Mar 13, 2010

Koleksi Cerpen - Kumpulan Cerpen

Koleksi Cerpen - Kumpulan cerpen

Cerpen : Album Kenangan Perempuan

Cerpen Faisal Syahreza
Penggagas dan penasihat Komunitas Anak sastra dimuat di Lampung Post Minggu, 22 Februari 2009

Rambut bulan, malam itu indah tergerai, cahaya remang menyelinap masuk celah-celah rumah. Jalusi rumahmu tentunya juga tertembus. Atau bisa saja masuk ke jendelamu yang lupa kau tutup dengan gorden rapat-rapat. Aku memasuki rumahmu berbarengan dengan keremanganya, pula kesenyapan yang memahami perasaan perempuan. Aku sendiri tak tahu persis, malam itu aku merasakan hal yang sama denganmu.


Kesedihan dan rasa ngilu, ketika cinta dikoyak-moyak. Aku lihat pasfoto yang biasa kau banggakan telah jatuh, pecah tergeletak di ruang tengah rumah. Pasfoto yang kau ceritakan dengan semangat dan berapi-api pada keluargamu dan sahabatmu. Foto pernikahanmu yang kau dokumentasikan juga lewat video. Pernikahanmu dengan seorang lelaki yang tak kukenal. Aku selalu terpaku bisu memandangi semua itu. Kau, betapa cantiknya mengenakan gaun putih yang aku tahu itu, kau pesan jauh hari sebelum pesta dilangsungkan. Dan dulu aku sempat membayangkan akulah akan bersanding di pelaminan bersamamu. Aku memakai jas yang hitam nan elegan yang sengaja--lagi-lagi kau pesankan, kau pilihkan.

Lalu. Kau berbulan madu di segala penjuru negeri yang indah, memetik candu kebahagian. Ah, aku tak bisa membayangkan itu. Karena aku ternyata tak sampai bisa bersamamu.

Sudahlah, aku malam ini adalah tamu untukmu. Mengendarai kesunyian rumah tangga. Ketika orang-orang sedang terlelap, aku menjengukmu. Tapi. Kau tak kutemukan sedang tidur terlelap malam ini. Bebarengan dengan suamimu itu. Kau malah sedang menangis di meja riasmu. Make up-mu luntur, berlumuran air mata. Aih, kenapa denganmu. Ada apa? Bolehkan waktu sedikit saja kutumpahkan kembali ke masa lalu. Agar kutahu apa yang membuatmu sedih begitu tersedu? Pilu.

***

Linda masih memegang tas kerja Rinto, sebelum pergi kerja. Kecup manis di bibirnya lebih dari kopi nikmat yang disuguhkan Linda untuk Rinto. Mereka baru saja menikah, sebulan lalu. Begitu manis setiap detiknya yang bergeser. Penuh kebersamaan. Makan pagi-siang-malam penuh pujian. Tidur malam tak lagi ada kesendirian. Cari uang begitu penuh semangat. Dan rumah, seakan berubah menjadi tempat bagai surga. Serasa waktu selalu berputar tetap di tempat yang sama. Tentang kebahagian dan cinta.

"Cepat pulang, Sayang!" Linda dengan wajahnya yang manis.

"Aku langsung pulang begitu jam kerja selesai."

Dilepasnya suami di mulut pintu. Lambaian tangan dan sejumput doa selalu terlintas begitu saja. Di lemparnya seketika. Bahkan punggungnya yang selalu didaki Linda itu tak pernah dibiarkan hilang dari tatapan. Ia pandang lekat-lekat punggung yang mulai menjauh itu. Yang kemudian hilang ditelan jarak atau menelikung di kelokan jalan.

Linda masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Dengan berharap suaminya akan mengetahuinya, bahwa ia begitu teramat mencintainya.

"Jaga rumah dan jangan ke mana-mana?" Pesan suaminya itu, bila ia hendak keluar rumah. Selalu mengiang di telinganya.

Linda memang seorang istri yang baik. Begitu suaminya keluar rumah untuk kerja ia tak pernah menyia-nyiakannya. Linda isi dengan segala rutinitas sebagai seorang istri pada umumnya. Membereskan rumah, mulai dari membersihkan perabotan dapur dengan mencucinya. Membersikan sofa dan lemari, ruang kerja. Mengepel lantai rumah. Dan merapihkan kamarnya. Mencuci pakaian. Menyiapkan masakan yang nanti akan disuguhkannya begitu suaminya itu pulang. Kadang ia mencoba menu masakan yang lain yang ia temukan resepnya di sebuah majalah. Semua itu hanya untuk membahagiakan suaminya.

Bila segala pekerjaan sudah selesai. Dan tak ada lagi yang musti diselesaikan. Mulai dari ruang depan sampai halaman belakang dibereskan, Linda terkadang menikmati album kenangan. Sebuah album yang begitu membuatnya sejuk. Ia pandang album itu seperti menemukan potongan masa lalu. Ia bolak-balik tanpa bosan. berulang-ulang. Hingga tak terasa waktu pun begitu saja meleos di sampingnya.

***

Rinto adalah lelaki yang tampan, menyukai kesederhanaan. Ia pekerja kantoran yang santai. Ia bekerja di sebuah penerbitan buku bacaan. Kadang tulisan-tulisannya dimuat di beberapa koran. Bertemu dengan Linda karena ulah kedua orang tua mereka. Karena bapaknya adalah sahabat karib semasa mudanya. Kebetulan juga mereka berasal dari kampung halaman yang sama, sebuah perdesaan yang dekat kekerabatannya, kuat darah pesaudaraan adat-istiadatnya.

"Jangan tangisi orang yang sudah meninggal!" Bapak Linda menasihati. Linda yang saat itu baru ditinggal mati kekasihnya. Kekasihnya yang sempat berjanji melamarnya.

Orang tua Linda sibuk dibuatnya. Karena pekerjaan anaknya hanya mengucurkan air mata sambil memandangi sebuah album yang selalu Linda bawa dan jaga ke mana-mana. Sebuah album yang bisa ia pandangai berjam-jam, berhari-hari. Hingga lupa makan. Dan seakan melupakan segelanya, termasuk hidupna. Akhirnya tak ada jalan keluarnya selain harus segera menggantikan orang yang dicintainya dengan yang lain. Agar bisa cepat melupakan lelaki yang ada pada album itu, kedua orang tuanya berniat menikahkan anaknya.

Hingga akhirnya dalam keterpurukan, kesedihan atas kematian, Rinto datang mengulurkan tangan dan harapan. Linda sekuat apa pun, pada saat itu merasa hancur akibat perpisahan yang begitu sangat memilukan. Hati Linda mencair juga, ketika melihat kesungguhan Rinto pada Linda dengan keterbukaannya dan perasaan menerima apa pun adanya. Linda luluh, dan memutuskan menikah. Cinta dicoba, dipupuk dengan penuh cita.

***

Bila Linda bosan menunggui suaminya, Rinto yang masih sibuk mengedit naskah di kantor, ia menelpon ibunya.

"Bu, bagaimana kabarnya? Bapak juga baik-baik saja!" Linda di seberang telpon rumah, bertanya kabar melepas kangen.

"Alhamdulillah. Kau sendiri dengan suamimu bagaimana kabarnya?" Ibu menjawab dengan suaranya yang khas. Begitu membuat Linda semakin kangen saja.

"Kami di sini baik semua berkat doa Ibu-Bapak. Bu, apakah pernah ada surat untukku yang diposkan ke rumah?" Linda akhirnya bertanya perkara yang selalu sama. Setiap kali menelpon rumah orang tuanya, selalu pertanyaan yang sama diajukannya. Dan ketika ibunya kembali bertanya "dari siapa?" Linda akan memberikan jawaban yang mengaburkan, kadang ia sekenanya saja. "Ya misalnya dari sahabatku atau dari beberapa panitia lomba yang sedang aku ikuti". Dan ketika ibunya menjawab tak pernah ada surat ditujukan padanya, Linda selalu kehilangan gairah bercakap-cakap lagi. Terasa sekali ia tak sesemangat perbincangannya yang pertama.

"Bu, kalau begitu Linda sudahi dulu, lain waktu Linda menelpon lagi. Linda mau ke dapur dulu." Menutup perbincangan anak dan ibu.

"Iya, kalau begitu ya sudah. Linda kamu jaga dirimu dan suamimu. Ingat jangan sampai begitu suamimu pulang rumah masih berantakan dan masakan belum siap dihidangkan. Beri suamimu kesan rumahmu, surgamu!" Ibu dengan nada menggebu-gebu akhirnya menutup telponnya, setelah Linda mengiyakan semua nasihatnya.

***

Bulan demi bulan menggenapkan almanak menjadi tahun. Dan hitungan delapan tahun pun menginjakkan usia pernikahan. Semula pada beberapa tahun pertama terasa kebahagian terbina. Segalanya penuh suka-cita. Namun, mengapa tak ada hidup tanpa ujian dan kegoyahan. Ketawakalan yang selalu rapuh. Kepasrahan yang selalu goyah. Rumah tangga kini seperti sebuah perahu yang dihuni dua orang melayari samudra, kadang harus tertumbuk karang, dihantam ombak kecil-besar, bahkan kadang badai besar. Tapi semua itu, setelah usai dan redam kadang selalu ada kebahagian. Hingga saat itu tiba, Rinto pernah memergoki Linda sedang asyik tersenyum sendirian memandangi sebuah album kenangan. Sebuah album yang berisi foto-foto lelaki yang dulu kekasih Linda. Lelaki yang hilang dan tiada sebelum masa reformasi tiba. Ketika semasih mahasiswa. Dalam album itu tampak sesosok lelaki yang sedang berduan dengan Linda--istrinya itu.

"Kau masih tidak bisa melupakannya. Kau anggap aku ini apa?" Rinto begitu marahnya. Sorot matanya yang merah menandakan bahwa ia benar-benar merasa telah diinjak-injak harga dirinya.

"Apa artinya pernikahan kita ini bila di pikiranmu masih ada lelaki lain, selain suamimu ini?" Rinto menghamburkan segala kekesalannya. Linda hanya bisa diam membisu seribu bahasa.

Linda merasa begitu bersalah. Ia kehabisan ulah. Dan entah apa lagi yang harus ia perbuat.

Semenjak pertengkaran itu, Rinto jadi jarang pulang. Makan di luar, kalau pun pulang sekadar mengganti pakaian dan pergi keluar lagi. Entah apa sebabnya hingga ia begitu murkanya. Tapi Linda bukan tidak merasa bersalah, dan tidak meminta maaf. Beribu kali ia meminta maaf pada suaminya. Tapi kini semua berbalik, Rinto selalu diam, tidak membuka mulutnya. Seakan-akan kesalahannya tak bisa dimaafkan. Padahal bila Rinto meminta sesuatu pada Linda untuk bisa memaafkannya, Linda akan berusaha mengabulkannya.

Hingga pada malam jahanam itu harus datang juga. Rinto dan Linda terlibat perselisihan hebat. Kata-kata yang tidak pantas keluar dari mulut mereka berdua. Kata-kata yang sering dipakai dalam pertengkaran seorang lelaki-perempuan dilanda kebencian. Kehilangan kepercayaan. Ketakcocokan. Saling menyalahkan satu sama lainnya. Rinto katanya telah menjalin hubungan dengan perempuan lain. Linda semakin menjadi-jadi dengan kebiasaannya memandangi lelaki pada album foto. Dan tidak dimungkiri lagi, Linda selalu bilang ia masih mengingat kekasihnya yang dulu, yang dianggap telah mati. Tapi Linda tidak percaya sepenuhnya. Ia meyakini kekasihnya masih hidup di luaran sana. Linda masih berharap kabar setidaknya secarik surat yang menjelaskan padanya, ketakbisaannya pulang menemuinya.

***

Rambut bulan, malam itu begitu indah tergerai, cahaya remang menyelinap masuk ke celah-celah rumah. Jalusi rumahmu tentunya juga tertembus. Atau bisa saja masuk ke jendelamu yang lupa kau tutup dengan gorden rapat-rapat. Aku memasuki rumahmu bebarengan dengan keremanganya, pula kesenyapan yang memahami perasaan perempuan. Aku sendiri tak tahu persis, malam itu aku merasakan hal yang sama denganmu. Kesedihan dan rasa ngilu, ketika cinta dikoyak-moyak. Aku lihat pasfoto yang biasa kau banggakan telah jatuh, pecah tergeletak di ruang tengah rumah. Pasfoto yang kau ceritakan dengan semangat dan berapi-api pada keluargamu dan sahabatmu. Foto pernikahanmu yang kau dokumentasikan juga lewat video. Pernikahanmu dengan seorang lelaki yang tak kukenal. Aku selalu terpaku bisu memandangi semua itu, Kau, betapa cantiknya mengenakan gaun putih yang aku tahu itu, kau pesan jauh hari sebelum pesta dilangsungkan. Dan dulu aku sempat membayangkan akulah akan bersanding di pelaminan bersamamu. Aku memakai jas yang hitam nan elegan yang sengaja lagi-lagi kau pesankan kau pilihkan.

Ada sisa pertengkaran hebat yang kau siratkan dari tangisanmu.

Tangisanmu seperti jerit luka yang sangat perih. Apakah ada yang melukaimu? Aku selalu ingin membahagiakanmu, dan tak ingin menyaksikanmu begitu terluka. Sedang aku, begitu tak berdaya.

"Kau kenapa masih terduduk menangis memandangi album kenangan itu? Album foto-foto kita berdua semasa remaja. Ketika dunia yang kita tumpangi sama?" Ketika kubertanya tentu saja kau tak mampu menangkap suara dari dunia yang berbeda.

***

"Aku masih mengharapkan kau menepati janjimu, melamarku." Linda mendekap album kenangannya. Yang masih ia bawa-bawa dan ia jaga. Air mata tak pernah bisa memuaskan hatinya.

"Kau tahu, Rinto yang selalu kuharapkan akan bisa menggantikanmu. Tadi pagi kusaksikan sedang berduaan dengan perempuan yang tak kukenal. Mereka berdua masuk ke sebuah penginapan. Setelah kubuntuti, dan kucari informasi, mereka memesan satu kamar. Dan betapa tak mengerti aku harus memahami."

Linda seperti sedang bercerita kepada seseorang. Mungkin ia hanya bisa menumpahkan kesedihannya pada album kenangannya. Berharap sesosok lelaki yang terpampang di lembaran album itu mendengarkan kisahnya.

November, 2008

Faisal syahreza, Penyair lahir di Cianjur, merampungkan pendidikannya di UPI, Bahasa dan Sastra Indonesia. Kini Bekerja sebagai Sekertaris Komite Sastra Dewan Kesenian Cianjur.

Cerpen : Tajug Nadhoman

cerpen Feri Muhammas Sukur. di jurnal bogor edisi 26 April 2009
Beliau adalah ketua divisi sastra Komunitas Anak Sastra UPI Bandung

Dari udara yang menyembur dari kedalaman rongga mulut, Jumadi menghela nafas sedalam mungkin. Dari dalam perut yang tak bisa mengharap kesabaran lanjut. Setelah matahari mencapai pecat sawed, Jumadi tak mendapati seorang pun datang ke tajug biasa adanya pangaosan nadhoman.

Setiap hari rabu, kampung Cireuleu akan hangat oleh nadhoman yang dibacakan kaum tua. Kaum yang mengharapkan kemaslahatan akhirat lebih dari kaum muda.
Tapi kaum tua satu persatu tumpur, hilang masuk ke dalam bumi, kemudian tidak berganti dengan generasi selanjutnya.

Dan hari ini adalah hari Rabu. Hari di mana para tua bersimpuh. Perempuan tua mengenakan samping. Bubututan ala kadarnya, dan kerudung tipis di kepalanya. Sedang para bapak akan datang dengan batik atau koko, sarung, kopeah, dan sebungkus bako lengkap dengan pahpir daun kawung.

Tajug masih kosong. Jumadi membuka lagi ingatan yang telah menumpuk.
Sejak kedatangannya kembali ke kempung ini, tanah kelahiran yang lama ia tinggalkan, bersama istri dan dua anaknya, Iman Suherman dan Sri Rahayu, Jumadi membuka lahan kecil di samping rumahnya. Dulu itu kebun paling banyak menghasilkan jagong, sampeu, dan juga beberapa samara dapur.


Kata bapaknya dulu, ketika ia masih jumeneng, jika kita ingin menyedekahkan dengan pahala yang belipat ganda, sedekahkanlah sesuatu yang paling kita cintai. Dan Jumadi mencintai kebun itu sebagai tonggak pialang untuk Jumadi hidup.

Sebenarnya istri Jumadi –Nurkumalasari, tidak setuju kebon itu dijadikan tajug. Sebagai lahan paling produktif, tentunya sangat berat melepaskan itu semua.
“Mau makan apa kita nanti, Akang?”
“Rizki itu ada di tangan gusti Allah, Nur. Kita kan masih punya sawah di leuwi tiga puluh tumbak. Itu lebih cukup dari makan kita.dan menjamu warga yang datang ke pangaosan nanti”

Nur tidak bisa lagi bicara. Yang ia lakukan hanya bisa berdoa untuk kemaslahatan bersama. Masyarakat dan keluarganya.
Pertama kali ia datang ke kampung itu, masyarakat kampung Cireuleu ini jauh dari jalan kelurusan. Segala peningalan leluhur masih mengakar kuat. Jangjawokan, nyupang, ngamat, masih saja menjadi kehidupan sehari-hari. Sesajen setiap panen dan tanam padi masih saja ada.

Tapi, lambat laun, Jumadi dengan sabar membimbing mereka ke arah yang diridoi Allah. Tak jarang, untuk membimbing mereka Jumadi merelakan beras di goah dibagikan pada masyarakat yang ikut pengajian. Dan untuk Jumadi, dia merasa cukup kenyang tajugnya penuh. Walau hanya oleh orang-orang senja saja.

Waktu cukup menghaluskan hati mereka. Sesajen yang bisaa masyarakat kampung itu dibiarkan hilang sendirinya, dimakan ronda atau hewan, kini berubah menjadi upacara cacarakan bagi warga sekitar. Nasi kuning, telor rebus, daging suwir, kerupuk, mie bihun, sambel, dan juga lalapan alakadarnya.

Juga dengan jangjawokan. Dengan peerjuangan yang sulit, melawan arus adat istiadat, Jumadi membawa nadhoman. Jumadi mengajarkan mereka nadhoman seminggu sekali. Di hari rabu. Pukul tujuh hingga pukul setengah sembilan. Sedikit menyisihkan waktu dari waktunya menuju sawah.

Setelah mendapat rizki dari panennya yang sukses, Jumadi membeli sebuah speaker sederhana yang bisa menjangkau sekampung Cireuleu.

Pertamanya merasa terganggu dengan adanya pengeras suara itu, tapi akhirnya, lagu nadhoman bisa menarik perhatian mereka untuk sejenak menyisihkan waktu untuk bertemu dengan Allah.

Hingga akhirnya, nadhoman melekat di hati masyarat dan memberikan warna tersendiri dari tajug itu. Orang-orang pun menamakan tajug itu sebagai tajug nadhoman. Karena dari tajug itulah mereka mengenal nadhoman.

Jumadi dan istrinya setiap kali pengajian reboan, mereka memasak makanan alakadarnya. Yang lebih banyak dari bisaanya. Tumpeng, bolocot, tutug oncom dan juga sambal dan lalabnya, surawung, daun sampeu, dan juga irisan bonteng. Terkadang leupeut dan gorengan, bugis, kicimpring, dan makanan kampung lainnya.

Alangkah bahagianya Jumadi melihat semua itu. Usahanya untuk mengislamkan umat Islam itu telah mendapatkan titik terang dari Allah. Walaupun terkadang ia harus merasa kenyang dengan nadhoman yang menggema ke seluruh pojok kampung saja.
Tapi setelah hujan menjadi hal yang langka. Wabah merajalela. Tikus menggasak semua pare mereka. Tanah tandus. Air hilang. Udara panas.

Ladang dan sawah terbengkalai. Kelaparan menerjang. Satu persatu para tua mati. Kuburan menjadi begitu banyak. Istigasah telah berulangkali di kumandangkan, tapi seolah Allah tak menghiraukan, setelah kebaikan yang mereka mulai.

Maka orang kambali berpikir. Pada sesajen. Jangjawokan. Ngamat. Kembali kehilangan ruh Allah. Orang jarang pergi lagi berjamaah. Pengajian kosong. Satu persatu dari mereka mundur untuk duduk bersimpuh pada Allah. Tajug kembali lagi berdebu. Masyarakat kampung lupa entah melupakan dirinya. Setelah para tua meningal, dan sebagian meninggalkan, kini tinggallah Jumadi sendiri.

Jumadi sering duduk sendiri di papangge tajug. Melempar pandangan pada hamparan sawah yang tandus, kering, tanpa padi. Ada beberapa orang melintas di galengan membawa tapian berisi makanan pakaulan. Pakaulan yang kembali pada patekong.
Kemarau kepanjangan ini membuat anak-anak kecil malas tadarusan. Yang sedikit dewasa mencari pohon uang di kota. Mencoba memetik lembaran-lembaran uang, yang katanya di kota lebih mudah dari pada di kampung. Kampung menjadi sepi. Orang hilang dan meninggalkan kampung. Juga tajug nadhoman.

Siang Rabu itu, waktu pecat sawed, Jumadi dan istrinya duduk-duduk di papangge tajug. Iman tertidur di dalam tajug, sedangkan Sri tertidur dalam siaran ibunya. Jumadi menatap kosong pada sawah.

Istrinya tidak tahu apa yang dipikirkan suaminya. Nur membawa Sri masuk tajug, agar tidur bersama kakaknya di dalam. Nur keluar lagi, duduk kembali di samping suaminya. Dengan kesabaran, Nur menyentuh bahu Jumadi, lalu meletakkan kepalanya di bahu suaminya.
Jumadi masih terdiam. Kopiah yang miring diambil Nur. Disimpannya di sisilain Jumadi. Jumadi akhirnya melempar pandangan pada istrinya itu. Nur tersenyum membalas tatapan suaminya.

Lama pandangan Jumadi hinggap di senyuman itu. Jumadi berpikir, hanya senyum itu saja yang selalu menguatkan tajug ini berdiri. Senyum istrinyalah yang menyuburkan hari-harinya dalam berdakwah di kampung itu.

Jumadi menghela nafas panjang. Mengulur kesabaran yang sudah menjualang terulur pada arasy Tuhan. Lalu Jumadi dan istrinya mendendangkan nadhoman beberapa bait.
Sambil terus menunggu ada orang yang akan singgah di tajug nadhoman, dan membaca nadhoman bersama-sama.

Bandung, 2009

beritahu teman anda artikel-artikel bagus dari gen22.blogspot.com