Jul 24, 2011

Cerpen: Jangan Menyerah

Jangan Menyerah

Cerpen Jangan Menyerah
Penulis: ANITA HERLINA
          Perlahan ia menarik nafas panjang matanya berkeliling mengamati seluruh isi kamar. Perasaan kecewa menyelinap dihatinya bertumpu pada satu piala-piala yang bejejer di lemarinya. Di dekatinya piala yang paling besar. Kebanggaanya itu diraih mengikuti kejuaraan cerpen.

          Perasaan sesak memenuhi rongga dadanya, mana kala teringat dua bulan yang lalu. Peristiwa yang telah menjadi manusia yang sempurna.

          Waktu itu, Andin dalam perjalanan pulang dari lomba menulis cerpen bersama teman-temanya berjalan menuju luar gerbang gedung.

          Tiba-tiba saat ia menyebrang ada sebuah bis menabraknya dengan kecepatan tinggi dan kakainya tertindas ban depan…. Ya Tuhan!orang disekitarnya terpekik bayangan mereka pasti tamat riwayatnya…

“Tidak! kakiku hancur, kulitku seperti terbakar dan tersobek-sobek. Aku merasakan perih, sakit, ngilu dan perihnya.” Anehnya ia masih sadarkan diri meski kaki dan badanya dipenuhi dengan darah.

          Mereka segera membawa kerumah sakit, karena kondisinya yang parah, dirumah sakit ini ia dinyatakan tidak tertolong. Keputusan terakhir, kakinya harus di amputasi jika tidak maka kaki kirinya akan membusuk. Orang tuanya sangat tidak rela dengan keputusan dari rumah sakit itu. Tetapi ada daya hanya itu jalan terbaik untuk kesembuhan anaknya. Andin selama itu koma 2 minggu dan ia di amputasi.

          Saat ia siuman, ia melihat kakinya tak ada. Andin sok dan hanya bisa menangis “Mama kaki Andin kenapa? apa yang terjadi ma.”

          Mamah segera memeluknya dan berkata “ sabar ya sayang.”mamah pun menangis melihat Andin yang begitu tak percaya dengan keadaanya yang sekarang.

“nggak…nggak mungkin ma.”

          Saat kejadian itu hidupnya meski mengandalkan kursi roda.

          Andin tersentak kaget takala pialanya menyentuh pigura di meja belajarnya, hingga jatuh berkeping-keping. Ia buru-buru mendekatinya foto Andin sedang memegang piala saat lomba menulis cerpen yang terlihat begitu gembira karena menulis adalah kegemaranya. Tetapi semua itu kini hanyalah kenangan yang tak bisa ia dapatkan lagi.

“Andin…Andin, ada apa? Kenapa kamu, sayang?” mama mendekatinya dengan cemas. Wanita itu berusaha menenangkan hati Andin. Ia tak ingin anaknya larut dalam kekecewaan yang mendalam.

“Kenapa piala-piala itu kamu hancurkan? Itu kan kebangganmu? Mengapa kau lakukan itu?” mama menangis.

“sudah lah, ma piala-piala itu sudah seharusnya hancur. Andin sudah tak pantas lagi memilikinya, Andin tak mau mengingatnya lagi.”

“kamu harus tabah sayang menghadapi semua ini.. mana Andin yang dulu, yang selalu ceria?”

“Andin sedang berusaha. Tolong jangan menangis ma, mama harus bantu Andin ya ma?”

“Tentu saja sayang, sekarang kamu istirahat ya hari sudah malam.”

“Ia ma. Mama jangan menangis lagi ya.”

“Ya sudah kamu tidur.”mama mencium pipinya dan menyelimutinya. Kemudian mama pergi dari kamar Andin.

          Mentari muncul di ufuk timur dengan sinar hangatnya menyelimuti kota Bogor. Langit merah menambah semarak,warna biru awan pagi ini cuaca begitu cerah setelah mama membukakan jendela kamarnya dan membangunkannya.

“Sayang, cepat segera mandi kita mesti perikas kaki kamu hari ini.”

“Hmm” gumamnya seperti malas sekali untuk mandi dan periksa.

“Ya sudah mama tunggu di ruang makan ya.”

          Andin pun bergegas mandi mesti ia seperti yang tak ingin kemudia ia menemui mama dan papanya di ruang makan yang sudah menantinya.

“Eh, anak papa sudah cantik.”sapa papa

          Tetapi Andin hanya membalas dengan sebuah senyuman malasnya.

“Sayang papa hari ini ga bisa nemenin kamu sampai selesai? Karena papa harus berangkat kekantor.”

“nggak apa-apa kok pa.”

“Kamu ga marahkan sayang.”

“nggak ko pa.”

          Setelah mereka selesai sarapan, Andin dan kedua orang tuanya bergegas ke mobil dan menuju rumah sakit. Tetapi papanya hanya menggantarkan sampai gerbang tidak menemaninya.

          Saat ia melihat seseorang gadis memakai seragam bidan itu mengingatkan ia pada cita-citanya yang ingin sekali menyekolahkannya menjadi sesorang bidan. Tapi sekarang semua itu hanya sebuah hayalan. Ia meneteskan air matanya.

          Maafkan Andin ma, belum bisa membahagiakan mama dan mewujudkan cita-cita mama dan papa tetapi Andin malah bikin susah mama dan papa aja.gumamnya.

“Andin kamu kenapa?”

“nggak kenapa-kenapa kok ma, cuma kelilipan aja.” (sambil cepat-cepat menghapus air matanya)

          Setelah pulang dari RS mamah cukup gembira karena hasilnya cukup ada kemajuan. Andin memang tidak bisa jalan sepenuhnya tetapi ia masih bisa berjalan dengan tongkat asal ia sering berlatih, tetapi Andin tidak gembira dengan hasil itu karena ia seperti tak mempunyai semangat hidup saat kakinya harus diamputasi.

          Pada hari libur mama dan papa mempunyai rencana untuk mengajak Andin jalan-jalan kesebuah tempat yang mungkin bisa menumbuhkan semangatnya. Tetapi sebelumnya Andin tidak mengetahui ia akan diajak kemana.

“Ma, kita mau kemana?”

“Kesuatu tempat yang mungkin bisa bikin kamu semangat lagi.”

“hmm…"

          Tak terasa perjalanan pun sudah tiba. Mereka segera turun dari mobil dan bergegas menemui ibu panti yang sudah menyambut mereka di depan pintu rumah.

“Assalamualaikum…”sapa meraka pada ibu panti yang sudah menanti

“walikumsalam, silakan masuk sudah ditunggu dari tadi… oya ini Andin ya..”

“ia.” Jawabnya dengan simpel

         Sebelum masuk Andin bertanya pada mamanya.

“ma, ini tempat apa?”

“ya sudah kamu liat saja nanti, Ayo kita masuk.”

          Akhirnya mereka pun masuk kesebuah ruangan dimana disitu banyak anak-anak cacat yang sedang menuangkan kreatifitas dan semangatnya yang begitu tinggi meski tubuh mereka tidaklah sempurna. Andin terkejut melihat anak-anak yang ada diruangan itu, ia pun langsung pergi meninggalkan kedua orang tuanya dan ia menangis.

“Ya Tuhan! Andin nggak ngerti apa maksud mamah dan papah bawa Andin kesini. Apa mereka malu punya anak seperti Andin?”gumamnya sambil terus mengelur air matanya.

          Tak lama orang tuanya pun mengejar Andin.

“Andin…Andin…kamu kenapa sayang, pergi gitu aja?”

“Maksud mama,papa apa si bawa Andin kesini? Mama mau bikin malu terus diketawaain semua orang? karena keadaan Andin kaki Andin yang cacat?” Andin tak kuat menahan air matanya

“Sapa bilang sayang? Kamu salah paham, mama dan papa sama sekali nggak bermaksud kaya gitu .”jawab mama

“Ia sayang, papa dan mama cuma ingin kamu liat semangat mereka yang begitu besar untuk kembali hidup meski tak sempurna.”sambung papa

“Tapi pa..”Andin tak kuat lagi menahan air mata dan teringat akan kejadia dua bulan yang lalu.

          Saat itu juga mama dan papa langsung memeluk Andin.

“Sayang ini demi kebaikan kamu, papa dan mama sangat sayang sekali pada mu, papa mama ingin kamu punya semangat yang seperti dulu sebelum kecelakan itu.”

“Makasih ya pa,ma… atas semuanya. Maafin Andin karena udah berfikir yang nggak-nggak ma papa dan mama. Maafin Andin juga belum bikin mama dan papa bahagia seperti anak yang lain bias mewujudkan cita-cita mama dan papa.”

“Ia taka pa sayang, dengan ketegaran kamu jalani hidup ini mama dan papa seneng banget.”

“Makasih ya ma, pa Andin janji akan nurut kata-kata mama dan papa dan Andin juga akan semangat kaya dulu, Andin juga akan nyelesaiin novel yang tertunda itu meski Andin gak bisa wujudkan cita-cita mama dan papa buat jadi bidan.”

“nah gitu dong…. Itu baru anak papa dan mama yang punya semangat tinggi. ^_^”

          Beberapa bulan kemudian Andin dapat menyelesaikan novel karyanya dan novel itu sangat laku terjual bahkan menjadi bast saller.

“she ok now, nggak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. ‘Everything’s back to normal again.’ walau sampai saat ini, dia belum bisa melakukan banyak hal seperti dulu.

***