Mar 27, 2011

Cerpen "BLUE OCEAN EDESSA"

BLUE OCEAN EDESSA
oleh: Suecyati Dyah Ayuning Pakerti


          Estrangelo Edessa,
          Gadis baru embrio, 12 tahun usianya. Mematung di tepi jembatan panjang yang melintang di atas sungai Elbe. Warna biru toskanya berkilauan. Memendar seperti Gold River karena terpaan lampu kota. Angin bersiul, kerudung lebarnya melambai gada-gada. Air sungai berpendar, garis-garis melingkar.
          Estrangelo Edessa,
          Tatapan matanya berlembayung. Mengerling pada seuntai Silver Necklace berbandul permata Blue Ocean. Biru seperti warna sungai Elbe yang beriak. Biru seperti warna kerudungnya saat ini. Dimain-mainkannya Silver Necklace itu. Serenande yang panjang dan menghanyutkan berdenting-denting lirih dari sebuah bangunan kubah bergaya Gothic di sebelah timur sana. Edessa menegadah. Mengakhiri dunia khayalnya di masa enam tahun silam. Masa yang meninggalkan luka baginya. Dalam, sedalam palung yang memenjara.
          “Ahura Madza! Dunia akan berakhir dengan peperangan besar!”
          Suara itu seperti datang dari seberang benua jauh. Garang dan panjang. Edessa tak hiraukan. Ketika tiba-tiba orang-orang sama berlarian meninggalkan kota, ia baru sadar bahaya mengintai di belakang. Edessa gelagapan.
          “Entshuldiung!” (maaf). Seorang anak kecil menabraknya hingga Silver Necklace di genggamannya terjatuh. Edessa semakin kebingungan.
          “Hurry up! Hurry! Tinggalkan kota, selamatkan diri kalian! Hurry…!” Suara-suara itu terdengar samar saja karena berbur dengan derap kaki kuda dan langkah-langkah ketakutan semua orang. Bumi meruam, mengelupas. Edessa tak segera berlari. Dilihatnya permata Blue Ocean itu berkilauan. Itu adalah satu berharga yang dimilikinya, hadiah terkhir dari ibunya sebelum pergi meninggalkannya dan tak kan kembali lagi. Edessa jongkok berkehendak mengambilnya. Ketika tiba-tiba tangan seseorang menjangkaunya.
          “Edessa lari!!”
          “Was hast denn?” (apa yang terjadi).
          “Zoroaster, Edessa! Hurry?”
          Pasukan kaveleri itu mengejar di belakang. Pedang-pedang terhunus tajam di udara. Perkampungan muslim kini porak poranda. Tak sedikit korban jatuh tersungkur. Takbir menggema. Jerit tangis seolah menjadi background dalam landscape Rostock saat ini. Kepala dan badan terpisah, berceceran, tergeletak dimana-mana. Tanah tempat berpijak tiada coklat lagi, tapi merah oleh genangan darah.
          Seperti mengulang tragedi April Fool’s Day beberapa abad silam. Zoroaster bertandang disini. Penganut agama Persia kuno yang menyimpan dendam mendalam terhadap Islam dimanapun berada. Rostock yang selalu damai kini jarahkan nyawa. Hanya ada dua pilihan, mati atau mengabdi pada Zoroaster.
Kuda-kuda itu sama berlarian kencang. Satu, dus, tujuh, Sembilan kepala lagi terpisah dari badannya. Wush…
          Tiba-tiba tubuh itu dirasakan melayang olehnya, hitam, ia tak bisa melihat apa-apa. Terhempas. Sakit.
          “Edessa!!” itu suara aunt Erben.

***
          Edessa membuka mata. Sekonyong-konyong perubahan dirasakannya dalam keadaan yang serba hitam seperti itu. Tidak ada celah udara. Pengap. Debu tebal menempel dimana-mana, di tembok yang sudah using, di seluruh permukaan benda-benda aneh yang memenuhi ruangan itu. Senyap. Kecuali hanya suara-suara tikus dan kecoa. Edessa masih bingung ketika tiba-tiba seekor tikus besar jatuh tepat di atas kakinya yang selonjor dalam keadaan terikat, pun pula tangannya. Sontak ia berteriak. Tak lama setelah itu pintu besi terkuak. Sobekan matahari entah pukul berapa menerobos masuk. Hanya sebentar, karena kemudian pintu itu tertutup lagi. Seseorang berpakaian hitam masuk. Kepalanya bertudung hingga wajahnya tak terlihat. Diperhatikannya makhluk menyeramkan itu yang berjalan mendekatinya. Edessa bungkam. Ia menggigil ketakutan.
          Dalam keremangan Edessa masih bisa melihat apa yang ada di tangan makhluk menyeramkanitu. Sebuah nampan berisi sesuatu. Apa itu. Ahh… beberapa potong daging busuk penuh belatung.
          Hii…! Edessa bergidik. Itukah jatah makannya?
          Belum hilang keheranannya tiba-tiba dilemparkannya daging busuk itu ke pojok ruangan hingga terburai berantakan. Seketika kawanan tikus mengeroyokinya. Kemudian makhluk aneh itu beranjak ke salah satu dinding ruangan. Didorongnya sebuah peti besar yanag hamper tak terlihat itu ke pinggir. Peti yang kotor, berdebu, dan using. Lubang rahasia yang tenyata tertutup oleh peti pun terlihat. Cukup besar. Hingga cahaya matahari leluasa memenuhi ruangan itu. Edessa takjub, namun tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
          “Keluarlah dari sini, aku yakin mereka tidak akan mengetahuinya.” Makhluk aneh itu membuka suaranya. Lembut dan penuh kasih. Suara peremuan. Edessa masih diam. Makhluk aneh itu mendekatinya, melepas ikatan di tangan dan kaki.
          “Percayalah padaku, jika kau tetap disini para Zoroastir itu akan membunuhmu.’
          “Kenapa kau menyuruhku keluar, bukankah kau juga sama seperti mereka?” sahut Edessa.
          “Sudahlah, aku hany ingin menyelamatkanmu. Keluarlah dari lubang itu. Segera! Kau tidak punya cukup waktu.” Setelah ucapanya itu sang Zoroastir meninggalkan Edessa, beranjak keluar dan tanpa menoleh ke belakang lagi. Dan tidak lama setelah itu…
          Cetarr!!
          Suara yang datang tiba-tiba itu mengagetkan Edessa yang belum sempurna kesadarannya. Suara cambuk melecut-lecut terdengar mengerikan.
          “Bawa keluar! Habisi dia!” suara yang garang dan penuh amarah.
          Mendengar itu Edessa segera keluar melalui lubang rahasia tadi dan menyusup di antara semak yang tumbuh liar di sekitar markas untuk mengetahui apa yang terjadi.
          Tar… Tar…
          Lecutan cambuk itu menyabet tubuhnya berkali-kali. Edessa miris.
          “Penghianat!!”
          Penghianat?? Batin Edessa bertanya-tanya. Ia menduga apa yang dilakukanoleh Zoroastir itu untuk membebaskannya telah diketahui oleh Zoroastir lainnya hingga ia dihukum. Edessa semakin ketakutan menyaksikan pemandangan itu. Jantungnya berdegup kencang.
           Makhluk aneh yang juga sama memakai pakaian serba hitam mengacungkan pedangnya tinggi-tinggi, kilaunya meyilaukan mata. Bersiap menghabisi makhluk di hadapannya. Edessa berdiri, saraf-sarafnya menegang. Pedang itu diayunmke kanan dan ke kiri. Tudung yang menutupi kepala Zoroastir wanita itu pun terbuka. Nyatalah wajah itu. Edessa terperangah. Pedang menggores pelipisnya. Darah keluar. Diayunkan lagi pedang itu secepat kilat. Spontan ia berteriak.
          “Mommy…!”
Seketika keadaan berubah, yang dilihatnya hanya ruangan serba putih , dan bau karbol rumah sakit yang menusuk hidung.
          “Edessa sayang, kamu sudah sadar!” suara aunt Erben menyapa telinganya.
          “Was hast den?” tanyanya dengan napas terengah-engah.
          “Tiga hari kamu koma setelah kecelakaan itu. Ah… sudahlah, lupakan saja. Tenang disini, aunt akan panggilkan poppy-mu.”
          “Yeah…” ucapnya lirih.
          Edessa meraba pelan lehernya. Silver Necklace berbandul Blue Ocean itu masih melingkar disana. Edessa terhempas.
          “Mommy… ich lieben dir.” (I love you).