Jan 28, 2011

Cerpen DIANTARA DUA PILIHAN

DIANTARA DUA PILIHAN
Oleh : Muhammad Yusuf


“Kriiiing” suara telepon genggamku segera membuyarkan lamunanku. Aku segera meraih ponsel yang kuletakkan diatas meja tak jauh dari tempatku berdiri disamping jendela kamarku ini.

”Halo, Assalamu alaikum” terdengar suara Dina kekasihku yang sudah tidak asing lagi ditelingaku.

”Iya, halo. Walaikum salam sayang! Kamu lagi ngapain?” jawabku dengan nada pelan walau sebenarnya aku sangat gugup ingin mendengar kabar tentang pria itu.

”Kak, besok jam 9 pagi kita ketemu di tempat yang biasa yah. Udah yah kak, Dina dah mau bobo nih. Assalamu alaikum.” Belum sempat aku menjawab salamnya Dina sudah menutup telepon. (ada apa yah?) gumamku dalam hati.

    Kulangkahkan kakiku menapaki trotoar taman Boulevard tempat dimana aku dan Dina janjian hari ini. (ehm..taman ini telah jadi saksi bisu cerita cintaku bersama Dina beberapa bulan ini. Akankah semua berakhir sampai disini?) segera kubuang jauh-jauh pikiran itu. Kulihat Dina sudah duduk ditempat yang biasa kami gunakan untuk menghabiskan waktu menikmati indahnya taman ini. Dengan berlari kecil aku segera menghampirinya.

”Pagi sayang” kuulurkan tanganku dan segera mencium keningnya.

”Pagi kak,” jawab Dina dengan suara pelan dan datar.

Ehm tidak seperti biasanya, oh my God tatapan matanya kosong, dimana tatapan itu? Mata indah dengan tatapan yang penuh cinta dan kasih yang selama ini menyejukkan hatiku tak lagi kutemukan.

”Kak, kok melamun?” tegur Dina dan segera membuyarkan sejenak lamunanku.

”Eh, iya nggak kok” jawabku sekenanya.

”Kak besok Ryan datang. Dina harus bagaimana kak? Aku tidak sanggup untuk berpisah dengan kak Rendy!”

   Kulihat mata Dina berkaca-kaca. Sejenak akupun terdiam menatap wajahnya yang sendu. Bibirku terkunci, pikiranku kalut antara percaya dan tidak dengan apa yang barusan aku dengar. Apakah cintaku akan berakhir seperti ini, dadaku seperti terguncang aku bingung dan tak tahu harus berbuat apa saat ini. Kupalingkan wajahku melihat burung-burung yang sedang bertengger diatasa pohon tepat di depan kami. Burung-burung itupun tak berkicau seperti hari-hari sebelumnya. Mereka seperti larut dalam kesedihan yang kami rasakan. Dengan nada suara yang sedikit bergetar akupun berusaha menguasai diri dan pikiranku kemudian mencoba untuk menenangkan Dina.

”Tenang sayang, kakak yakin semua ini akan kita lalui bersama. Aku percaya kalau kita memang ditakdirkan untuk hidup bersama pasti kita akan terus bersama sampai kapanpun.Tapi kitapun harus menyadari jika cinta memang tidak harus memiliki” kataku berusaha untuk menetralisir keadaan dan mecoba menghibur Dina mesti hatikupun sangat pedih dan sangat sulit menerima kenyataan ini. Dina memeluk erat tubuhku dan berkata sambil menahan tangisnya,

”Tapi kak, Ryan sudah melamarku pada kedua orang tuaku sebelum dia kesini menyusulku dan sekarang kami sudah resmi bertunangan”. Suara Dina lirih dalam pelukku, mendengar semua ini aku seolah merasakan sesuatu yang menggerogoti jiwaku. Hatiku sakit, marah, sedih bercampur menjadi satu. Semakin erat aku memeluk tubuh Dina seluruh jiwaku terasa bergetar hebat dan tak terasa butir-butir air mataku pun menetes dengan indahnya dari kedua mataku. Entah berapa lama kami berdua terdiam, semua kata serasa telah terucap. Air mata pun terasa sudah kering di pipi, matahari pagi itu sudah memancarkan teriknya selang beberapa saat kamipun memutuskan untuk pulang.

   Kuhempaskan tubuhku ditempat tidur yang selama ini hampir 3 tahun menemani hariku-hariku dikota sakura ini. Kuraih bingkai foto yang kutaruh diatas meja samping tempat tidurku. Yah.,foto kami berdua saat kami berlibur musim dingin di tokyo. Kutatap dalam-dalam wajah Dina, yah dia adalah gadis yang telah memberi warna dalam hari-hariku. Gadis yang begitu aku cintai melebihi dari segalanya saat ini. Gadis yang telah membuat aku punya harapan untuk meraih masa depan yang lebih baik. Akankah aku kehilangan dia?. Apakah ending dari kisah cinta kami harus berakhir sampai disini?

   Suara petir menggelegar segera menyadarkan aku dari lamunanku. Aku beranjak dari tempat tidurku menuju kejendela kamarku. Kulihat awan hitam berarak dan sepertinya hujan akan lebat akan segera mengguyur bumi ini. Selang beberapa saat kemudian hujanpun turun. Kutatap rinai hujan dari jendela kamarku. Ehm..mataku segera tertuju pada bunga anggrek diluar jendela kamarku. Rinai hujanpun membasahi bunga anggrek itu. Bunga anggrek itu adalah pemberian Dina. Aku sengaja menyimpan disamping jendela kamarku agar disaat aku terbangun dipagi hari, membuka jendela dan melihat anggrek itu. Bunga anggrek itu selalu kujaga, dan kurawat dengan baik. Tapi hari ini aku sama sekali belum sempat menyentuhnya. Anggrek itupun seolah ikut dalam nuansa hatiku yang sedang kalut.

    Hujanpun belum reda. Aku masih terpaku berdiri disamping jendela kamarku. Aku semakin larut dalam lamunan dan kesedihan yang aku rasakan. Ehm..besok Ryan akan datang dari Indonesia. Ryan pria yang kini telah resmi menjadi calon suami Dina. Ryan adalah kekasih Dina sebelum bertemu dengan aku, dan Ryan pastilah jauh lebih mengenal keluarga Dina dibandingkan denganku, meski keluarga Dinapun pernah memberiku kesempatan untuk melamar Dina. Seandainya saja mamaku saat itu mau mengerti dan tidak egois, agar aku mau menikahi dari keluarga mamaku, mungkin aku telah lebih dulu melamar Dina!. Sekarang aku sendiri bingung siapa yang salah?.Apakah aku, karena tidak mampu meyakinkan mamaku bahwa Dina adalah yang terbaik. Ataukah Dina yang baru memberitahu aku kalau ternyata dia sudah menjadi kekasih Ryan setelah aku benar-benar mencintai dan menyayanginya?. Mengapa semua ini harus terjadi? Kini apa yang harus aku lakukan?. Semua pertanyaan-pertanyaan ini menari-nari dialam khayalku dan menghantui pikiranku.

    Dalam keterpakuanku, entah darimana datangnya diantara rinai hujan aku seperti melihat sosok Dina. Dina berdiri dengan berurai air mata tanpa senyuman melambaikan tangannya padaku. Ups.., tiba-tiba terdengar suara dering message dari ponselku dan membuatku tersentak. Aku segera mengambil ponsel. Ehm ada SMS dari Dina ” kak nanti malam Dina minta dianterin ke apartemen om Hasan jam 7 malam yah, dan mungkin ini saat terakhir bisa berdua ama kak Rendy” begitulah pesan Dina. Aku kemudian segera kembali kejendela kamarku dan mencari-cari sosok Dina yang barusan aku lihat diluar sana. Tapi aku tak menemukan siapapun. Pasti itu hanyalah ilusinasiku pikirku.

    Jam 18.30 waktu Jepang aku bernagkat dari apartemenku menuju stasiun kereta untuk menjemput Dina. Aku harus menempuh jarak sekitar 15 menit dari stasiun tempat aku tinggal ke stasiun tempat Dina di daerah Shizuoka. Akupun sudah bertekad seandainya ini adalah yang terakhir akan aku buktikan rasa tanggung jawabku untuk selalu menjaga Dina seperti amanah Ibunya kepadaku waktu itu. Walau mungkin malam ini adalah malam terakhir aku bisa berada disamping Dina dan menatap mata indah itu. Jam 18.50 aku tiba di stasiun Shizuoka dan ternyata Dina sudah menungguku didalam stasiun. Beberapa saat kemudian kereta tiba dan kamipun segera menumpangi kereta menuju ke stasiun tempat tinggal Om Hasan. Malam itu penumpang kereta sepi, sepanjang perjalanan itu Dina hanya terus menangis dan menangis. Seolah-olah kami benar-benar akan berpisah dan tidak akan pernah bisa bertemu lagi. Akupun hanya bisa terdiam dan memeluk erat tubuh Dina dan sebagai laki-lakipun aku tidak kuasa untuk menahan butir-butir air mataku.

   Rasa cinta memang terkadang membuat kita tertawa bahagia dan terkadang membuat kita bersedih, inilah rasa yang sedang aku rasakan. Kesedihan yang menusuk sukmaku seolah-olah membuat aku menjadi laki-laki yang lemah. Tapi apakah aku salah jika aku menangis karena semua ini. Tidak aku tidak salah inilah yang dinamakan cinta sejati, seorang pria menitikkan air mata adalah simbol dalamnya rasa yang terpatri didalam jiwanya. Tidak lama kemudian akupun tiba di stasiun Nagoya, aku dan Dina segera menemui Om Hasan. Kami hanya sempat bercakap-cakap sebentar dan akupun segera pamit pulang karena malam sudah larut. Dina akhirnya menginap di apartemen Om Hasan karena besok pagi harus menjemput Ryan di bandara Nagoya.

    Malam itu aku tidak bisa memejamkan mataku, seolah rasa kantukkupun tak kunjung datang. Aku sangat gelisah. Kunyalakan TV tapi tak ada satupun acara TV yang menarik bagiku malam itu. Segera terlintas satu persatu kenangan-kenangan yang telah tercipta diantara aku dan Dina. Masih sangat segar dalam ingatanku saat aku dan Dina pernah berjanji untuk saling memilik dan membangun bahtera rumah tangga yang bahagia. Sore kala itu kamipun terlibat pembicaraan yang hangat,

 ” Sayang, kakak pengen setelah menikah nanti punya banyak anak yah, khan seru tuh! Rumah kita jadi rame” Candaku saat itu sambil mencubit pipinya.

” Idih ogah ah kak, kalo banyak-banyak ntar Dina kerepotan ngelahirinnya. Cukup 2 anak aja yah! ” Jawab Dina sambil balas mencubitku dengan manjanya.

” Kalo gitu, anaknya cewek dulu yah, baru cowok! ” candaku lagi.

” Nggak boleh harus cowok dulu kakak sayangku, biar nanti dia bisa menjaga dan melindungi adiknya! ” Kata Dina dengan mimik wajah yang dibuat lucu.

” Iya deh, pokoknya mau cowok maupun cewek sama saja sayang. Tergantung pemberian Allah SWT, yang penting kita tetap bersama dan bahagia. Iya gak? ” kataku sambil mencium kening Dina dengan lembut dan membelai rambutnya yang panjang.

   Begitu bahagianya kala itu, seolah semua itu benar-benar akan terjadi kelak. Tapi saat ini aku benar-benar merasa lemah dan tak berdaya. Aku seolah terjatuh kedalam jurang yang sangat terjal dan dalam. Seperti berada ditengah lautan yang kehilangan arah. Dalam kegalauan hatiku, akupun akhirnya terlelap dalam lelahku dan bercengkrama dengan kesunyian malam itu.

    Keesokan harinya, aku melakukan aktivitasku sebagaimana biasanya. Tepat saat jam istirahat siang dan aku sedang makan siang bersama teman-teman kerjaku, ponselku berbunyi. Ternyata ada pesan dari Dina, tiba-tiba perasaanku menjadi tidak karuan.

” Kakak sayang, Ryan sudah datang. Tapi sejak tiba hingga sekarang dia selalu mempertanyakan tentang hubungan kita. Pertanyaannya macam-macam dari A sampai Z. Kamu sudah diapain aja sama dia? Sudah sejauh mana hubungan kamu sama dia selama ini? Seperti itulah pertanyaan-pertanyaan dia kak! Dina hanya bisa menangis dan menangis. Kak apa yang harus aku lakukan. Kalo begini terus Dina nggak kuat kak, lebih baik aku mati saja!”

Dadaku terasa sesak membaca SMS Dina, yah Allah kuatkanlah Dina. Berilah dia kesabaran dan kekuatan menghadapi semua cobaan ini. Aku hanya bisa berdoa dalam hatiku. Jujur dalam hati kecilku, aku sangat merasa bersalah kepada Ryan. Aku merasa karena kehadiranku diantara merekalah sehingga hubungan mereka jadi seperti ini. Akupun sangat merasa bersalah pada kedua orang tua Dina, karena kehadiranku malah menghambat pendidikannya disini! Bukannya sekolah malah pacaran! Aku seperti menghakimi diriku sendiri. Tapi salahka semua ini? Salahka Dina bila mencintai aku dan menganggap aku adalah pilihan hatinya? Tetapi aku selalu menempatkan diriku sebagai biang masalah ini dan akulah penyebab semua ini!! Lagi dan lagi aku tak kuasa menahan perasaan sedihku ini. Ponselku tiba-tiba berbunyi ada panggilan masuk, oh ternyata Om hasan yang meneleponku.

” Halo Rendy ini Om Hasan. Bisa nggak hari sabtu datang ke apartemen Om, Ryan sudah datang dan dia mau ketemu kamu” kata Om Hasan dengan nada suara yang sedikit berat.

” Oh iya Om, saya akan kesana besok jam 9 pagi ” jawabku.

    Hari sabtu pagi dengan menumpangi kereta expres aku menuju ke apartemen  om Hasan. Sedikit telat jam 9.10 menit aku tiba ditempat Om Hasan. Dengan ramah Om Hasan dan istrinya menyambutku pagi itu. Tapi aku tak melihat Dina dan Ryan disana. Aku bertanya-tanya sendiri dalam hatiku dimana mereka.

” Oh iya, Rendy tunangannya Dina si Ryan sudah tiba dari Indonesia kemarin. Ryan ingin bertemu sama kamu! Saya memang sudah menjelaskan tentang hubungan kamu dan Dina, tapi sepertinya Ryan ingin mendengar lansung dan bertemu dengan kamu. Saya harap semoga masalah ini dapat kita selesaikan secara kekeluargaan dan baik-baik”. Om Hasan memulai pembicaraan pagi itu setelah aku dipersilahkan duduk dan menikmati segelas teh hangat pagi itu.

” Iya Om Hasan, saya juga berharap demikian”. Kataku seadanya.

    Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Aku mendengar suara Dina memanggil Om Hasan dari luar.

” Nah, sepertinya Dina sudah datang bang! ” Kata Istri Om Hasan. Istri Om Hasanpun segera beranjak dari tempat duduknya untuk membuka pintu. Jantungku berdegup kencang. (Yah Allah berikanlah aku kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi semua ini) Doaku dalam hati. Tak lama kemudian Dina muncul dibalik pintu bersama seorang pria yang tentunya itukah Ryan. Jantungku semakin berdegup kencang ketika kulihat wajah Ryan yang penuh emosi saat menatapku. Aku tetap mencoba untuk bersikap tenang, karena akulah yang selalu diliputi rasa bersalah. Om Hasan segera memperkenalkan kami. Kujabat tangannya dan menyebutkan namaku, diapun menyebutkan namanya dengan nada yang berat. Sorot matanya tajam penuh emosi, kupalingkan wajahku menatap Dina. Tatapan mata Dina kosong, matanya sembab seperti habis menangis pikirku.

    Kami berlima segera masukkeruang dalam, sejenak hening. Semua diam. Kemudian Om Hasan segera angkat bicara;

Om Hasan:    ” Ok, semuanya mungkin sudah tahu apa tujuan kita berkumpul disini! Ryan mungkin ingin menanyakan sesuatu pada Rendy. Tetapi disini Rendy juga punya hak untuk tidak menjawab, jika ada pertanyaan Ryan yang menurut Rendy itu kurang pantas ditanyakan! Silahkan Ryan jika ada yang mau ditanyakan pada Rendy”

Ryan:    ” Saya ingin menanyakan sejauhmana hubungan kamu sama Dina?”

Aku:    ” Sebelumnya saya mau minta maaf pada saudara Ryan, karena kehadiran saya diantara kalian berdua telah membuat hubungan kalian seperti ini. Tetapi jujur sebelumnya saya tidak tahu kalau ternyata Dina sudah punya pacar. Saya juga sudah menganggap Dina seperti adik saya sendiri.

Ryan:    ” Terus hubungan kalian? ” tanyanya dengan penuh emosi

Aku:    ” Yah jujur kami memang pacaran. Tapi maaf bukan berarti hubungan kami tidak diketahui oleh keluarga Dina. Bahkan Mama Dina pernah berpesan sama saya agar menjaga dia. Tapi saya yakin saudara Ryanlah yang lebih pantas bersama Dina bukan saya.

Ryan:    ” Terus, apa saja yang telah pernah kalian lakukan? Kalian pernah berciuman?

Tanya Ryan penuh emosi dan kecemburuan, sangat kekanak kanakan pikirku! tapi bagiku ini adalah hal yang wajar mungkin jika aku berada diposisi yang sama akupun akan melakukan hal yang sama.

Dina:        ” Sudah, sudah kalian tiadak usah bertengkar!! Teriak Dina tak urung lagi mengeluarkan air matanya.

Ryan:    ” Kenapa sih kamu selalu membela dia? Kalau memang kamu memilih dia, oke saya akan pulang ke Indonesia!”

Mendengar semua itu terucap dari bibir Ryan semakin membuat aku merasa bersalah. Aku melihat begitu besar cinta Ryan terhadap Dina, Bahkan mungkin melebihi besarnya cintaku. Tiba-tiba aku merasa kerdil dengan semua perasaan-perasaan yang datang kepadaku dan membuat aku diam seribu basa.

Om Hasan:    ” Sekarang begini saja, saya disini duduk sebagai keluarga Dina! dan kamu Dina, sekarang kamu harus memilih diantara mereka berdua. Siapa yang kamu anggap yang terbaik dan membawa masa depanmu lebih baik! Ryan dan Rendy saya harap kalian berdua harus menerima apapun keputusan Dina dengan lapang dada!”

Aku dan Ryan hanya bisa mengiyakan pernyataan Om Hasan. Kami semua hanya terdiam membisu saat itu. Aku melihat Dina hanya bisa menangis dan menangis. Hatikupun perih dengan situasi ini.

Dina:    ” Baiklah aku akan memilih, tapi aku ada satu permintaan, siapapun yang aku pilih nantinya jangan pernah lagi menanyakan tentang masa lalu diantara kita semua!”

Melihat begitu besar pengorbanan cinta Ryan terhadap Dina, dan mendengar ucapan Om Hasan tentang masa depan tentunya Ryan jauh lebih baik dibanding diriku, dan biar bagaimanapun Ryan sudah resmi menjadi tunangan Dina. Akupun berharap agar Dina tidak memilihku. Gumamku dalam hati. Lalu kamipun berdua setuju atas syarat yang diajukan Dina. Kemudian Dina memandangi kami silih berganti lalu...

Dina:        ” Aku memilih Ryan..!” Terlihat jelas Ryan begitu gembira dengan ucapan Dina barusan tapi tidak sampai disitu Dinapun melanjutkan ucapannya dengan nada pelan menahan air mata yang terus mengalir dari kedua mata indahnya.

Dina:        ” Tapi hatiku memilih kak Rendy!” Aku tersentak kaget dengan apa yang barusan aku dengar. Rasanya aku tidak percaya dengan semua ini. Aku bukan senang dengan apa yang baru saja aku dengar, tapi hatiku sangat sakit dan merasa tak punya harga diri. Betapakan aku ibarat sebuah barang yang dipilih-pilih oleh pembeli, hatiku perih dan tak dapat kulukiskan dengan kata. Om Hasanpun ikut tersentak mukanya memerah menahan rasa emosi tentunya.

Om Hasan:    ” Dina! apa-apaan kamu! Kamu jangan mempermainkan perasaan orang seperti ini, kamu ini perempuan seandainya kamu laki-laki mungkin kamu bisa menikahi keduanya!!”

   Wajah Om Hasan semakin memerah menahan amarahnya. Akusemakin larut dalam kegalauan hatiku. Kulihat Ryan begitu terpukul dengan ucapan Dina. Aku bisa merasakan begitu pedih hatinya menerima kenyataan seperti ini. Dinapun hanya bisa menangis dan menangis. Om Hasan lalu mengajak Dina keruang sebelah. Tinggallah aku, Ryan dan Istri Om Hasan. Kami bertigapun hanya bisa terdiam. Tak lama kemudian pintu ruang sebelah terbuka. Om Hasan Ryan untuk masuk kedalam. Entah apa yang dibicarakan mereka bertiga didalam ruangan itu.

Istri Om Hasan:    ”Sabar yah Rendy, mengalah bukan berarti kalah. Dan tante yakin kamu pasti tahu jika cinta itu tak harus saling memiliki” Istri Om Hasan berusaha menghiburku. Aku hanya bisa terdiam menatap lantai ruangan itu dengan tatapan kosong. Tak lama kemudian Ryanpun keluar, dan aku dipanggil masuk keruangan sebelah;

Om Hasan:    ”Sekarang  katakan apa yang ingin kamu katakan sama Dina”

Aku:    ”Sayang walau aku sangat mencintai kamu melebihi dari segalanya tapi aku rela dan ikhlas melepaskanmu untuk Ryan.” Dina hanya bisa menangis dan menatap tajam kepadaku.

Aku:    ”Terimalah Ryan kembali, bagaimanapun dia sudah menjadi tunangan kamu. Suatu saat jika kamu memang tidak bahagia bersama dia, aku akan selalu membuka pintu hati aku untuk kamu sayang”
Dina semakin tidak bisa membendung air matanya. Akupun mulai merasakan mataku berkaca-kaca. Setelah itu akupun kembali keluar dan duduk ditempat yang semula. Beberapa saat kemudian pintu terbuka dan muncullah Om Hasan bersama Dina.

Om Hasan:    ”Dina sudah menentukan pilihannya, dan saya harap kalian berdua bisa menerima tanpa ada rasa dendam. Dan saya harap setelah ini masalah ini saya anggap sudah selesai. Dina sekarang katakan siapa yang kamu pilih!”

Dina:    ”Aku memilih Ryan!”

   Tangan Dina mengelus rambut Ryan yang berada disebelahnya. Terlihat Ryan sangat gembira dan berucap syukur mendengar ucapan Dina. Aku merasa seluruh tubuhku lemah dan tak berdaya. Aku seperti dilemparkan dari ketinggian dan sangat tinggi. Walau hatiku tak berharap dipilih tetapi hatiku begitu hancur berkeping-keping. Semua impian dan harapan yang selama ini aku bangun hancur lebur tak bersisa. ( Yah Allah kuatkanlah aku) doaku. Aku berusaha agar air mataku tidak meluap, kemudian dengan terbata-bata aku mulai bicara;

AKu:    “Baiklah saya Ikhlas, dan saya minta maaf baik pada keluarga Dina maupun saudara Ryan atas semua ini. Dina kakak harap apapun yang pernah ada diantara kita anggap saja itu tidak pernah ada. Dan saudara Ryan saya mohon tolong jaga Dina baik-baik , karena saya sangat mencintainya seperti saudara Ryan  pun mencintai dia. Mulai Sekarang saya anggap saudara Ryan adalah saudara saya.”

Om Hasan:    ”Rendy kami juga ingin berterima kasih karena selama ini saya tahu mungkin Rendy telah banyak membantu dan menjaga Dina. Maafkan atas semua ini”.

Aku:    ”Sama-sama Om Hasan, kalau begitu saya pamit untuk pulang sekarang”.

   Aku sudah tidak sanggup berlama-lama dalam suasana seperti ini. Air mataku pun rasanya akan segera tumpah. Om Hasan segera mengantarku ke stasiun, setelah turun dari mobil dan pamit pada Om Hasan aku segera berlari ketempat sepi dan menumpahkan seluruh air mataku. Aku berlutut ditanah dan rasanya aku tak kuasa menerima kenyataan hidupku ini. Aku merasa begitu lemah, semua impian dan harapan-harapanku yang telah kubangun tinggallah kenangan. Entahla seandainya aku tidak ingat dosa dan keluargaku rasanya saat itu aku ingin mati saja. Aku mendongak kelangit. Bangkit dari kehancuranku dan kesedihanku.

Yah Allah semua ini adalah rencanamu, bila Dina memang bukan yang terbaik untukku aku ikhlas! Berikanlah aku kekuatan untuk menerima semua ini. Doaku dalam tangisku.

Dengan gontai kulangkahkan kakiku untuk pulang. Aku yakin esok pasti akan datang dan saat itulah aku harus menyonsongnya. Berdamai dengan masa lalu dan aku tidak boleh takut akan hari esok. Itulah tekadku.


THE END

Oleh : Muhammad Yusuf (Putra Sinar Tapango)
Bekasi
Facebook: gw_bgt1@yahoo.com