Jan 13, 2011

Cerpen cinta Terlarang

Cerpen cinta terlarang ini merupakan kiriman cerpen ke dua dari Rika Itho Manalu

Mungkinkah Kita Bersatu ?????
under: Cerpen Cinta, cerpen remaja

“Horeee ……...!!!!!!!”

“Aku dapet surat dari Evan” teriakku dengan girang.

Dengan hati yang berbunga-bunga, aku memeluk surat itu. Surat yang aku terima dari seorang pangeran tampan yang aku kagumi. Ya, saat ini aku merasa mendapat rejeki nomplok. Kayak dapet uang 1 Miliyar Dollar. Akulah orang yang paling bahagia di muka bumi ini. Karena apa????? Karena, Evan seorang cowok yang aku idam-idamkan telah memberi sinyal-sinyal cinta kepadaku. Ia memberikan sebuah surat yang telah aku tunggu-tunggu. Surat yang menandakan jikalau Evan mempunyai perasaan yang sama kepadaku. Lebih tepatnya,aku dan Evan sedang jatuh cinta.Ternyata dewa dan dewi amor di kayangan telah melepaskan busur panahnya,dan jatuh tepat di jantung hati kami. Jantung hatiku dan Evan.

Evan adalah seorang lelaki muda dan tampan yang selama 6 bulan terakhir ini mengisi hari-hariku yang suram. Sebelumnya, aku tak percaya dengan yang namanya lelaki. Hal itulah yang membuat aku susah untuk berteman dengan lelaki. Bagiku, lelaki itu bagaikan sebuah mobil tronton yang menggilas tubuhku hingga seluruh hati dan tubuhku yang mungil ini hancur berkeping-keping. Mereka seperti seorang anak yang sedang asyik bermain-main dengan mainan kesayangannya, lalu setelah mereka bosan. Mereka akan mencampakkan dan membuang mainan itu. Ya, itulah para lelaki yang bermulut manis dan berwajah malaikat yang meutupi segala akal busuknya dengan janji-janji palsu dan bualan-bualan manis yang mereka lontarkan dari mulut buaya mereka.

Mereka hanya ada disaat senang, tapi dikala susah dan saat aku membutuhkan bantuan mereka untuk mengahadapi segala macam persoalan, mereka mencampakanku dan tak peduli dengan diriku. Mereka memalingkan wajah manis mereka. Mereka tak peduli dengan hatiku yang menangis. Walaupun, aku menjerit dan meronta-ronta meminta tangan mereka untuk sekedar menopang tubuh yang tak lagi berdaya ini. Mereka seakan – akan tak mengenalku. Menganggapku sebagai seorang pengemis yang butuh belas kasihan mereka. Mereka sama sekali tak punya hati.

Mereka hanya ingin materi dan harta duniawi yang aku miliki. Karena aku termasuk orang yang beruntung yang mendapat anugerah indah dari Tuhan yaitu keluarga bahagia dan harmonis yang cukup berada. Ayahku seorang konglomerat yang memiliki banyak perusahaan-perusahaan yang tersebar di berbagai daerah, rumah – rumah besar di berbagai kawasan perumahan elit, saham-saham besar, dan masih banyak lagi aset-aset berharga lainnya. Dan sama halnya, ibuku pun seorang wanita yang mempunyai beberapa butik-butik besar serta restoran-restoran Cina. Ditambah dengan aku seorang anak tunggal dikeluargaku. Jadi, tanggungan biaya untukku tak terlalu besar. Tapi, walaupun aku seorang diri aku tak manja dan berhura-hura dengan uang hasil jerih payah kedua orang tuaku.

Hidupku tak terlalu bahagia dengan apa yang aku miliki sekarang, karena aku risih menyandang nama besar pemberian orang tuaku. Dina Putri Haditama. Ya, itulah namaku. Dan Haditama sebagai nama besar yang cukup dikenal oleh masyarakat luas. Jadi, tak heran jika aku gampang mempunyai banyak teman disekolah, walaupun aku termasuk murid baru di SMA PELITA HATI. Itulah nama lembaga pendidikan, tempat aku menuntut ilmu sebelum akhirnya pindah dari sana. Termasuk juga para guru yang sangat ramah kepadaku, apalagi Pak Silitonga yang terkenal sebagai guru disiplin terhadap apapun. Guru “killer” adalah julukan yang diberi para siswa kepada Pak Silitonga. Aku pun heran dengan sikap Pak Silitonga yang sangat baik padaku, padahal dia paling anti dengan namanya murid baru. Mereka semua manis, baik, ramah setiap aku bertemu dengan mereka. Sesekali, mereka menitipkan salam untuk orang tuaku, dengan harapan akan mendapatkan sedikit imbalan. Aku juga tak tahu, apakah semua temanku tulus berteman denganku??? Hal inilah, yang membuatku sering berpindah – pindah sekolah karena tekanan dari orang –orang disekeliingku. Hingga aku menetap dan bertahan disekolah SMA HARAPAN 01. Dan mempunyai 3 orang sahabat yang benar-benar tulus berteman denganku. Tuhan mengirimkan 3 malaikat indahnya. Indah dan Lisa. Merekalah yang selalu menemaniku disaat apapun. Hingga aku bertemu Evan yang juga tulus berteman denganku.

Ya, Evan. Evan adalah kakak kelasku. Dia satu sekolah denganku. Evan cukup terkenal disekolah karena prestasinya, selain itu juga dia merangkap jabatan menjadi Ketua OSIS dan ketua tim basket. Yang membuatnya kewalahan meladeni tingkah-tingkah aneh para gadis-gadis cantik dan centil disekolahku. Tak heran, ia juga menjadi murid kesayangan serta sekaligus andalan (lebih tepatnya maskot) disekolahku. Walaupun menerima segunung pujian dan senyum manis dari para guru maupun teman-teman, dia tak pernah sombong apalagi terlena. Dia tetap ramah dan baik hati. Hal inilah, yang membuat aku jatuh cinta dan membuatku menjadi orang gila yang suka senyam-senyum sendiri, saat aku membayangkan wajah nan mempesonanya. Aku pun tak tahu, sejak kapan aku dan Evan saling mengenal. Tapi yang ku tahu, Evanlah yang selalu mengisi hari-hariku dengan indah selain kedua sahabatku. Mengisi dan membuatku melupakan segala masalah yang ada. Tak jarang Evan sering bertandang kerumahku, hanya untuk sekedar belajar bersama atau meminjam buku-buku ku.

Aku dan evan mempunyai hobi yang sama yaitu membaca buku. Akupun tak segan untuk bercerita tentang keluargaku. Semua hal yang ada pada diriku, Evan tahu. Evan pun tak bosan-bosan mendengarkan curhatanku yang panjang lebar. Terkadang jika aku punya masalah, aku tak sungkan untuk bercerita, mengeluarkan seluruh uneg-unegku yang silih berganti datang menderuku. Dan Evan layaknya seorang psikolog yang mengerti keadaaan jiwaku, langsung menghiburku dan mencari jalan keluarnya. Dia bagaikan seorang sahabat sekaligus kakak bagiku. Aku sangat menyayanginya.

***

Pagi ini langit tampak cerah, bunga-bunga bermekaran seperti hatiku. Aku memetik setangkai bunga adenium ungu yang indah dan mendekatkan hidungku, harum mewangi yang aku rasakan. Matahari menampakkan wajahnya dan menyemburatkan sinarnya yang terang untuk menerangi dunia. Awan-awan menari beriringan. Burung-burung pun menyanyi dengan merdunya. Ya, hari ini sangat indah. Seindah hatiku.

Aku siap untuk melangkah pergi. Pergi untuk menuntut ilmu. Tak lupa aku mengenakan seragam dengan rapi dan wangi. Tas hijau muda yang aku beli dari Singapura, berada di punggungku. Berisi sejumlah alat-alat yang aku perlukan. Aku melangkah keluar, menuju transportasi yang biasa aku gunakan. Mobil Avanza berwarna silver.

***

“Pagi, Din!!! Duh, senengnya yang lagi jatuh cinta trus cintanya ketrima nih!!” tutur Indah saat aku duduk disebelahnya, lalu menaruh tasku.

“Ya, iyalah. Mana ada orang yang gak seneng, cintanya ditrima.” tuturku sambil senyam-senyum sendiri.

“Gimana, ada rencana ngggak nih mau ngelanjuti hubungan kalian?? Dari pacaran, tunangan, trus naik ke pelaminan, punya anak, cucu, cicit, trus matinya sama-sama. Sehidup semati. Kayak artis Widyawati dan Sophan Sopyan gitu. Hanya maut yang memisahkan mereka. Hahhaha”. Lisa tertawa lebar. Diikuti tawaku dan Indah.

“Ye……..ngacok kamu, Lis!!! Aku belum kepikiran kesitu, tau!!!!!! ” (padahal tiap detik aku berharap begitu. Wakakkakkk)

***

Tak lama, sesi belajar pun telah usai. Terdengar bunyi bel dari kantor guru. Sekejap, seluruh anak belari-lari sekencangnya menuju kantin. Ruangan tampak kosong. Tapi, ada juga yang menyempatkan waktunya pergi ke perpustakaan, atau sekedar bercanda tawa dikelas. Seperti halnya aku, Indah, dan Lisa. Kami hanya berbincang-bincang tentang kejadian yang baru aku alami (baru pacaran. Hehhe). Hingga, perbincangan kami terhenti karena ada seseorang yang datang dari arah pintu menuju tempatku berada. Evan. Pangeran tampanku.

“Hai, semua!! Btw, boleh pinjam Dinanya sebentar gak ??” tuturnya sopan.

“Boleh kok. Bawa aja. Dina kan milik kamu. Milikmu seutuhnya.” tutur Lisa dengan tertawa kecil.

“Ih…. Apaan sih” kataku dengan wajah memerah.

“He he he. Thnks ya” Lalu, Evan menarik tanganku dan mengajakku ke luar.

“Din, nanti rencananya aku mau mengajakmu ke rumahku. Bertemu orang tuaku. Mau nggak ?” Tanya Evan memulai pembicaraan.

Sambil menimbang-nimbang.” Hmmm…. Ok… deh.Aku mau bertemu dengan orang tuamu. Tapi, nanti kamu juga mau ya, ketemu orang tuaku ??” Pintaku.

“Sip… deh, sayangku.” tuturnya dengan mencubit pipiku. Lalu, Evan pergi meninggalkanku. Aku pun berlalu menuju kelas.

***

“Duh…. cantiknya. Beruntung sekali kamu, Evan mendapatkan nak Dina.” tutur ibu Ratmi. Ibundanya Evan.

“Ah… nggak, Bu. Aku biasa aja kok.” tuturku dengan malu, karena mendapat pujian dari calon mertuaku.  (hehhe). Wajahku memerah bak kepiting rebus. Setelah berbincang-bincang agak lama, Bu Ratmi meninggalkanku dan Evan di ruang tamu.

“Ohya, Van. Mana adikmu. Kok dari tadi, aku nggak lihat??” tanyaku, mataku mencari-cari keberadaan Ana.

“Oh…Ana. Dia, tadi disuruh ibu ke warung beli gula.” jelas Evan.

Tak lama, Bu Ratmi datang menghampiri kami dengan membawa minuman serta camilan. Dan, tak terasa minuman dan camilan yang berada diatas meja, telah habis kami lahap. Dan berarti pula, aku harus pamit pulang ke rumahku. Aku sedih, karena harus berpisah dengan pujaan hatiku (padahal tiap hari ketemu disekolah. Hohhhoo).

***

“Evan, inget kan janjimu?” tanyaku menagih janjinya saat bertemu diparkiran sekolah.

“Janji???? Yang mana ??” Evan mengingat-ingat.

“Iih….tuh kan lupa. Gimana sihhh!!” rutukku manja pada Evan. Memukul-mukul bahunya yang kekar.

“Ha.ha..ha.. Nggak kok sayang. Masa sih aku lupa sama hari yang penting gitu. Kan mau ketemu calon mertuaku.” tawanya seraya membelai rambut hitamku.

Lalu, kami pergi dengan “bimo”. Motor yang selalu setia menemani Evan pergi. Kami pun, tiba setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh tapi mengasyikan (ya iyalah). Kami memasuki rumah yang cukup besar dan megah. Di ruang tamu ada sesosok wanita paruh baya yang tengah membaca majalah fashion.

“Mama aku pulang.” Duduk disamping mama. Dan memeluk serta mencium hangat pipinya.

“ Eh.. Dina. Kamu udah pulang. Ini siapa?? Pacar kamu ya??” Menunjuk Evan. Dan untuk kesekian kalinya, wajahku memerah.

“Ih…mama apaan sih. Hmm…emang sih. Ini pacarku, namanya Evan. kenalin, Ma!!!”

Evan mengulurkan tangannya dan mama pun menyambut hangat salam itu. Tapi, mama merasa kenal dengan wajah Evan. Sepertinya ia telah mengenal Evan sebelumnya. Mama seperti mengingat-ingat sesuatu.

“Ohya, Van. Aku ke kamar dulu ya. Mau ganti baju.” Aku pun meninggalkan Evan dan mama diruang tamu.

Mama merasakan sesuatu saat berada didekat Evan. Mama merasa dekat dan sangat rindu kepada Evan. Saat mama mempersilahkan Evan untuk minum yang dibuat oleh Bi Iyem, tak sengaja gelas yang berisi sirup itu tumpah dan membasahi seluruh baju Evan. Dengan sigap, Evan langsung membersihkan kotoran yang ada dibajunya. Dia menyisingkan lengan bajunya hingga terlihat suatu tanda. Tanda lahir hitam dan besar tepat di lengan kananya. Mama terkejut. Sepertinya ia mengenal tanda itu. Itu. Itu tanda lahir Romi. Romi anakku. Anak yang selama ini aku cari. Anak yang aku tunggu –tunggu kehadirannya. Mereka sangat rindu dengan Romi. Akhhh…apakah benar itu Romi??? Gumam mama. Hati mama bertanya-tanya.

***

“Din, mama boleh masuk nggak?” Tanya mama, mengetuk pintu kamarku.

“Masuk aja, Ma” tuturku mempersilahkan mama masuk. Mama pun masuk dan duduk di sampingku.

“Din, mama mau nanya. Kamu masih ingat kan sama Romi. Kakakmu yang selama ini kita cari-cari?”

“Ya, ingetlah Ma. Emangnya, mama ketemu ya sama kakak. Dimana ma??” Tanyaku dengan penasaran.

“Din, Evan itu kakakmu. Dia Romi. Tadi mama lihat tanda lahirnya dan sama persis dengan tanda lahir kakakmu. Mama yakin itu Romi. Karena naluri seorang ibu tak bisa dibohongi.”

“Nggak mungkin ma. Mama salah. Pasti salah. Ngggak mungkin. Romi bukan Evan dan Evan bukan Romi. Kan bisa kebetulan aja, tanda lahirnya mirip”.

Aku menangis. Aku shock dengan perkataan mama. Aku pun meneteskan air mata. Pipiku hangat. Ini tak mungkin. Jikalau benar Evan adalah Romi. Aku tak boleh lagi mencintainya sebagai seorang pacar. Aku menepis perasaan ini jauh-jauh.

“Din, coba kamu tanya sama Evan. Apakah ia benar anak kandungnya dari orang tuanya sekarang.?”

Aku terdiam mendengar perkataan mama.

“Ya, sudah. Mama tinggal dulu ya, kamu baik-baik. Mama harap kamu tahu yang terbaik bagi kita semua.”

Mama pun pergi meninggalkan ku sendirian. Aku mematung. Diam seribu bahasa. Hari itu, aku tak bisa tidur karena memikirkan perkataan mama. Aku tak sabar menanti hari esok. Langit pun kelam seperti hatiku yang kelam. Pikiranku kacau.

Saat pulang sekolah. Aku langsung berlari menuju Ruang OSIS. Aku tak menghiraukan panggilan kedua sahabatku. Disana aku menemui Evan yang sedang merapikan meja rapat. Karena baru selesai rapat.

“Van, aku mau bicara sama kamu” Wajahku sangat serius. Aku duduk disampingnya.

“Hei, sayang. Mau bicara apa? Kayaknya penting banget.”

“Van, ini sangat penting bagiku. Aku mau kamu jawab yang jujur. Apakah kamu anak kandung dari orang tuamu sekarang?”

Evan terdiam. Dia mendesah. Nafasnya yang hangat bisa aku rasaakan.

“Ya, aku bukan anak kandung dari orang tuaku. Aku hanyalah anak yang ditemukan di pinggir sungai. Dulu ada sebuah kecelakaan. Nah, aku ditemukan disana dengan selamat. Ibu mengambilku saat kejadian itu” Evan menitikkan air mata menceritakan kejadian yang silam.

“Karena ibu belum mempunyai anak, maka ibu merawatku dan mengangkatku menjadi anaknya. Aku merasaakan kasih sayang yang diberikan ibu. Walaupun mereka bukan orang tua kandungku, aku sangat menyayangi mereka.” lanjutnya.

“Jadi, kamu anak angkat mereka. Jadi….jadi…..ja” Aku tak sempat melanjutkan ucapanku. Brukkk!! Tubuhku jatuh. Aku tak sadarkan diri. Aku tak ingat apa-apa lagi.

***

“Din, bangun Din………” Mama membangunkan aku. Aku berada dikamarku. Evan mengantarkanku saat aku pingsan tadi. Evan berada disampingku. Matanya yang bulat menyemburatkan kecemasan.

“Mama…..!!! Evan……!!!! Aku kenapa??” tanyaku.

“Tadi kamu pingsan, Din. Kamu nggak papa kan ?” jelas mama dengan nada khawatir. Mataku memandangi wajah Evan dengan penuh kesedihan. Aku ingat mengapa aku pingsan tadi.

“Evan. Kamu tahu sebab aku pingsan?” Evan menggelengkan kepalanya.

“Aku pingsan karena mendengar cerita kamu tadi. Cerita itu menandakan bahwa kamu adalah kakakku yang selama ini aku cari. Kamu Kak Romi. Kakaku yang hilang dalam kecelakaan silam. Dan ditemukan oleh Bu Ratmi. Ibu angkatmu.” tutur ku dengan panjang lebar.

“Din, nggak usah bercanda deh!!!! “ tawanya.

“ Van, aku nggak bohong. Aku serius. Lebih Baik kamu lihat foto-foto ini.”. Aku mengambil album foto keluargaku. Album yang berisi kenangan-kenanagan manis saat kami masih kecil. Aku memberinya pada Evan. Evan membukanya dan memandangi satu per satu foto yang ada.

“ Apa ??? Nggak mungkin! Ini pasti salah. Kalau aku kakakmu. Jadi kamu adikku. Jadi kita kakak-adik. Dan ini mamaku. Nggak. Ini pasti salah. Nggak mungkin” Evan menangis. Ia tak dapat membendung lagi air matanya yang terkumpul di pelupuk matanya.

“Van, inilah kenyataan. Selama ini mama mencari kamu. Sudah bertahun-tahun mama mencari kamu. Mama sangat rindu dengan kamu. Apa kamu tidak rindu sama mama??” tangis mama pecah. Mama memeluk Evan dengan erat. Haru-biru memenuhi suasana.

“Kak, aku juga rindu denganmu. Aku selalu memohon pada Tuhan agar aku dipertemukan denganmu. Setiap hari aku menunggu kehadiranmu. Memang keadaan dan waktu yang tak tepat memertemukan kita. Tapi aku senang, Kak. Kakak harus trima kenyataan ini. Ini takdir dari Tuhan. Aku sudah terima kenyataan ini. Kalau kita saudara yang tak mungkin saling memadu kasih.”

“Jadi, aku memutuskan hubungan kita yang singkat ini. Sekarang kakak adalah Kak Romi. Kakak ku…” Aku menangis. Hatiku sakit sekali menerima kenyataan ini. Kenyataan yang pahit, tapi lepas dari itu semua muncul secuil kebahagiaan. Kebahagian yang tak bisa terganti oleh apapun.
***

Akhirnya, keluaragaku telah sempurna. Lengkaplah kebahagiaanku. Evan datang membawa secuil kebahagiaan. Sekarang, ia menjadi seorang kakak yang selalu melindungiku. Evan telah berganti nama menjadi Romi. Nama kecilnya. Kami menjadi satu keluarga yang utuh dan harmonis. Aku dan Kak Romi menjalani hari-hari kami dengan bahagia. Walaupu aku tahu, ada seberkas rasa pahit yang menyelimuti hati kami. Rasa yang tak bisa kami hilangkan. Terkadang saat aku sedang berada disamping Kak Romi, timbul rasa yang dulu sempat mewarnai hari-hariku. Tapi aku langsung menepis perasaan itu. Dan membuangnya jauh-jauh. Rasa yang tak mungkin lagi aku ungkapkan. Aku memendam dan mengubur rasa itu. Aku pun berusaha sekuat tenaga menutupi rasa aneh yang kerap timbul kembali saat aku menatap matanya dengan lekat. Kak romi pun sama halnya denganku. Ia juga terlihat tegar walaupun hatinya hancur berkeping-keping. Hancur menerima kenyataan.

“Kak, kok belum punya pacar sihh..???” tanyaku saat kami berada ditaman. Sedang duduk berdua memandangi bulan purnama yang memancarkan sinar. Hari itu malam yang indah. Tampak bintang-bintang berkumpul dan menyatu padu membentuk rasi bintang.

“ Padahal kakak kan banyak tuh yang naksir. Masa nggak ada yang nyangkut satu pun. Gimana sihh?? Jangan terlalu selektif lho, milihnya. Nanti jadi bujang tua. Kan aku malu, masa sih punya kakak bujang tua. Hahhaha” tawaku menyindir Kak Romi.

Kak Romi terdiam. Matanya menerawang.

“Aku belum punya pacar karena aku belum nemui seorang gadis imut, cantik, pintar, manja seperti kamu.” Kak Romi menoleh kepadaku. Aku tak sanggup menatap matanya.

“Kakak…” Aku terkejut mendengar perkataan Kak Romi. Jadi kakak masih menungguku. Aku pun sama dengannya. Andai….. waktu bisa ku putar, aku takkan mau kenal sama Kak Romi. Kak Romi hanya menjadi seorang kakak, nggak lebih. Aku ingin ada seorang pria yang lebih baik dan menjadi pacarku. Dan itu bukan lah Kak Romi.

“Ya… Dina, aku tak bisa melupakanmu. Sulit bagiku menganggapmu seorang adik bukan seorang kekasih. Itulah yang aku rasakan sekarang. Saat aku didekatmu, ingin sekali rasanya aku memelukmu, menciummu, memanjakanmu layaknya seorang kekasih bukan adik.”

“Apa kamu mau menerima kembali, aku menjadi pacarmu. Kita menjalani hubungan ini diam- diam dibelakang mama dan papa.” lanjutnya. Aku kaget mendengar permintaan Kak Romi sebuah harapan yang aku harapkan tapi tak mungkin untuk dilakukan.

“Kakak……aku. Aku…aku” Aku tak melanjutkan kata-kataku. Suaraku tercekat.

“Maaf……. aku… tak bisa.!!!!”

Kak Romi mengangkat wajahku yang tertunduk. Mendekatkan wajahnya. Dekat sekali. Nafasnya yang hangat bisa aku rasakan. Terlihat Kak Romi menyungingkan sebuah senyuman. Manis sekali.

“Baiklah kalau begitu. Keputusanmu sangat tepat” Kak Romi memegang rambutku.

Tangannya membelai halus rambutku. Dia mendekatkan wajahnya. Dia mencium keningku untuk yang terakhir kalinya. Karena setelah kejadian itu, Kak Romi memutuskan untuk pindah sekolah ke Bandung dan menetap disana. Alasannya karena ia ingin lebih memfokuskan sekolahnya. Tapi aku tahu, karena ia ingin menjauh dari kehidupanku. Melupakan segala kenangan indah antara aku dan dia. Tetapi, sesekali saat liburan tiba. Ia datang dan menyempatkan waktunya pulang ke rumah. Saat-saat itulah yang selalu aku rindukan. Mungkinkah kita bersatu kembali ???? Kakakku tercinta……….
=================================***===============================

Rika Itho Manalu
E-mail : Rikaithomanaluxiipasatu@yahoo.com