punya kandang. Musnah menjadi arang.

Bandung, 2008
beritahu teman anda artikel-artikel bagus dari gen22.blogspot.com