Mar 24, 2011

Cerpen DIARY LARAS


DIARY LARAS
Dua puluh menit lamanya aku berteduh di halte bus way dari derasnya hujan tadi pagi. Akhir-akhir ini cuaca tidak menentu mungkin karena usia bumi yang semakin hari semakin tua. Sedari subuh hujan mengguyur dengan derasnya, kadang berhenti dan kadang hujan lagi. Membuat aktivitas pagi ini terganggu. Lihat saja jalan-jalan disekitar Ibu Kota ini macet karena air yang menggenangi sebagian jalan yang rendah. Ibu-ibu disebelahku saja sampai ngomel-ngomel karena hujan.
Aku jadi ingat sahabatku, Laras. Sahabat seperjuanganku. Hujan seperti ini mengingatkan aku saat mengejar derasnya hujan demi tepat waktu masuk ke kelas. Kami datang jauh-jauh dari kota Malang demi mewujudkan cita-cita kami di Universitas negri ternama di Jakarta walau kami berbeda fakultas, Laras di fakultas ekonomi sedangkan aku di fakultas kedokteran. Kami tak akan pernah menyia-nyiakan waktu yang ada. Ngekos pun bareng, kemana-mana bareng, suka dan duka kami lalui bersama dalam kemandirian demi membahagiakan kedua orangtua kami di Malang.
Laras, wanita cantik, lucu, riang dan penuh canda membuatku selalu merindukannya. Setelah kami menyelesaikan kuliah tepat waktu, kami hidup dijalan dan mengejar cita-cita masing-masing. Dia bekerja di Bank yang terbesar di Bandung, sedangkan aku bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit terkemuka di Jakarta. Setelah itu kami hanya berkomunikasi melalui telepon, sms, dan jejaring sosial yang sering digandrungi masyarakat diseluruh dunia ini. Tapi tetap saja kerinduanku masih terasa.
Krrrrrrriiiiiiiiiiinnngggg….. dering handphone ku membuyarkan lamunanku. Tertera dilayar “Mas Arjuna Memanggil” segera aku mengangkatnya.
“Halo, Assalamu’alaikum…. Mas?”
“Kamu dimana Jani?”
“Lagi di bus way tadi hujan deres, ada apa?”
“Lho kok malah balik nanya sih, kamu lupa kan? Kamu pagi ini ada janji sama pasien di kamar no 8 itu untuk diperiksa, lupa kan?” tanyanya.
“Oh iya aku lupa, bentar lagi aku kesana kok!”
“Ya sudah hati-hati ya kamu disana?”
“Iya, mas. Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumsalam.”
Pagi ini aku ada jadwal periksa dengan pasien di kamar no 8, Nara, pasien kecilku yang berusia 12 tahun, seorang gadis kecil yang menderita penyakit kanker darah. Di usianya  yang masih muda, dia harus merasakan beban penyakit yang dideritanya. Hal ini membuatku semakin bersemangat untuk memerikasnya.
Suara berkletokan dari sepatu hak tinggiku menggema di sepanjang lorong kamar khusus penyakit dalam yang panjang dan sepi. Hanya ada beberapa orang pengantar pasien yang sedang menunggu di ruang tunggu dan beberapa suster yang sesekali menyapaku dengan sebutan “Dokter”. Sesaat langkahku berhenti di depan kamar no 8.
Dengan manarik napas panjang perlahan aku buka pintu kamar itu. Hembusan udara dingin dari pendingin udara menyambutku. Terlihat Pak Ragil ayah Nara memberikan ucapan selamat pagi dariku di lanjutkan dengan Kakak Nara, Lani. Sekejap aku tatap wajah Nara yang sedang melihatku dengan tajam, seolah ada sesuatu yang dia lihat dari sorot mataku, aneh.
Seorang gadis yang tubuhnya sangat ringkih, yang seharusnya bisa bersekolah dan bermain kini hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur dengan selang infuse yang tertancap di urat nadi yang sangat menyakitkan itu.
Aku tahu Pak Ragil pasti sangat sedih melihat nasib anak bungsunya ini. Setelah 3 tahun istrinya meninggal Pak Ragil merasa sangat sedih. Apa lagi menghidupi kedua anaknya. Dan 3 bulan kemarin Nara jadi sering sakit-sakitan, setelah diperiksa ternyata Nara menderita penyakit kanker darah seperti yang diderita almarhumah ibunya. Dan yang membuatku tak menyangka menurut pemeriksaan dokter umurnya hanya tinggal sebulan lagi.
“Maaf pak, bisa tinggalkan kami berdua?” pintaku.
“Baiklah.”
Sepeninggal Pak Ragil dan Lani, hanya keheningan yang terasa. Pendingin udara pun mulai terasa dingin saja. Detak jantungku terasa berdegup dengan cepat dan aliran darah terasa berhenti di satu titik, aku bukannya gugup tapi tatapan Nara sedari tadi membuatku tak bisa banyak bergerak. Aku memberikan senyuman padanya, walau itu terasa sangat kaku.
“Nara minum obat dulu ya?” Suster Santi masuk dengan senyum manisnya. Nara menunjukkan wajah cemberut tanda dia tidak mau minum obatnya.
“Aku ngerti, sama aku saja ya?” aku berusaha membujuknya. Aku mengambil obat dari tangan suster Santi dan menyuapi Nara.
Aku seret bangku putih ke samping badannya. “Dokter? Gimana ya kabar Mama disana?” pertanyaan yang sangat berat. Matanya berpaling menuju sebuah foto yang berada diatas TV, foto ibunya. Nampak matanya berkaca-kaca saat memandangi foto itu.
 “Aku kangen Mama… karena sebentar lagi aku akan ketemu sama Mama…” Aku terengah. Aku seka air matanya, aku belai rambutnya yang semakin habis karena kemo yang tak henti-hentinya ia jalani.
“Aku tahu kok, aku nggak bakalan lama lagi kan ada di dunia ini?”
 “Nara kenapa ngomong kayak gitu? Yang bisa menentukan itu hanya Tuhan, Nara. Kita hanya bisa menjalaninya. Dokter yakin Mama kamu pasti baik-baik saja kok, makanya kamu harus banyak berdoa biar kamu sembuh dan Mama baik-baik saja disana” ujarku.
Dia tersenyum kecil, “Apa Dokter mempunyai sahabat?” pertanyaan itu membuat wajah Laras muncul. “Iya Dokter punya, namanya Laras, Cuma kami sudah lama tidak bertemu. Ada apa Nara?”
 “Nara dulu punya sahabat namanya Rendy, walau dia cowok tapi aku sangat sayang sama dia. Tapi Tuhan terlalu menyayangi Rendy, kecelakaan itu membuat aku kehilangan Rendy selama-lamanya. Mudah-mudahan Dokter nggak gitu ya?”
Tubuh yang ringkih itu, senyuman kecil yang memiliki arti dalam, sedari tadi berbicara tentang kehilangan. Aku jadi semakin tidak mengerti. Ku pandangi raut wajahnya yang masih menatap foto  Almarhumah Mamanya. Aku sedang memikirkan apa yang sedang anak ini pikirkan. Apa jangan-jangan anak ini memiliki indera ke enam? Aneh.
***
“Hallowwwwww!!!! Anjani!!!”
“Eh, iya ada apa?” ternyata aku melamun saat Mas Arjuna menegurku.
Saat ini kami berdua sedang makan siang di kantin rumah sakit. Anak itu masih membayangiku setiap saat. Seusai aku memeriksanya dia berkata padaku untuk tetap menyayangi dan menjaga orang-orang yang aku sayangi.
Orang yang aku sayangi selain kedua orangtuaku dan juga Laras, kamu adalah orang yang aku sayangi dan aku cintai Mas. Bisikku dalam hati. Sejak kami kuliah aku menyayanginya, dan aku merasa nyaman dengannya. Sudah 2 tahun kami berpacaran setelah aku lulus kuliah. Mas Arjuna juga mengambil kedokteran dan juga di tempatkan di rumah sakit yang sama denganku hanya saja dia di bagian THT.
Sosoknya yang memang bisa aku bilang tampan, baik hati dan humoris itu membuatku selalu saja ingin berada di dekatnya. Apa lagi jika aku sedang mendiskusikan sesuatu, ada saja yang dia bisa lakukan agar tidak dibawa terlalu serius.
***
Hari telah berganti. Tetap seperti pagi kemarin hujan turun dengan deras. Tapi Mas Arjuna menjemputku dari rumah, jadi aku nggak perlu capek-capek kehujanan lagi. Tapi perasaanku pagi ini ada yang nggak beres deh, apa itu cuma perasaan aku saja soalnya dari kemarin perasaanku nggak enak banget seolah aku akan merasakan kehilangan sesuatu.
Seperti biasa aku memeriksa pasienku. Hal yang menyenangkan bagiku bisa membantu menyembuhkan penyakit mereka walau hanya Tuhan yang menentukan segalanya. Kenapa menyenangkan? Karena aku bisa mengetahui derita pasien dan sebisa mungkin membantunya. Dan memang menjadi dokter adalah cita-citaku sewaktu masih kecil.
Eh iya, semalam Laras menelponku, ternyata dia sudah sukses, dia memiliki toko roti yang membuka cabangnya di Jakarta. Hobinya sewaktu kami remaja dulu. Kadang kami juga mengirim wall di FaceBook. Aku lihat foto-fotonya juga sudah semakin cantik.
Saat aku menanyakan apakah dia sudah memiliki pacar? Dia menjawab belum. Dia curhat kalau dia mencintai seseorang tapi dia nggak berani ngomong langsung dengan cowok yang dia suka. Dia masih sama seperti dulu hanya memendam perasaannya. Saat ini dia berada di Malang, mengurus bisnisnya.
“Pagi Nara?” Sapaku saat memeriksanya.
Dengan senyuman yang sangat manis dia membalas sapaku, “Pagi juga dokter.”
“Lho Papa sama Lani kemana?”
“Papa sudah ke kantor 15 menit lalu, Mbak Lani kuliah tadi berangkatnya bareng Papa.”
“Okh… kok wajah kamu ceria gitu?” tanyaku soalnya dia sedari tadi senyum-senyum sendiri.
“Tadi malam aku mmpi ketemu Mama, Mama cantik banget deh. Aku juga mimpi ketemu Rendy, dia malah semakin tampab saja. Aku tahu kok, Dok, kalau semua sudah ada yang mengatur dan aku juga sudah terima pemberian Tuhan ini. Jadi aku nggak perlu murung lagi kan Dok?” ujarnya. Aku tersenyum mendengar perkataan dia. Walau tubuhnya yang semakin kurus saja dia tetap bersemangat.
Setelah memeriksa kesehatan Nara dan berbincang sebentar dengan dia aku bergegas menuju ruang operasi. Ada pasienku yang menderita kanker otak untuk segera di operasi karena keadaannya yang kritis, dia dirujuk ke rumah sakit ini karena keterbatasan alat di Malang.
Tapi saat aku hendak menuju ruang operasi, jantungku berdegup cepat dan terasa dingin. “Dok, pasien ini bernama Laras dari kota Malang, tolong lakukan yang terbaik,” ujar Dokter Fajar menepuk-nepuk halus pundakku.
Apa aku nggak salah dengar? Laras? Kenapa harus dia? Kenapa dia tidak menceritakan kepadaku tentang penyakitnya? Terasa bagai disambar petir mendengar kalau Laras menderita penyakit kanker otak stadium 4. Selama ini dia tidak pernah menceritakannya padaku. Selama ini dia menyembunyikannya dihadapanku, padahal dia menderita seperti ini.
Pisau dan gunting operasi berada dihadapanku, aku pun sudah mengenakkan pakaian operasi. Lampu operasi menerangi kepala Laras yang akan aku operasi. Aku terdiam menatap wajah manis Laras yang kini terbaring lemah dikamar operasi dengan selang oksigen yang menancap dihidungnya. Alat pendeteksi jantung pun telah dipasangkan, tapi aku masih nggak tega untuk mengeluarkan penyakit yang mendiami otaknya. Sedangkan diluar keluarganya menunggu kesuksesan lancarnya operasi ini. Ya Allah.. bantulah hamba untuk mengobati sahabatku ini…
Sepuluh jam lamanya aku bergelut dengan waktu untuk mengeluarkan penyakit yang berada di otaknya. Tubuhku bermandikan keringat. Semua peralatan operasi sudah di bersihkan. Alhamdulillah operasi berjalan lancar. Kini dia sudah dipindahkan ke ruang ICU.
“Ibu tabah ya? Kita berdoa saja semoga Laras bisa sembuh…” aku merangkul Ibunya Laras menyemangatnya.
“Ibu nggak tahu kenapa dia bisa menyembunyikan penyakitnya ini dari Ibu…” Sedari tadi dia hanya menangis, karena Laras adalah anak kesayangannya. Aku pun tidak menyangka kalau dia menderita seperti ini.
“Laras baik-baik saja kan?” Tanya Mas Arjuna. “Kenapa bisa seperti ini?” Tanya Mas Arjuna tidak menyangka.
Tiga hari Laras mengalami koma. Dan siang itu merupakan kebahagiaan bagi kami, Laras mulai sadar dari koma nya. Semuanya pun berkumpul menyaksikan kesadarannya, nampak kebahagiaan yang terpencar dari raut wajah mereka.
“Ja… ja… Jani,” dengan terbata-bata dia memanggilku. Dengan bergegas aku mendekatinya dan menggenggam kuat telapak tangannya.
“Akhirnya aku bisa bertemu denganmu juga, aku kangen banget sama kamu, Jani?” ucapnya lemas dan masih terlihat cantik walau raut wajahnya masih pucat pasi.
“Iya sayang aku juga kangen sama kamu, tapi kenapa mesti dalam keadaaan kayak gini? Kenapa kamu nggak cerita sama kami?” tanyaku sambil nangis. Aku dah nggak bisa menahan air mataku ini.
Dan dengan senyum manisnya dia menjawab, “Agar aku bisa melihat senyum kalian yang membuatku masih bisa bertahan seperti ini.”
“Tapi nggak seperti ini…”
“Hmmm… maafin Laras ya Jani, maafin aku ya Juna?” kenapa dia tiba-tiba meminta maaf seperti ini.
“Ibu… maafin Laras udah buat Ibu repot selama ini? Jangan kawatirin Laras… kalian cocok banget, kapan kalian nikah? Nanti aku diundang ya?” dan semakin lama pertanyaan dia semakin aneh membuatku semakin sedih saja. Apalagi Ibunya, sedari tadi menangis dan tidak kuat melihat keadaan anaknya.
Aku tesenyum dan mengangguk, aku membelai rambutnya pelan hingga membuatnya tidur, butuh istirahat pikirku. Tapi aku tidak menyadari bahwa tidurnya itu adalah untuk tidur selama-lamanya. Tidur yang sangat lama dan mungkin tidak akan membukakan mata untuk selama-lamanya.
***
Setelah pemakaman telah usai, aku menuju rumah Laras. Aku merasa baying-bayang dia masih terasa disetiap sudut ruangan ini. Ku lanjutkan langkahku menuju kamarnya, kamar dimana kami selalu bermain, mengerjakan tugas-tugas, dan curhat-curhatan. Masih terpajang karya seniku di dindingnya yang bercat biru muda. Aku tatap foto-foto dan benda-benda kesayangannya.
Diatas meja belajarnya terdapat buku diary berwarna merah, warna kesayangannya. Dengan hati-hati aku membacanya. Perlahan aku membuka kover diary itu. Tertampang foto dya yang lucu dengan kaca matanya yang unik dan dengan poyongan rambut bobnya.
Halaman demi halam aku baca, terkadang aku tertawa sendiri embacanya. Hingga pada lembaran selanjutnya aku tercengan membacanya. Dilembaran tersebut dia menulis bahwa dia telah menderita penyakit itu sejak kami sibuk dengan skripsi. Dia juga menuliskan kalau aku adalah salah satu belahan jiwanya.
Tapi, hampir dihalaman terakhirnya tak sengaja aku meneteskan air mata. Bahwa sebenarnya pria misterius yang dia sering ceritakan adalah Mas Arjuna. Orang yang selama ini dia cintai adalah Mas Arjuna. Ternyata dia mencintai Mas Arjuna sebelum aku mencintainya. Aku menangis sejadi-jadinya, bukan karena aku kehilangan dia, tapi aku sangat merasa bersalah merebut Mas Arjuna dari dirinya, sahabatku sendiri. Sahabat seperti apa aku ini.
Mas Arjuna memelukku dengan erat. Aku tidak bisa menghentikan tangisanku ini. Aku sangat bersalah padanya. Sangat. Maafkan aku Laras, maafkan aku. Aku tak bermaksud menyakitimu… aku berdoa semoga kamu bahagia di sana dan aku akan membahagiakan Mas Arjuna… selamat jalan Kawan..

Nama Lengkap : Dian Anlis PSB
Tmpat/Tgl lahr : Malang, 06 september 1992
Alamat             : Jl. Peternakan, Gg karya 2 no 56 o Rt.005 Rw.01
                           Kel. Tengah Kec. Kramat Jati
                           JAKARTA TIMUR 13540
Facebook         : Dian Anlis Ardika
e-mail              : diananlis@yahoo.com