Jan 16, 2011

Cerpen Cinta "Mimpi Semanis Cokelat"

Cerpen kali ini merupakan kiriman dari Irma. Cerpennya lumayan romantis, meski pun sedih, dan.............. ehm, cinta banget pokoknya. Hehe...

Mimpi Semanis Coklat
Saat aku lagi serius-seriusnya baca novel, tiba-tiba di depanku muncul sesosok cowok yang tersenyum penuh arti ke arahku. Kemudian aku menutup novelku, lalu aku menatapnya dengan penuh keheranan. Gimana nggak? Walaupun teman sekelas, tapi kami nggak begitu akrab. Palingan kalau kami bicara saat penting aja, kayak saat kerja kelompok. Nah… ini tiba-tiba muncul di hadapanku nggak jelas.

“ Eviana… plis… jangan tolak aku” kata cowok yang disapa Egi itu sambil menempelkan kedua tangannya di depan wajahnya dengan nada memohon.

Tolak? Tolak apaan? Tolak cinta? Perasaan... Egi nggak pernah deh nembak aku.

“ Maksudmu?” Tanyaku dengan penuh keheranan.

“ Tinggal kamu satu-satunya yang bisa nolong aku. Aku butuh banget bantuanmu”

“ Bantuan apa?” kataku tambah nggak ngerti.

“ Jadilah guruku”

Mataku membelalak saking kagetnya. Ada apa sich dengan nih orang, kayaknya dia salah minum obat tadi pagi. Ngomongnya jadi rada-rada aneh.

Kemudian Egi bercerita kalo ia pengen pintar makanya ia minta bantuanku. Kemudian aku menyuruhnya untuk belajar sama Adi, teman sekelas kami yang kepintarannya nggak perlu diragukan lagi. Tapi kata Egi, Adi lagi sibuk untuk olimpiade matematika. Terus Mira, nggak mau bantuin Egi. Karena menurutnya akan susah banget ngajarin Egi yang bodoh dan nggak bisa serius. Dan akhirnya, akulah yang jadi sasarannya Egi.

Kemudian, aku pun mau menjadi guru privatnya Egi. Waktunya dua minggu. Kurasa nggak ada salahnya juga aku ngajarin Egi. Mungkin awal yang baik untuk akrab dengan Egi, orang yang kusuka. Walaupun mungkin nantinya, jantungku akan berdetak lebih cepat saat mengajarnya.

***

Esoknya harinya. Saat istirahat. Aku dan Egi menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan untuk cari buku yang bagus. Di perpustakaan, Egi terus mengekoriku di belakang. Aku suruh dia untuk ke lapangan karena aku tahu dia suka banget yang namanya sepak bola, tapi katanya nggak enak biarin aku sendiri di perpustakaan. Terus, aku suruh dia untuk cari buku juga, tapi katanya nggak ngerti buku yang mana bagus untuk dipelajari. Jadinya, dia ikutin aku deh.

“ Sini. Aku yang bawa bukunya” kata Egi yang mau mengambil buku-buku yang kubawa.

“ Nggak usah” kataku sambil berjalan.

“ Nggak pa-pa….” Egi langsung mengambil buku-buku yang ada di tanganku.

Karena nggak hati-hati, buku-buku yang kubawa terjatuh. Egi tidak melihat ada orang di samping kami. Sehingga, yang ada Egi malah menyenggolku.

“ Maafin aku ya, Ev”  Dengan cepat Egi memungut buku-buku tersebut.

“ Nggak pa-pa”  kataku sambil membantunya.

“ Makanya lain kali hati-hati” kata seseorang yang kemudian membantu kami. Aku tersentak kaget. Apalagi saat melihat orang tersebut.

“ Nidya?!”  kata Egi yang kurasa sama kagetnya denganku.

Nidya, adalah gadis manis sekaligus pintar. Ia adalah saingan beratnya Adi dalam meraih juara umum terbaik di sekolah kami. Nidya, tidak sekelas dengan kami. Saat Nidya memberikan buku-buku yang terjatuh tersebut, aku berterima kasih kepadanya. Ia membalasnya dengan senyuman manisnya.

“ Aku duluan ya” kata Nidya kepadaku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

“ Gi, aku duluan ya. Oh iya, yang rajin ya” kata Nidya sambil tertawa kecil.

“ Iya… iya…” kata Egi terlihat kesal melihat Nidya menertawainya.

Aku baru tahu, kalau ternyata Nidya dan Egi begitu akrab.

***

Saat pulang sekolah. Aku dan Egi ke rumahku setelah mampir makan di warung. Aku sebenarnya udah nawarin dia untuk makan di rumah. Tapi katanya, tidak enak sama aku. Oh iya, tentang waktu belajar. Egi tidak ambil waktu sore karena katanya ia mau main sepak bola. Dasar tuh anak, hobby banget main sepak bola.

Kemudian setelah aku mengganti seragam sekolahku dan shalat. Aku ke ruang tamu, aku melihat Egi malas-malasan membuka buku fiska sambil meminum jus jeruk yang kubuat. Saat melihatku, Egi langsung memperbaiki duduknya. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.

Aku pun mulai mengajari Egi rumus-rumus fisika beserta contohnya. Egi memperhatikannya dengan serius. Suaraku sempat gemetar sich, saat-saat diawal karena ngebayangin aku dan Egi hanya berdua karena mama dan papaku masih di kantornya.

“ kamu udah ngerti kan?” kataku selesai menjelaskan.

“ Nggak!” kata Egi cepat.

Kupikir tadinya dia bercanda, tapi melihat wajahnya yang serius. Kurasa dia nggak main-main. Jadinya, aku pun mulai mengajarinya sampai dia mengerti.

“ Thanks ya, untuk hari ini” kata Egi setelah selesai belajar.

Aku hanya tersenyum. Kemudian Egi pun pergi.

***

“ Ev, hari ini kan hari terakhir aku belajar denganmu. Jadi, untuk hari ini aku siap membawamu jalan-jalan. Kamu mau kemana?” kata Egi setelah belajar.

Aku kaget. Aku nggak sadar, kalo hari ini adalah hari terakhir aku ngajarin Egi. Tiba-tiba muncul perasaanku untuk mengajarnya terus. Karena, setelah ini belum tentu aku bisa seakrab ini sama Egi.

“ Hai… kok malah melamun?” kata Egi, mengagetkanku.

“ Ah? Tidak kok”

“ Jadi? mau kemana?”

“ Nggak usah. Mending kamu pergi main sepak bola aja” Tolakku, walaupun sebenarnya aku ingin bersama Egi.

Tapi, Egi nggak nyerah gitu aja. Sesuai dengan sifat aslinya yang nggak pantang nyerah. Ia terus memaksaku untuk pergi jalan-jalan. Katanya sebagai ucapan terima kasih. Awalnya aku menolak, karena kutahu Egi pasti mau main sepak bola. Tapi, karena ia terus memaksaku. Akhirnya, aku pun menyebutkan sebuah tempat yang ingin aku datangi.

“ Lapangan sepak bola” kataku membuat Egi terkejut. Melihat wajahnya yang sedang terkejut, membuatku gemes melihatnya, mukanya lucu banget.

“ Becanda kan?” kata Egi sangat tak percaya.

“ Beneran. Aku mau ke lapangan sepak bola”

“ Hehe… nggak lucu tau” kata Egi dengan ketawa yang dipaksa banget. Ia mungkin berpikir aku sedang mengerjainya.

“ Ya udah. Kalo begitu, nggak usah jalan-jalan”

“ Kamu mau ngapain ke sana?” kata Egi yang mulai percaya, sedikit.

“ Ngapain lagi? Ya… main sepak bolalah” Walaupun masih terkejut dan heran. Tapi Egi menuruti kata-kataku juga.

***

Di lapangan sepak bola dekat rumahku, hanya kami berdua. Karena lapangan itu baru dipenuhi anak-anak SD dan SMP sekitar jam 5. Dengan bola yang kupinjam dari tetanggaku, kami pun mulai bermain.

“ Aku nggak tau lho, ternyata kamu juga suka main sepak bola” Kata Egi sambil merentangkan tangannya karena ia yang jadi kipper.

“ siapa bilang aku suka sepak bola”

“ Terus?” kata Egi, heran.

“ Aku Cuma mau tahu aja, kenapa kamu cinta banget sama sepak bola? Seberapa menyenangkannya sich main sepak bola” kataku sambil siap menendang bola ke gawang.

Tapi, tiba-tiba Egi duduk. Aku pun heran.

“ Ngapain?” Ucapku heran.

“ Santai. Lagipula nggak bakalan masuk”

“ Jadi, ngeremehin nih”

Kemudian aku menendang bola dengan sekuat tenagaku. Bola tersebut mengarah ke Egi dengan cepat. Aku kaget karena bola itu mengarah ke wajah Egi. Egi yang nggak siap juga ikutan kaget. Dan..

BUKK!!! Bola tersebut tepat mengenai wajah Egi. Egi menjerit kesakitan. Aku pun berlari ketakutan ke arah Egi.

“ Egi… kamu nggak pa-pa kan?” Ucapku panic

“ Kepalaku sakit banget…” kata Egi sambil memegang kepalanya.

“ Kalo…. Kalo begitu ayo ke rumah sakit”

“ Aku nggak bisa berdiri. Aku…”

Tiba-tiba saja Egi tak sadarkan diri. Aku pun panik. Aku memanggil-manggil Egi, tapi Egi nggak sadar kan diri juga. Apa yang harus kulakukan? Mana nggak ada orang lagi. Aku juga nggak akan bisa bawa Egi sendirian. Kemudian aku berdiri untuk memanggil tetanggaku.

Saat aku berdiri, tiba-tiba sesuatu menahan tanganku. Aku berbalik. Aku heran, tercengang, kaget. Karena yang nahan tanganku adalah Egi. Dari wajahnya, kelihatan ia baik-baik saja. Di detik berikutnya, Egi tertawa keras. Tertawa lepas.

“ Rese!!!” kataku dengan kesal.

Uh… menyebalkan. Dasar! Padahal aku udah panik banget ternyata ia Cuma ngerjain aku. Egi masih tertawa, menertawaanku. Kemudian tiba-tiba saja, aku merasa deg-degan. Entah kenapa Egi sangat mempesona. Tawanya yang lepas membuatku senang. Aku merasa saat ini hanya aku, Egi, dan kebahagian di dunia ini. Rasanya sangat menyenangkan.

“ Tega banget sich kerjain aku” Ucapku setelah tawa Egi mulai berhenti.

“ Kamu juga tega banget, nendang bola sekencang itu ke aku” kata Egi.

“ Maaf” Ucapku dengan wajah penuh penyesalan.

“ Tapi, tadi mukamu lucu banget saat panik. Aku seneng punya teman seperhatian kamu” kata Egi sambil mengusap lembut rambutku. Dan kurasa wajahku pasti memerah.

Kemudian kami kembali bermain sepak bola. Dari puluhan tendangan yang kulakukan hanya dua yang masuk di gawang. Walaupun begitu, aku sangat senang. Ternyata main sepak bola itu menyenangkan juga. Atau mungkin karena aku bermain dengan Egi? Entahlah yang penting hari ini aku sangat senang. Kami juga sempat bermain dengan anak-anak SD bahkan kami sempat foto-foto.

***

Bel berbunyi tanda istirahat. Kelas pun jadi ribut. Ada yang lagi ngobrol, ada yang masih belajar, dan kebanyakan keluar dari kelas sambil bercerita tentang makanan apa yang akan mereka makan di kantin.

“ Ev…!!!”  Teriak seseorang saat aku sedang merapikan bukuku.

Tanpa melihat orang tersebut. aku udah tau siapa yang manggil aku. Bukan hanya dari suaranya yang sangat kukenal. Tapi juga karena dia adalah satu-satunya orang yang memanggilku dengan sebutan “Ev” karena biasanya aku dipanggil “Via” atau “Ana”. Dan siapa lagi orang itu kalau bukan Egi.

“ Nih. Buat lo. Thanks ya, kamu mau jadi guruku. Kau adalah guru terbaik yang pernah kukenal” kata Egi sambil meletakkan sebuah coklat dan sebuah novel di tanganku.

Aku memandangi kedua benda tersebut dengan wajah penuh heran. Lalu kupandangi Egi, aku nggak percaya dia membelikanku ini semua. Untukku.

“ Udah ya, aku harus pergi". Kemudian Egi berlari keluar kelas sebelum aku mengucapkan sepatah kata pun. Aku hanya memandangi kepergiannya dengan wajah kebingungan.

“ Ciehh… suit…suit” Goda beberapa temanku yang masih di kelas.

Aku hanya tersenyum malu. Lalu, kulihat judul novel tersebut yang kebetulan belum kupunya. Kayaknya novel terbaru. Judulnnya “ Love in my heart”. Aku pun tersenyum.

“ Via… temenin aku ke perpus ya? Aku disuruh ama Bu Dina untuk nyari buku. Bentar aja. Pliss” kata Lira yang kupikir tadi ke kantin.

“ Ah… iya” kataku lalu menyimpan coklat dari Egi dan membawa novel yang diberikan Egi karena aku bermaksud untuk membacanya di taman sekolah.

***

Aku terbengong di tempat saat kulihat Egi dan Nidya duduk berhadapan di perpustakaan. Kupikir itu hanya kebetulan. Tapi melihat Egi lagi serius mengerjakan soal di sebuah kertas, entah soal apa sedangkan Nidya senyum-senyum melihat Egi bahkan ia memberi semangat ke Egi. Kayaknya mereka jauh lebih akrab dari yang kupikirkan.

“ Vi, udah ketemu” kata Lira mengagetkanku.

Kemudian aku dan Lira meninggalkan perpustakaan. Aku masih penasaran dengan hubungan Egi dan Nidya. Mereka punya hubungan apa ya?

Kemudian aku teringat sesuatu. Ya ampun, aku lupa novel yang diberikan Egi di perpustakaan. Aku pun kembali ke perpustakaan, sendiri. Tadinya Lira mau temani aku, tapi aku menolaknya karena ia juga harus memberikan buku ke Ibu Dina.

Aku pun mencari novel tersebut di perpustakaan. Mudah-mudahan novel itu nggak hilang. Aku nggak tahu harus berbuat apa kalau buku itu sampai hilang.

Tidak lama kemudian aku menemukannya juga. Aku pun bernafas dengan lega. Saat aku mau pergi, aku tiba-tiba mendengar suara Egi dan Nidya. Aku pun melihat mereka dari balik lemari yang berisi tumpukkan buku.

“ Semuanya udah berakhir, Nid. Aku nggak bisa jadi pintar seperti yang kau inginkan. Buktinya, dari ujian yang tadi kau berikan, nilaiku nggak sampi delapan” kata Egi terlihat sedih.

“ Egi, aku tidak peduli soal ujian yang tadi kuberikan padamu” Ucap Nidya.

“ Tapi bukannya kamu bilang kalo aku bisa dapetin nilai delapan, kau akan menerimaku. Tapi aku nggak bisa, itu artinya kan kau menolakku”

“ Itu dulu. Tapi setelah ngeliat usahamu, aku senang dan aku berjanji berapa pun nilaimu nanti aku akan tetap menerimamu. Sama halnya dengan ketidak pedulianmu teman-temanmu menertawaimu belajar, aku juga nggak peduli, teman-temanku mau bilang apa. yang penting kau adalah orang yang kusuka, sejak kecil”

Mendengar kata-kata Nidya, wajah Egi tadi yang penuh dengan kekecewaan berangsur-angsur berubah menjadi senang. Ada kelegaan dan keharuan yang terpancar dari wajahnya. Ia terlihat sangat senang.

Sedangkan aku… dibalik lemari dan buku-buku, aku menangis sambil memeluk erat buku pemberian Egi. Aku nggak menyangka, selama ini aku membantu orang yang kusuka mendapati cintanya dari orang lain. Dan itu sangat menyakitkan bagiku dan aku benci melakukan itu semua.

***

“ Ev!!!” Teriak seseorang saat aku berjalan ke kelas karena bel telah berbunyi.

Dan orang itu adalah Egi. Aku berbalik melihatnya. Ia berlari ke arahku sambil tersenyum bahagia.

“ Aku lupa kasih kamu ini. Foto kita yang kemarin” kata Egi sambil memberikanku beberapa foto.

“ Simpan baik-baik ya. Aku juga simpan lho” kata Egi lalu menyuruhku masuk ke kelas.

Setelah Egi masuk ke kelas, aku memandangi foto kami yang sedang tersenyum bahagia di lapangan sepak bola. Tiba-tiba saja aku meneteskan air mataku. Perasaan benci tadi, tiba-tiba berangsur hilang. Aku merasa hatiku terasa sejuk saat melihat foto kami.

Egi… dua minggu bersamamu adalah yang terindah di hidupku dan aku tak kan pernah menyesalinya. Kan kusimpan kenangan dan cintaku padamu di dalam hatiku. Dan foto ini, kan kusimpan baik-baik sebagai bukti bahwa kita pernah tertawa bersama. Egi, kau adalah mimpi termanis di hidupku.

The End


Karya : Irma