Aug 2, 2011

Cerpen Sedih: MAAF

Cerpen yang satu ini kok sedih banget yah??? :'(

MAAF


  oleh: Yasya Ghaida Nestiananta

          Jane merebahkan tubuhnya tepat di atas kasur yang empuk. Sepersekian detik dia menatap langit-langit kamarnya. Tatapannya kosong, tidak mengandung arti. Sepulangnya dari kuliah, dia hanya ingin mengistirahatkan pikirannya. Tidak ada gangguan apapun sekalipun itu ibunya.
          Tok… tok…
“Jane, ibu bawakan susu hangat untuk kamu. Kamu sudah mandi?” tanya ibunya sambil membuka pintu kamar Jane.
          Jane memejamkan matanya rapat-rapat. Mulutnya dibuka sedikit untuk menandakan dia telah terlelap.  Ketika ibunya mengguncangnya, Jane hanya mengerang pelan.
          Setiap orang yang melihat kejadian ini, pasti akan memaki Jane kasar. Bagaimana mungkin seorang anak dapat menolak kebaikan hati ibu kandungnya sendiri? Tapi Jane punya alasan kuat untuk melakukan hal tersebut.
          Tidak hanya mengguncangnya, ibunya menarik lengan Jane dalam satu hentakan kasar. Seakan tak cukup dengan itu, ibunya menyibakkan rambut Jane ke belakang telinga, lalu membentak anaknya marah. “BANGUN!”
          Sesegera mungkin Jane membuka matanya lebar-lebar. Kini, bayangan ibunya yang menakutkan seakan tergantikan oleh wajah lembut seorang ibu yang siap memanjakan putrinya dengan susu hangat di tangan kirinya. Jane menatap ibunya dalam-dalam, berusaha mencari sisa-sisa menakutkan yang mungkin masih tersorot. Tapi lagi-lagi hasilnya nihil. Yang dia temukan hanyalah sorot mata menyedihkan yang selalu membuat hatinya pilu.
“Kamu nggak mandi dulu?” tanya ibunya lembut.
          Jane hanya menggeleng pelan. Ibunya beranjak dari kursi dan berjalan menuju lemari pakaian Jane. Dia mengambil sepasang piama tidur dan mengisyaratkan Jane agar segera memakainya. Tanpa ba-bi-bu lagi, Jane segera mengganti pakaiannya sesuai perintah ibunya. Masih dengan senyum mengembang, ibu Jane menggiring putrinya rebahan di atas kasur. Dia menyodorkan segelas susu hangat kesukaan Jane yang langsung diminum Jane dalam tiga kali teguk.
          Ibu Jane meraih gelas yang kini isinya telah habis dari tangan putrinya. Jane manarik selimutnya hingga ubun-ubun. Dia mendengar suara kotak musik pengantar tidur Jane dinyalakan. Siapa lagi kalau bukan ibunya? Ibunya mengelus rambut Jane lembut lalu keluar dalam diam. Musik masih terus mengalun hingga Jane terlelap. Setetes air mata kini membasahi matanya. Tak terdengar isakan sedikit pun, Jane menangis dalam diam.

***
          Dua puluh satu tahun yang lalu, Jane terlahir kembar dengan seorang gadis bernama Julie. Jane dan Julie adalah saudara kembar yang menggemaskan. Mereka selalu bersama dengan balutan pakaian yang selalu kembar.
          Semuanya seakan sempurna hingga Jane berusia enam tahun. Suatu hal yang mengerikan hingga mengintimidasi hidupnya terjadi begitu saja. Suatu takdir yang membalikkan hidupnya seratus delapan puluh derajat. Tak peduli kapan, dimana dan bagaimana kenyataannya kecelakaan tragis itu memang menjadi jalan hidup keluarganya. Hingga berefek sampai detik ini.
          Hari itu adalah hari dimana Jane kehilangan segalanya. Hari dimana dia harus kehilangan ayah yang sangat dia cintai. Hari dimana saudara kembarnya lumpuh total hingga berujung pada kematian. Hari dimana ibunya berubah menjadi orang yang tidak Jane kenal lagi. Hari dimana Jane harus berakhir sebagai korban atas takdir hidupnya ini. Sungguh membuat Jane muak untuk mengingatnya.
          Lima belas tahun yang lalu, kecelakaan yang melibatkan keluarga Jane berlangsung tragis. Di tengah hujan yang deras, sebuah kereta ekonomi dengan tujuan Jogjakarta melibas habis tubuh ayah Jane. Kesalahan petugas yang tergantikan dengan nyawa satu orang itu sungguh membuat Jane ingin berontak. Petugas kereta api yang seharusnya menandakan kereta datang itu telah melalaikan tugasnya. Dengan kekuatan Allah yang maha kuasa Jane, Julie dan ibunya dapat terselamatkan dari kecelakaan itu. Tapi tidak untuk ayah Jane.
          Ayah Jane tidak sempat meloloskan diri dari kecelakaan itu. Dia sibuk menyelamatkan nyawa Julie hingga dia merelakan nyawanya sendiri. Meskipun bagi jane, tindakan heroik ayahnya itu tidak menghasilkan apa-apa. Julie tetap pergi meninggalkan Jane dan ibunya. Julie tidak sempat keluar dari mobil, tapi dia tetap selamat karena kereta itu menggilas tepat di atas tubuh ayahnya. Julie hanya tertimpa rentuhan mobilnya yang membuatnya lumpuh total. Sampai pada akhirnya ajal menjemput Julie pergi untuk selama-lamanya.
Julie lumpuh total selama kurang lebih tiga tahun. Selama tiga tahun itu pula, Julie hanya terlentang di atas kasurnya. Tidak melakukan hal apapun. Sekalipun itu hanya berkedip atau menggerakan jari kelingkingnya. Julie seperti mayat yang masih bisa bernafas.
          Detik-detik berlalu tetap tidak membuat perubahan pada Julie. Ibunya juga hanya mengurung diri seakan tidak terima atas takdir pahit yang menimpanya itu. Jane? Jane harus berjuang sendiri. Menerima kenyataan tanpa ada yang memberinya dukungan.
          Selama tiga tahun Julie masih bisa bertahan. Julie bertahan tidak dalam asuhan lengan ibunya sendiri. Beberapa perawat silih berganti untuk merawat Julie. Sampai akhirnya, Julie tak sanggup lagi bertahan. Dia benar-benar meninggalkan Jane dan ibunya. Dia pergi untuk selamanya dan membuat ibu Jane semakin terluka. Berkali-kali dia menyalahkan diri sendiri atas keegoisannya. Berkali-kali dia menyalahkan diri sendiri karena telah mebuang waktunya hanya dengan terpuruk. Berkali-kali dia menyalahkan diri sendiri karena telah membiarkan Julie pergi tanpa sentuhan lembut kasih sayangnya. Dan rasa sesalnya itu kini dia luapkan pada Jane.
          Ibu Jane tak lagi diam terluka. Dan kini dia tak juga diam melihat Jane sendiri. Ibunya selalu ada di samping Jane sampai sekarang. Tidak membiarkan Jane sekalipun hilang dari kasat matanya. Dia menjadikan Jane boneka kesayangannya yang selalu dia anggap rapuh. Boneka yang akan menghilang bila sekali saja dia tinggalkan. Hingga sifat itu menjadi mengerikan untuk Jane.

***
          Jane mengusap keringat yang sejak tadi telah menghiasi dahinya. Berulang kali dia mengayunkan kipas tangan di depan mukanya. Panasnya matahari yang menyengat ini benar-benar membuatnya jengah.
Sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Seseorang di balik kendali mobil itu memencet belnya dua kali untuk menarik perhatian Jane. Orang itu membuka jendela mobilnya.
“Jane, belum pulang?” tanya seorang gadis yang berada di balik kemudi mobil. Gadis itu adalah Tara, sahabat Jane sejak SMA.
“Oh hai! Mobil aku mogok, so aku harus nunggu bemo deh.”
“Masih ada kuliah? Aku anter pulang yuk,” ajak sahabatnya itu. Kedua gadis ini memang bersahabat sejak SMA, tapi kedekatan mereka sekarang tidak begitu akrab lagi. Perbedaan universitas keduanya itu yang membuat hubungan mereka renggang.
“Oke deh!” seru Jane riang. Dia tidak perlu repot-repot kepanasan untuk menunggu angkutan umum membawanya pulang! 

          Tara mengajak Jane mampir ke rumahnya. Setelah sekian lama tidak bertemu, kini mereka bagaikan saudara yang pernah terpisahkan ribuan tahun. Saling berbagi tawa, canda, senyum, cerita, pengalaman.
Tara tahu semuanya tentang Jane. Mulai dari kehidupan Jane dulu yang sempurna, tentang Julie, kecelakaan tragis itu, juga kondisi–ibunya? Jane melupakan ibunya!! Hampir enam jam sudah kedua gadis itu mengobrol ngalor ngidul. Tidak peduli waktu juga keadaan.
“… jam sepuluh malem?” seru Jane panik.
“i-iya,” jawab Tara terbata.
          Tanpa pikir panjang lagi, Tara segera membawa Jane pulang dengan kecepatan maksimum. Tara panik, Jane apalagi. Gadis itu lebih memilih diam selama perjalanan. Pikiran dan hatinya gelisah mengkhawatirkan ibunya. Entah apa yang akan terjadi jika ibu yang paling dicintainya itu tidak melihat anaknya lebih dari sepuluh jam. Bayangan-bayangan negatif tentang ibunya berkelebatan di benaknya. Tapi dengan kekuatannya, dia berusaha menepis bayangan menakutkan itu dari benaknya.
“Jane, sudah sampai.”
          Jane segera turun dan menghambur ke pintu rumahnya. “IBU! IBU!” Jane berteriak-teriak kalap seperti orang kesurupan. Sambil berjalan menyusuri setiap sudut rumahnya, gadis itu lambat laun mulai terisak.  Tara berjalan mengikutinya dari belakang. Tara terperangah ketika Jane melemas dan ambruk ke pelukan Tara.
“Jane,” panggi Tara lembut. Dengan tenaga yang masih tersimpan setelah berkebut-kebutan tadi, Tara menggiring Jane duduk di kursi tamu.
          Sekelebat tapi pasti, Jane mendengar suara musik pengantar tidurnya. Dengan harapan yang melambung tinggi, Jane berjalan perlahan menuju kamarnya. Setibanya di depan pintu kamarnya, Jane mengetuk pintu ragu. Tara membelai punggung Jane memberinya kekuatan. Ketika Jane membuka pintu kamarnya, dia mundur beberapa langkah diikuti sahabatnya. Kedua gadis berjilbab itu begitu terkejut mendapati orang yang mereka cari kini telah tergolek lemah.
          Jane berjalan mendekati ibunya. Bercak darah yang telah mengering menghiasi karpetnya yang berbulu lebat. Tangan kanannya terluka parah. Ibunya telah menyakiti dirinya sendiri melihat pisau lipat simpanan ayahnya tergenggam erat di tangan kirinya. Jejak air mata yang mengalir dari matanya belum menghilang. Jane melemas, dia menangis. Hanya menangis dan terus menangis.
          Tara memeluk Jane dari belakang. Manabahkan Jane atas takdir pahit yang selalu diterima sahabatnya itu.
“Jane, lihat deh,” tunjuk Tara pada sebuah kertas yang tergeletak di atas kotak musik Jane.
Jane mengulurkan tangannya dan mengambil kertas lecek yang telah menjadi teman terakhir ibunya sebelum meninggal.

          Jane, kamu dimana? Jangan bilang kamu sedang dalam perjalanan menuju ke surga. Kenapa kamu tinggalin ibu, nak. Setelah ayah, Julie dan sekarang kamu? Apa ibu memang tidak pantas untuk menjadi ibumu. Sampai-sampai kedua anak ibu selalu pergi meninggalkan ibu. maafkan ibu, nak. Ibu mohon. Lebih baik ibu mati dari pada harus hidup sebatang kara. Bunuh diri memang akan membawa ibu pada neraka. Tapi ibu lebih tidak tahan lagi merasakan neraka dunia sendirian. Ibu harap setelah hitungan ke sepuluh, kamu ada di samping ibu, memeluk ibu dengan senyum lembut di bibirmu.
1.. 2.. 3.. 4.. 5.. 6.. 7.. 8.. 9.. 10

“Aku disini bu, di sampingmu,” lirih Jane. “Maaf,” Jane larut dalam air matanya.

THE END