Mar 26, 2011

Cerpen "Panggilan Gaib"

Panggilan Gaib
 oleh: Nadia Silvarani Lubis

Seperti biasa, jika aku sedang sendirian di ruang bacaku, aku membuka buku kenanganku semasa SMP. Begitu aku membukanya secara asal, halaman yang terpampang adalah halaman 23. Tepatnya, halaman biodata para murid kelas 3-4.
Tawaku meledak ketika kedua mataku tak sengaja tertuju pada foto seorang murid bernomor absen 14 di kelas itu. Nama murid itu adalah Chadizah Anwar. Kebetulan, foto genitnya itu diapit oleh foto seorang murid bernama Andika Azka dan Deryl Sastrohutomo. Membaca ketiga nama itu membuat tawaku terus menggelegar.
Mengapa ?
Saat itu di kelas 3-4, ada sebuah peristiwa konyol yang menggelitik seputar mereka bertiga. Meskipun sudah lebih dari sembilan tahun, aku tak pernah lupa dengan kejadian itu.
Bahkan, aku tak bosan untuk mengenangnya.

***
Ketika bel istirahat berdering, semua murid SMP Nusa Bangsa berhamburan keluar kelas. Lorong lantai satu yang tadinya sepi, kini riuh penuh teriakan dan canda anak-anak. Mereka berbondong-bondong berjalan menuju kantin untuk mengisi perut mereka atau bermain basket di lapangan.
Tetapi tidak untuk Ijah,  Otong dan Udin. Mereka terlihat masih asyik ngerumpi di kelas. Padahal biasanya, ketika bel istirahat berdering, mereka bertiga langsung keluar kelas dan berjalan cepat menuju kantin.
Ya! Hari ini memang ada yang berbeda dengan mereka. Kehadiran telepon genggam Ijah yang baru adalah penyebabnya. Gara – gara itu, mereka lebih memilih untuk membicarakan kecanggihan sang handphone spektakuler daripada mengatasi perut keroncongan mereka di kantin.
“Nih liat…. Gue punya hape berkamera.” pamer Ijah kepada dua sohibnya. Otong dan Udin pun berdecak kagum atas kehadiran Noqia 3650 itu. Di awal tahun 2002, seri hape yang dimiliki Ijah adalah seri yang paling baru, keren, dan satu – satunya yang memiliki fitur kamera. Di sekolah, hape jenis ini hanya dipakai oleh anak – anak gaul atau para pentolan angkatan.
Namun, Ijah membuat gebrakan baru. Ia ingin membuktikan kepada dunia bahwa seorang biasa dan tak gaul seperti dirinya mampu membeli barang legendaris itu. Sebentar lagi, ia berniat untuk memamerkannya kepada anak – anak gaul di kelasnya. Kebetulan, diantara lima kelas di angkatan mereka, kelas 3-4 adalah kelas yang paling banyak anak gaulnya.
Maka dari itu, wajar sekali jika Ijah berambisi untuk tampil keren di hadapan mereka. Siapa tahu dengan begitu, dirinya akan diajak bergabung ke dalam kelompok mereka. Kalau hal itu terjadi, tentu saja ia akan bebas dari Otong dan Udin. Karena, meskipun mereka jarang bertengkar, Ijah ingin sekali berpisah dari dua sahabatnya itu. Menurutnya, kurang keren saja kalau hang out atau nongkrong bersama mereka berdua.
 “Wah Jah…” Mata jereng Otong membelalak “Akhirnya lo punya hape juga. Bertaun-taun lu kagak punya hape. Sekalinya punya, berkamera coy! Foto dong foto!”
“Eit... Entar dulu.” potong Ijah “Gue mau mamerin nih hape dulu ke anak-anak Galaxie (Gank anak-anak gaul di angkatan mereka). Selama ini kan cuma mereka doang yang punya hape berkamera. Sekarang gue mau nunjukin ke mereka kalo anak diluar Galaxie kayak gue gini bisa punya hape sekeren mereka.”
“Blagu lu Jah.” Ledek Udin.
Tiba-tiba, Deryl, Azka dan Tara masuk kelas. Mereka bertiga adalah anggota gang Galaxie di kelas ini, kelas 3-4.
 Kebetulan banget mereka dateng! pikir Ijah Gue pamerin sekarang ah!
Seperti biasa, ketiga anggota gank itu duduk di pojok kelas. Si bongsor Deryl yang merupakan ketua Gank duduk di atas meja, sedangkan si hitam manis Azka duduk di kursi sambil menaikan kakinya ke meja. Yang paling tidak aneh - aneh adalah si Cantik Tara. Cewek bertubuh mungil ini hanya duduk manis di samping Azka.
Saat ini, ketiga anak gang itu sedang asyik membahas foto penampakan yang tersimpan di hape Deryl. Seri hape itu tentu saja Noqia 3650. Saking seramnya, sampai – sampai Azka dan Tara meminta gambarnya. Karena seri hape mereka sama – sama Noqia 3650, gambar mistis itu pun mudah dikirimkan oleh Deryl melalui via Bluetooth.
Walaupun mereka anak gaul, obrolan yang mereka perbincangkan tak jauh berbeda dengan obrolan anak – anak lain. Mereka juga senang membicarakan hal – hal gaib. Saat itu, hal – hal semacam ini memang telah menjadi buah bibir yang seru. Sampai – sampai banyak orang berpikir kalau tahun 2002 adalah tahunnya para hantu. Selain film horor di bioskop, stasiun-stasiun televisi pun banyak menyiarkan acara-acara yang menampilkan hantu seperti uji nyali atau pemburu makhluk gaib.
“Kalo yang ini foto hantu aborsi!” tunjuk Azka ke layar ponselnya.
“Ah! Nggak serem Zka! Sereman punya gue!” balas Deryl. Kenyataannya memang benar. Foto setan kepunyaan Deryl lebih membuat bulu kuduk merinding. Foto itu bergambar close up wajah pocong dengan bibir agak terbuka dan mengering. Tulang pipinya sangat menonjol di bawah lingkaran mata yang amat hitam. Apalagi ikat kafannya sudah kecoklatan karena tanah. Hiiiiiiiii.....
“Da, dapet dari mana lo Ryl?” Azka agak ketakutan.
“Internet. Katanya ini mayat korban pembunuhan. Foto ini diambil waktu polisi lagi mengotopsi ulang jenazah yang tadinya udah tenang-tenang dikubur.”
Selagi Azka dan Deryl asyik mengobrol soal setan, tiba – tiba Ijah datang menegur mereka.
“Hey, hey, hey, guyz….” Senyum Ijah penuh takabur “Sorry nih ganggu sebentar. Nomer hape kalian berapa sih? Gue mau masukin nomer kalian ke Phone book nih.”
”Wah! Hape baru Jah?” tanya Deryl seraya memandang hape bercasing merah yang ada di tangan Ijah.
”Iya nih. Kemaren bokap gue dapet bonus gitu deh dari kantornya. Jadi gue dibeliin hape berkamera ini. Keren kan?”
Setelah Ijah mendapat nomer hape Tara, Azka dan Deryl, ia tak lupa meminta foto mereka bertiga masing-masing.
”Ngapain sih Jah? Gue lagi males difoto tau!” Deryl menutup wajahnya, menolak untuk difoto Ijah dengan hape barunya.
”Ih Deryl kok nggak mau difoto...” Manja Ijah sok imut “ Biar kalo lo nelpon, ada foto lo di layar handphone. Otong dan Udin mau difoto. Masa lo kalah sama mereka?”
“Ntar deh. Ntar. Gue kirimin foto gue yang lagi cakep.” Hindar Deryl.
“Oke kalo gitu. Jangan lupa ya. Melalui via bluetooth aja Ryl.” Senyum Ijah masih takabur kemudian diikuti dengan anggukan Deryl yang penuh keterpaksaan.
“Kriiiiiiiiinnngggg…” Bel masuk berdering seketika. Para murid kembali masuk kelas. Begitu juga dengan Pak Lukman. Pelajaran Matematika pun segera dilanjutkan.
Selama pelajaran, Ijah masih memamerkan hape terbarunya. Beberapa kali ia berteriak-teriak menanyakan nomor hape teman-teman sekelasnya, berfoto atau tukar-menukar gambar. Ia benar-benar takabur.
 “Norak!” Dumel Deryl kesal. “Eneg banget sih tuh orang. Baru punya hape aja lagaknya dah kayak punya pabriknya. Gimana ya caranya supaya tuh anak tau rasa?! Moga-moga besok hapenya rusak ato ilang atau kecemplung di got!”
“Kenapa lo?” tanya Azka, teman sebangkunya ”Sama Ijah aja dendam! Nggak level.”
Deryl tidak menggubris pertanyaan Azka. Ia hanya memandang Ijah dari kejauhan dengan penuh kesinisan. Karena sudah naik pitam, ia berencana untuk mengirim SMS ancaman ke Ijah supaya jangan norak dan kampungan.
Tetapi,
ketika Deryl mengeluarkan telepon genggamnya dari saku, tiba-tiba saja sebuah ide jahil menghinggap di benaknya. Senyum licik mulai bersemayam di bibirnya. Tanpa menunggu apapun, ia langsung mencolek Azka.
“Mmm... Zka, gue tau cara ngediemin Ijah.” katanya.
“Gimana? Kita sita aja hapenya?” tebak Azka.
“Pokoknya liat deh. Pas istirahat kedua gue akan beraksi!”


***
Setelah bel istirahat kedua berbunyi, Deryl segera menjalankan rencana bulusnya. Ia mencegat Ijah yang hendak keluar kelas.
“Ijah....” panggil Deryl senyam-senyum jahil.
“Kenapa Ryl?”
“Gue udah ada foto gue yang lagi ganteng. Mau gue kirim ke hape lo nggak? Melalui via bluetooth aja kan?”
“Boleh, tapi nanti aja ya Ryl. Gue mau makan dulu di kantin. Laper nih. Tadi pas istirahat pertama, gue belom makan.
“Yah Ijah...” Deryl kecewa “Sekarang aja deh!”
“Duuhh...ya udah deh. Nih!” Ijah menyerahkan hapenya tanpa curiga. Sepeninggal Ijah, Deryl segera mengutak-atik dan mengirimkan sesuatu ke telepon genggam Ijah. Sesuai dengan keinginan Ijah, ia menaruh foto itu ke contact-nya.
Mampus lo Jah! Deryl tertawa geli dalam hati.
Beberapa lama kemudian, bel masuk berbunyi. Anak-anak kembali melanjutkan pelajaran. Termasuk Ijah yang udah begah makan nasi gule.
Ketika pelajaran dimulai, Azka kembali bertanya pada Deryl, ”Ryl, mana? Katanya mau ngerjain Ijah pas istirahat tadi?”
“Udah deh. Lo liat aja.” Ujar Deryl.
Kemudian, Deryl mengambil hapenya dari saku celana, “Sekarang gue mau nelpon Ijah.”
Jangan! Kalo hape dia nggak di silent gimana? Bisa disita dong!” terang Azka.
“Udah biarin aja! Lagian gue nggak bermaksud ngebuat hape Ijah disita kok.”
Deryl segera menekan nomor hape Ijah.
Dari tempat duduk Ijah yang terletak paling depan, ia menyadari getaran panggilan telepon. Tanpa menunggu waktu lama, ia mengeluarkan hapenya dari kantung dan melirik ke layar hapenya.
Lalu....
JENG! JENG! JENG! JENG! JENG!
Wajah Ijah drastis menegang.
Matanya membelalak.
Lidahnya kelu seketika.
Tak ada kata yang dapat terlontar di bibirnya. Sementara peluh terus membanjiri dahi jenongnya.
Mimik Ijah sungguh tak enak dilihat!
“Ryl, kenapa tuh si Ijah?!” bisik Azka panik. Ekspresi Ijah yang tegang benar – benar membuatnya ketakutan juga.
 “Ba.Ba.Ba.Ba.Ba.Ba.Ba.Ba.Ba.Ba.” Ijah meletup-letupkan bibirnya. Ia pucat sepucat-pucatnya. Tangan kanannya yang menggenggam hape gemetaran kencang. Saat ini, entah mengapa, kedua matanya tak bisa beralih dari monitor handphonenya. Ia merasa seolah terkena hipnotis.
“Ryl, Ijah kenaPA?!” desak Azka penasaran.
Bersamaan dengan itu, pak guru menyadari tingkah laku Ijah yang aneh.
Kamu kenapa Ijah?!” paniknya seketika.
Namun Ijah tak menjawab. Jantungnya masih berdetak kencang.
“Pak, saya mau ke belakang dulu.” karena tak kuasa menahan tawa, Deryl pun pura-pura izin ke toilet. Dan tanpa curiga, pak guru pun mengizinkannya.
Sepuluh menit berlalu. Namun Deryl belum juga kembali dari toilet. Akhirnya, Azka menyusulnya.
“Ryl, Lo apain tuh si Ijah?! Kok dia jadi kayak orang kesetrum gitu?”
“Hahaha....” tawa Deryl penuh kebahagiaan di dekat wastafel “Emang sekarang dia dimana?”
“Di kelas. Udah nggak kenapa-kenapa sih, tapi masih kayak orang shock gitu. Emangnya ada apa sih? Lo ngirim SMS anceman ya ke dia? Isinya apa?”
“Apa? SMS anceman? Enggak kok!”
“Jadi?”
“Lo tau foto yang tadi pagi gue tunjukin?” Deryl masih tertawa-tertawa tak jelas.
”Yang pocong itu?”
“Iya Zka. Gue ganti nama gue di Phone booknya si Ijah jadi ‘si pocong’. Terus gue masukin foto pocong ke contact gue itu. Biar kalo gue yang nelpon, tulisan sama gambar yang muncul di layar handphone namanya po~......”
“HUAHAHAHAHAHA!” belum selesai Deryl bercerita, Azka sudah ngakak berlebihan. Ujung-ujung matanya sampai mengeluarkan air mata.
“Seru kan Zka?! Biar tahu rasa dia! Dasar tukang pamer!”
“Seru! Seru!” Azka mengancungkan kedua jempolnya“Lo emang jagonya iseng!”
“Tapi bagaimana pun juga, gue harus minta maaf sama Ijah Zka.”
“Iya juga sih Ryl. Soalnya dia sampe panik panas gitu. Lagipula, cepat ato lambat, dia pasti tau kalo lo yang ngisengin dia. Nomornya ’si pocong’ kan nomer hape lo!”
Setelah itu, Deryl dan Azka kembali ke kelas untuk meminta maaf kepada Ijah. Sudah bisa ditebak, Ijah sangat murka kepada mereka berdua. Namun itu tidak penting bagi Azka atau Deryl.
Ijah gitu loh!
”Tenang Zka.. Diajakin nonton battle breakdance bareng cowok-cowok ganteng Galaxie juga dah baean tuh si Ijah.” tawa Deryl cekikikan.

***
Sejak kejadian itu, Ijah memilih untuk berjaga jarak dengan anak – anak gank Galaxie. Ia tak lagi berniat untuk bersahabat dengan anak – anak gaul itu. Ia menyadari jika dirinya hanya dijadikan bual – bualan. Meskipun Otong dan Udin tak sekeren Azka atau Deryl, tapi setidaknya Ijah sadar kalau kedua temannya itu lebih menghargai dan menerimanya apa adanya. Yah... itulah nilai persahabatan yang sebenarnya.
Sambil tetap menyunggingkan senyum, aku menutup buku kenangan dan mengembalikannya ke dalam rak. Sebentar lagi jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Sudah saatnya aku kembali duduk di depan komputer dan mulai bekerja.
***
(Silvarani)