Mar 21, 2011

Cerpen "Sketsa Di Ufuk Jingga"

SKETSA DI UFUK JINGGA
oleh: Suecyati Dyah Ayuning Pakerti

          Segalanya tampak begitu putih, setidaknya pemandangan itulah yang menyapa iris mataku. Aku tidak tau apa atau sedang dimana aku saat ini. Sejauh mata memandang hanya padang putih yang menghampar. Hanya putih. Entah salju, entah kabut. Tidak ada siapa-siapa disini, hanya aku seorang diri. Angin bertiup semilir mengibarkan gamis dan kerudungku yang baru kusadar ternyata juga putih. Dinginnya menusuk-nusuk tulang. Lalu tiba-tiba di timur tampak semburat cahaya jingga, berkas-berkasnya semakin terang menyapu putih. Dan kurasakan setetes embun jatuh mengenai pipiku. Dingin. Bersamaan dengan itu kulihat ada seseorang berdiri di antara berkas-berkas jingga itu. Benar. Dia seorang laki-laki dengan wajah bercahaya. Lama dia menatapku, dan tersenyum tipis. Lalu…
          “Pasar.. pasar.. persiapan turun..!”
          Aku tergeragap. Kurapikan rambutku yang sedikit acak-acakan karena tidurku yang pulas selama dua jam perjalanan di dalam bus. Aku baru saja terbangun ketika mendengar suara kondektur bus memperingatkan para penumpang yang akan turun di pasar Legi untuk segera bersiap-siap, bus tidak akan berhenti lama untuk perhentiannya kali ini karena akan singgah di terminal yang tidak jauh dari pasar ini.
Ah.. mimpi itu lagi. Kembali terlintas dalam pikiranku peristiwa di alam bawah sadarku yang akhir-akhir ini menggangguku. Bagaimana tidak. Mimpi itu menghampiriku berulang kali tanpa aku tau apa maksudnya. Padang luas yang segalanya putih, aku yang memakai gamis dan kerudung putih, dan laki-laki dengan wajah bercahaya itu, siapa dia?
          “Ahh…” aku mendesah. Mencoba membuang segala prasangka yang semakin membuat kepalaku pusing.
          Sebagaimana penumpang lain berdesakan merapat ke depan karena bersiap untuk turun, aku pun melakukan hal yang sama. Aku beranjak berdiri dari tempat dudukku di deretan ke empat dengan menenteng sebuah tas besar berisi laptop dan buku-buku serta berkas-berkas penting hasil penelitianku, rencananya liburanku kali ini akan kugunakan untuk menyelesaikan KTI. Sungguh, minggu-minggu terakhir ini pikiranku terkuras dengan tugas-tugas kuliyah yang seperti tidak ada habisnya.
          “Pasar… pasar…!” kondektur kembali mengingatkan. Kuselempangkan tas kecil biruku di pundakku dan perlahan melangkah ke depan. Bus berjalan pelan dan mulai berhenti tepat di pertigaan pasar Legi, para penumpang berjejal turun, termasuk diriku.
          “Moker.. Surabaya…”
          “Ayo Surabaya.. lungguh…”
          Kembali kondektur memamerkan suara nyaringnya untuk menarik penumpang. Ketika tiba di mulut pintu aku bergegas untuk melompat turun. Seketika debu-debu jalan menyapu wajahku yang kelelahan, aku terus berjalan mencari tempat untuk berteduh sebentar. Beberapa sopir angdes menawariku untuk tujuan yang dikehendakinya dan untuk kesekian kalinya aku menggeleng. Matahari bersinar dengan teriknya, dan pasar ini selalu menyajikan aroma yang sama dari waktu ke waktu, dari ketika dulu aku sering menyambanginya dengan ibuku. Ah.. mengenangnya membuatku semakin rindu pada ibu. Sejenak kuperhatikan kendaraan yang lalu lalang, tapi belum juga tampak lyn G, lyn yang akan membawaku ke desa mungilku yang selalu kurindukan.
          Aku masih berdiri di pinggir jalanan pasar ini, tanpa tahu apa yang akan tejadi semilidetik kemudian, tiba-tiba… seseorang menarik paksa tas selempangku, dan semilidetik selanjutnya ia telah berlari dengan tas selempangku berada di tangannya. Aku sontak berteriak,
          “Jambret… jambret… tolong jambret…” teriakku kebingungan sambil menunjuk orang yang telah membawa kabur tas selempangku.
          Orang-orang yang mengetahui kejadian itu segera mengejar penjambret itu, tapi terlambat, dengan sigapnya dia melompat ke dalam bus yang segera melaju kencang. Mereka gagal menangkap penjambret itu. Sebagian dari mereka kembali untuk menghampiriku, tapi tak banyak yang dilakukan sebelum kemudian bubar lagi meninggalkanku sendiri yang masih kebingungan. Tapi seorang pemuda mendekatiku.
          “Sabar ya mbak, insyaAllah mendapat gantinya yang lebih baik. Lain kali lebih berhati-hati. Disini rawan dengan hal-hal seperti itu.” Katanya seraya menyerahkan tas besarku yang terjatuh ketika ikut mengejar penjambret tadi.
          Aku hanya mengangguk tanpa berkata-kata. Sempat kuperhatikan sebentar laki-laki tadi. Lalu dia pergi tanpa aku peduli. Tubuhku terasa lemas. Aku bingung. Beberapa detik berlalu dengan pikiranku yang masih buntu. Aku hanya bisa menangis. Di dalam tas kecil itu ada handphone, kamera digital, dan dompet beserta ATM BCA yang isinya lumayan. Semuanya lenyap dalam waktu kurang dari semenit. Aku sudah tidak punya uang lagi sedangkan aku baru menempuh tiga perempat perjalanan. Aku mematung. Sendiri. Rasanya hanya seorang diri. Meskipun aku tahu di sekelilingku tak kurang jika hanya menghitung sepuluh orang. Tapi tak ada yang peduli.
          Kuraih tas besarku dan memaksakan kaki untuk berjalan. Mungkin ini tindakan konyol jika aku berjalan kaki dari pasar Legi sampai rumahku yang ada di Bebekan. Padahal jika ditempuh dengan lyn saja membutuhkan waktu kira-kira satu jam lima belas menit. Tapi apa boleh buat, aku sudah tidak punya uang sama sekali. Justru akan lebih konyol jika aku memilih diam dan menghabiskan malamku di pasar.
Sejenak setelah meladeni pikiran konyolku itu kusadari seseorang dengan motor Satrianya berhenti di dekatku, aku tidak peduli siapa dan mau apa, karena saat itu mungkin otakku belum bekerja seratus persen dan masih tenggelam dalam kebingungan.
          “Mbak Al…!” sapa laki-laki itu setelah membuka helmnya, “Benar mbak Almira..?” tanyanya lagi memastikan. Aku menoleh.
          “Mas Andri!” sahutku pelan. Dia adalah tetanggaku, ibu sering minta tolong padanya, termasuk mengantar jemputku ke sekolah ketika aku SMP dulu.
          “Darimana mbak? Kok jalan kaki?”
Aku terisak lagi, “Aku.. aku dijambret mas”, kataku terbata-bata, “Dompet dan HPku dijambret”.
          “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Ya udah kalo gitu mbak bareng aku aja. Kebetulan aku udah selesai kerja dan ini mau pulang.” Aku masih bergeming.
          “Mau ya mbak?” tanyanya lagi.
          Aku mengangguk.
ﮓﮓﮓ
          Kulirik arloji di pergelaangan tangan kananku, pukul tiga kurang dua puluh menit. Sepertinya desa ini sedang memamerkan wajah barunya, jalanan yang dulu terjal berbatu kini telah berganti dengan aspal halus, di kanan kirinya tampak saluran air yang mengalir ke kali tak jauh dari rumahku. Dan jembatan reyot yang melintang di atas kali itu, wow… benar-benar baru. Sepertinya pemilihan kepala desa yang baru bulan lalu membawa kemajuan yang berarti bagi desa ini. Baguslah… memang seharusnya begitu..
          Hufft… akhirnya sampai juga. Ada mbak Ini yang sedang menyapu halaman rumah dan segera menyambutku. Dia sudah lama membantu ibuku dalam mengurus rumah tangga.
          “Mbak Almira… monggo masuk mbak!! Ibu ada di dalam.” Katanya sambil menenteng sapu menghentikan aktivitasnya dan segera menghampiriku.
          “Iya mbak.” Sahutku.
          “Eh makasih ya mas udah nganterin pulang,” ucapku pada mas Andri, “Nggak mampir dulu?”
          “Nggak usah mbak. Aku langsung pulang aja.”
          “Oh ya udah kalo gitu, sekali lagi makasih ya..”
          “Sip!” katanya sambil tersenyum dan menstarter satrianya.
          Untung tadi ketemu mas Andri. Kalo nggak, mungkin…
          “Nduk, sudah datang to? Kok nggak nelfon dulu? Biasanya kan minta jemput. Lha tadi pulang sama siapa?” ibu muncul dari balik pintu dan memberondong pertanyaan padaku. Aku segera menghampirinya dan mencium tangannya.
          “Al dijambret bu. HP, dompet, sama kamera digital yang baru dibeliin ayah hilang. Al pulang bareng mas Andri. Tadi ketemu di Pasar.”
          Ibu membelai rambutku dengan tersenyum, “Ya udah nggak apa-apa, nanti diganti sama yang baru. Mudah-mudahan bermanfaat buat yang ambil.” begitulah ibuku, nggak pernah bisa marah. Wajahnya yang teduh di balik kerudungnya selalu menentramkan hatiku. “Trus sekarang Andri mana?” sambungnya.
“Langsung pulang.” Jawabku singkat.
ﮓﮓﮓ
          Aku termenung di kamar. Menghadap jendela, mengamati bintang-bintang yang membentuk pedati sungsang. Ditemani sepiring kripik singkong dan merdu Beethoven`s yang mengalun dari minitape-ku. Serpih-serpih mimpi itu kembali menari-nari dalam otakku. Begitu nyata. Kenapa aku memakai gamis dan jilbab layaknya muslimah sejati? Memang iya, ibuku sering mengingatkanku untuk untuk memakai jilbab. Tapi aku tak pernah mengindahkannya, malah sering kali yang kupakai adalah pakaian yang jelas-jelas ibu tidak suka. Jeans, kaos ketat. Dan aku nggak pernah peduli.
          Lalu laki-laki cahaya itu, ah… wajahnya meninggalkan rasa tersendiri di hatiku. Senyumnya.. jika boleh, aku ingin memilikinya. Tapi siapa dia? Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua ini.
          Pikiranku melayang lagi dan hinggap pada sesuatu yang lain. Bulan lalu ibu bicara serius denganku. Beliau ingin aku agar cepat menikah. Ingin segera menimang cucu biar rumah menjadi ramai. Aku bisa memaklumi itu, karena memang di rumah yang cukup besar ini hanya ibu seorang diri yang meninggali. Ayah, dengan tugasnya yang selalu di luar kota hanya pulang sebulan sekali. Aku, anak tunggalnya yang saat ini kuliyah di Kediri juga sangat jarang berada di rumah. Kasihan ibu… selalu kesepian.
          Tapi aku tak pernah mendengarkannya. Aku memang belum punya pandangan untuk segera menikah. Lagipula mau menikah sama siapa, calon saja belum punya.
          Glek..!! Pintu kamarku terkuak, aku menoleh. Ibu masuk dengan sesuatu di tangannya dan duduk di sampingku.
          “Apa itu bu?” tanyaku penasaran.
          “Ini?” ibu balik bertanya, “Nih.. buka aja.”
          Kuraih sesuatu itu dari tangan ibu, yang ternyata adalah sebuah undangan pernikahan. Mewah sekali. Pasti orang kaya, batinku. Namun betapa terkejutnya aku ketika membuka halaman depan undangan itu, disana tertera nama pasangan yang akan menikah. Sagita Almaira dan Naufal Izzudin. Aku mendongak. Menatap ibu dengan sejuta tanya.
          “Ibu kenapa nama Al ada disini bu? Siapa yang akan menikah?” nada suaraku meninggi, “Dan laki-laki itu, Naufal, siapa dia?”
          “Almira tenang dulu nduk, Naufal itu calon suami kamu. Kalian akan menikah hari Rabu besok.” Ibu menarik nafas panjang,“ Dan ibu berharap kamu tidak menolak perjodohan ini.”
          “Apa?” sontak aku berdiri dan membuang undangan itu ke ranjang. “Tapi ini nggak adil bu. Kenapa ibu nggak bilang dulu sama Al? Pernikahan itu nggak main-main bu! Ahh…” Aku mengacak-acak rambutku menahan kesal.
          “Naufal itu anak baik, kamu kan sudah pernah bertemu dengannya.” Nada bicaranya tetap lembut seperti biasanya.
          “Apa-apaan ini? Nggak. Pokoknya Al nggak mau! Batalkan acara pernikahan itu!”
          “Dibatalkan? Kamu nggak bisa seenaknya gitu dong Al. Kamu…” ibu kaget dan langsung berdiri, tapi aku segera menyahut ucapannya.
          “Ibu yang seenaknya. Ibu nggak memikirkan perasaan Al. Ibu nggak peduli apakah Al cinta sama dia apa enggak. Ibu nggak peduli apakah Al mau nikah sama dia apa enggak.” Kemarahanku meluap, kurasakan ada yang hangat mengalir di pipiku. “Lebih baik Al pergi dari sini. Almira akan cari cinta Al sendiri.”
          Aku berlari keluar meninggalkan ibu yang masih terduduk sendirian. Aku tahu, aku sudah membuat hati ibu terluka, tapi aku nggak terima dengan semua ini. Aku terus berlari di jalanan raya yang masih ramai dengan lalu lalang kendaraan, airmataku semakin deras. Entah kemana langkah kaki membawaku pergi. Tiada lain yang kurasakan saat ini kecuali hatiku yang sakit karena perih. Ya Tuhan.. aku pun tak ingin menjadi anak durhaka. Kupandangi bulan yang selalu khidmat menjaga terangnya alam, membuatku iri. Keberadaannya adalah rahmat bagi seluruh semesta. Andai tanpa cahayanya, maka dunia ini buta. Tapi aku..? hidupku tidak ada gunanya. Bahkan untuk membuat ibu bahagia pun aku tak sanggup.
          Tiba-tiba cahaya yang begitu menyilaukan bersiborok dengan mataku, hingga lensanya tak mampu lagi untuk berakomodasi. Suara klakson mobil terdengar bertubi-tubi. Aku tidak merasakan apa-apa lagi. Tubuhku seperti melayang. Lalu gelap. Aku pasrah. Jika ini adalah akhir dari hidupku maka itulah yang kuinginkan.
          “Aaaa…..!!!” teriakku tanpa komando.
          BRAKK….!!!!
          Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi seketika kesadaranku muncul. Perlahan kucoba untuk membuka mata. Napasku memburu. Aku tidak yakin dengan keadaanku saat ini. Aku… kulihat di tengah jalan beraspal itu banyak kerumunan orang. Aku bangkit dengan kesadaran yang masih setengah-setengah. Kulangkahkan kaki menuju kerumunan itu. Ingin mengetahui apa yang terjadi. Dan yang terpampang jelas di pandangan mataku saat ini adalah seorang laki-laki muda yang tergolek di aspal dengan kepala bersimbah darah. Sebuah truk pengangkut pasir telah menabraknya beberapa menit yang lalu. Polisi mulai berdatangan dan mengevakuasi TKP. Sempat terjadi kemacetan di ruas jalan itu.
          Aku masih memperhatikan wajah itu dalam keremangan cahaya. Ada sesuatu yang menari-nari di neuron otakku. Apa..? aku masih mencoba menjelajahi pikiranku sendiri. Wajah itu, putih bercahaya. Bukan karena temaram cahaya remang-remang. Tapi cahaya itu memang memancar dari wajahnya. Aku yakin itu. Dan senyum tipisnya.. ya Tuhan.. laki-laki fajar itu.. tiba-tiba kepalaku pusing. Aku nggak mungkin salah. Dia yang di akhir-akhir malamku selalu membuatku tersipu dengan senyumnya. Dia yang hadir di padang Sahara diantar semburat jingga dari ufuk. Ya Tuhan.. dialah laki-laki fajar yang mengusik hati dan pikiranku selama ini.
          Korban kecelakaan sudah dilarikan ke Rumah Sakit dengan ambulance, kemacetan yang sempat terjadi sudah mulai lancar kembali. Sementara aku masih mematung tidak percaya. Apa ini hanya kebetulan? Atau memang sudah menjadi rencana Tuhan? Tapi masih sangat sulit bagiku untuk mempercayainya. Jika memang hanya kebetulan, maka ini terlalu kebetulan.
          Satu per satu orang-orang mulai meninggalkan TKP. Aku termenung beberapa saat untuk sekedar bergantian mengamati mereka. Lalu aku melihat ada sesuatu yang tertinggal di tempat kejadian itu. Kucoba mendekat. Ternyata sebuah amplop berwarna putih yang di sisi kiri atasnya tertulis “untukmu serojaku”. Aku memungut amplop itu dan menimang-nimangnya beberapa saat. Lalu kuputuskan untuk membukanya. Dadaku berdegup kencang ketika menatap barisan huruf yang merangkai isi surat itu.


Kabut,
Tak pernah beranjak untuk meninggalkan Sahara dalam kesendirian
Lalu di ufuk jingga merona
Menyatu dalam hembusan angin
Dan kau ada disitu
Terdiam mematung dengan gamis panjangmu
Kau yang begitu anggun dibalik balutan jilbab putihmu
Aku sempat berpikir mungkin engkau adalah bidadari yang dikirimkan Tuhan untukku
Betapa tidak
Kau yang selalu hadir di setiap penghujung malamku
Mengusik ketenangan jiwaku
Lalu, aku datang padamu
Sebentar saja, karena kau segera pergi
Kau tak pernah memberiku kesempatan untuk mengungkapkan isi hatiku
Bahwa, aku mencintaimu
Aku berkelana meniti jejak mayamu
Tapi tak pernah kutemukan dirimu dalam kenyataan
Aku seolah gila dengan kau dalam hayalku
Dan aku semakin gila melihatmu masih setia menunggu di kesunyian Sahara itu
Aku ingin segera menjemputmu
Namun kala waktu itu datang
Kau telah akan menjadi milik orang lain
Sungguh, aku tak pernah menyesal telah terlanjur mencintaimu
Karena bagiku pernah merasa memilikimu sudah cukup untukku
Kau tetaplah serojaku
Dulu, saat ini, dan nanti
Dan sekarang aku hanya ingin mendoakanmu
Semoga harimu bahagia dan hidupmu bermakna bersama kekasih hatimu

                                                            Yang kau lihat bersama Jingga

           Kulipat kembali surat itu dengan hati hancur seperti dilumat piranha. Tidak ada siapapun yang memeluk hibur, tidak ada siapapun yang menghapus sedih, tidak ada siapapun yang menopang. Sendiri saja. Tersungkur dalam sedu sedan yang menoreh jiwa. Tangisku menggema di sebuah perambatan malam menuju puncak peraduannya. Kenapa segalanya selalu datang terlambat? Hingga harus ada airmata yang terbuang, harus ada kepedihan dan kehancuran.
           Kulihat bulan murung. Mungkin ia tau apa yang tengah aku rasakan saat ini. Aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa atas semua ini. Aku yakin Tuhan itu Maha Adil. Meski terkadang aku tak tau dimana letak keadilan itu. Mungkin ini teguran untukku yang telah lama melupakannya. Aku ingin kembali. Aku ingin berubah. Aku menyesal tak pernah mendengar nasehat ibu selama ini. Ya Allah…
           Aku tak pernah merasa hatiku suci. Aku tak pernah merasa hatiku bersih. Aku juga tak pernah merasa hatiku murni. Karena aku hanya manusia biasa yang tak lekang dari salah dan dosa. Aku juga tak pernah merasa sempurna. Tapi aku akan berusaha menjadi lebih baik. Menjadi aku yang kau lihat di padang Saharamu. Karena dulu, saat ini, dan nanti, aku adalah serojamu.

Dan kau ada disitu
Terdiam mematung dengan gamis panjangmu
Kau yang begitu anggun dibalik balutan jilbab putihmu

=================================================================
Penulis:

Haii...
Namaku Suecyati Dyah Ayuning Pakerti (hehehe... kejawen banget ya..). temen2 sic biasanya panggil aku Suchy. sekarang aku SMA kelas 2. aku orang jombang yang tinggal di Kediri (pastinya bwt sekulah). aku suka bikin cerita2 fiksi, sebenarnya itu g lepas karna hobiku yang suka menghayal. tapi aku selama ini aku nggak pernah tau kemana harus menyalurkan kegemaranku itu. so, makasih banget buat Gen karena dengan begini cerpen2ku bisa dibaca sama orang. jangan lupa kasih komentarnya yach...
alamat FBku isid4rs4fir@yahoo.com.
thx 4 all..
=================================================================