“Berdua Bersama Nada”
Oleh: Erick Hidayat
Seusai kuliah, Erick bersama Godel berjalan menuju ke Kafetaria.
Wajahnya terlihat berseri-seri setelah melihat pengumuman mengenai nilai IP (Indeks Prestasi) mereka yang diatas tiga.
“Del, lo mau pesen apa?” tanya Erick setibanya di Kafetaria.
“Gue nasi goreng aja, Rick!”
“Eh, Rick, sebentar ya, gue mau beli rokok dulu di depan.”
“OK, Del!”
Tak lama kemudian Godel sudah kembali. Air mukanya terlihat memendam kegembiraan. Setengah berlari ia menghampiri Erick yang tengah menyantap nasi goreng.
“Rick! Rick! Kabar gembira!” seru Godel.
“Kabar apaan, Del?” sejenak Erick berhenti mengunyah.
“Tadi sewaktu gue jalan lewat mading BEM FE, nggak sengaja gue baca pamflet, ternyata ada lomba!”
“Lomba apaan, Del?” Tanya Erick penuh perhatian.
“Banyak, Rick! Ada lomba puisi, karya ilmiah sama festifal musik!”
“Wah! Menarik juga, Del! Emang kapan acaranya?”
“Aduh, pamflet itu belum gue baca seluruhnya. Tapi, gue jadi punya ide OK banget buat lo, Rick!” Godel mulai menyantap nasi gorengnya.
“Maksud lo?”
“Iya, gue kan tau lo lagi pendekatan sama cewek anak SMU 5 Bogor yang namanya Debi. Nah, gimana kalo dia lo ajak ikut lomba? Cool khan?”
“Boleh juga ide lo!”
“Tapi, gimana caranya supaya dia mau ikut lomba ya?” pikir Erick.
“Gampang, lo kasih tau aja dulu sama dia, gue yakin dia pasti mau kok!” Godel mengakhiri makannya.
“Berarti nanti gue harus jemput dia pas pulang sekolah?”
"Iya dong!”
*****
Selepas maghrib menjelang Isya, Erick sudah menunggu setia di gerbang sekolah Debi. Ia memperhatikan satu persatu murid-murid sekolah yang melintas di depannya. Tapi tak lama Debi sudah melambaikan tangan dari kejauhan sambil tersenyum.
“Lama ya, nunggu Debi?”
“Ah, nggak. Aku seneng kok nunggu kamu.”
Mereka berdua berjalan menuju ke jalan raya, bersamaan dengan murid-murid yang lain. Malam itu cuacanya cerah. Angin bertiup begitu lembut— temani mereka sampai ke tepi jalan.
“Oh ya, Deb— nanti di Kampusku mau ada lomba loh.”
“Lomba apaan?” Debi bertanya dengan diiringi senyum.
“Banyak, ada lomba puisi, karya ilmiah, dan band. Nah, rencananya aku mau ngajak kamu ikut lomba puisi, mau nggak?”
“Yah, aku kan nggak bisa berpuisi…” keluh Debi.
“Gampang nanti aku ajarin, asal kamu mau.”
“Tapi, bener kan nanti diajarin dulu?” Debi masih terlihat ragu.
“Iya, tenang aja!” Erick kembali menegaskan.
Akhirnya Debi pun menerima ajakan Erick. Tak lama kemudian mereka berdua menaiki kendaraan menuju pulang.
*****
Assalamu’alaikum..!” ucap Debi sesampai di depan rumahnya.
“A, A Erick tunggu sebentar ya!”
Erick duduk— menunggu di teras, sedangkan Debi bergegas masuk ke dalam. Erick sempat menyalakan sebatang rokok. Lalu ia mengeluarkan beberapa lembar kertas dan pena dari dalam tasnya.
“Apa ya, tema yang cocok buat dipentaskan nanti..?” ucap Erick dalam hati.
Seketika ide bermunculan dalam benaknya. Setengah tersenyum— ia mulai menulis kata demi kata. Begitu seriusnya ia menatap lembaran kertas. Tiba-tiba, Debi muncul dari balik pintu sambil mambawa secangkir kopi hangat. Sesaat Erick mengangkat wajahnya— menyimak Debi yang tengah menghampiri.
“A, ini kopinya!” Debi meletakannya di atas meja.
“Makasih ya, Deb!”
Debi terlihat begitu anggun— mengenakan kaos berwarna biru muda.
Seperti biasa rambutnya selalu ia ikat. Kemudian duduk tepat di samping Erick.
“Emang kapan sih mulai lombanya?” Tanya Debi.
“Sekitar dua mingguan lagi deh kayaknya.”
“Nih, coba kamu baca deh. Bagus nggak?” Erick memberikan konsep puisinya.
“UNTUK SEBUAH NAMA…?” Debi mengangkat alisnya. Erick tersenyum.
Tak lama puisi pun tercipta sepenuhnya. Erick mulai mengajari Debi cara membacanya. Secara berulang Debi berusaha membaca serta memahami isi puisi tersebut. Sesekali mereka berdua bercanda-ria dibawah indah sinar bulan. Erick sempat menyanyikan sebuah lagu ciptaannya yang ia ciptakan khusus buat Debi. Malam itu terkesan begitu romantis dan puitis bagi mereka berdua.
*****
Waktu begitu tak terasa. Hari ini Erick dan Debi terlihat begitu sibuk. Mereka berdua tengah bersiap-siap di belakang pentas.
Debi terlihat sedikit tegang menunggu nomor urutannya.
“Santai aja, Deb! Nggak perlu tegang! Nanti Aa do’ain biar semuanya lancar, OK?”
Debi mulai menaiki pentas. Ia sempat melambaikan tangan pada Erick. Air mata haru bercampur bahagia menggenang di pipi Erick. Erick bergegas berjalan ke depan pentas. Ia ingin menyaksikan Debi lebih dekat.
Sorak-sorai penonton begitu hingar bingar. Semua bertepuk tangan setelah Debi mulai membacakan puisinya. Teman-teman Erick, seperti Godel,
Bubun, Butonk, dan Paul pun tak ketinggalan untuk menyaksikan acara yang meriah itu.
Sambil membaca, Debi sesekali memandang Erick yang berdiri setia di depannya— ditengah-tengah penonton. Begitu menyentuh! Begitu syahdu! Debi membacakan puisinya. Hingga para juri sempat menggelengkan kepala sambil bertepuk-tangan.
Akhirnya tak lama Debi menyelesaikan bait terakhirnya dengan lancar. Setelah mengucapkan terima kasih dan salam, ia pun berjalan menuruni pentas. Erick yang berada di depan pentas pun segera berlari— menghampiri gadis itu.
“Gimana A, tadi Debi?” sergah Debi.
“Top banget, Deb! Mudah-mudahan kamu juara!” Erick menjabat tangan Debi.
“Gimana kalau sekarang kita ke taman? Sambil menunggu pengumuman!” ajak Erick ceria.
“Yuk!”
Sesampainya di taman, mereka berdua duduk di atas rumput— memandangi kolam di depannya. Kolamnya tidak terlau besar, tapi airnya jernih, sehingga ikan-ikannya dapat terlihat dengan jelas.
“Ih A, Debi tadi tegang banget loh!”
“Iya? Tapi kan kamu akhirnya bisa juga mengatasinya.”
“Alhamdulillah, mungkin itu berkat do’anya Aa juga!”
“Eh, Deb, sebentar ya! Aa mau kesitu dulu!” sela Erick tiba-tiba.
“Ih, Aa mau kemana? Jangan lama-lama ya!” Cemas Debi.
Erick berjalan melewati beberapa pepohonan hingga tak terlihat lagi oleh Debi. Beberapa menit sudah berlalu, tapi Erick belum juga muncul. Debi memandang berkeliling dengan cemas.
Tiba-tiba, ketika Debi tengah menatap kosong ke tengah kolam, Erick muncul dari belakang hingga mengagetkan Debi.
“Dari mana sih A? Kok lama amat?” Tanya Debi yang masih kaget.
“Aa nyari sesuatu buat kamu…” Erick menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya.
“Nyari apa?” Tanya Debi penasaran.
“Ini! Bunga buat kamu!” Erick memberikannya.
Debi sempat terharu oleh kejutan Erick yang begitu mengesankan.
Pipinya memerah dan hasrat Erick pun merekah.
“Makasih ya!” Debi meraih bunga itu dan menciumnya.
“O ya, Deb! Ayo kita kembali lagi ke pentas. Mungkin pemenangnya sudah diumumkan!”
*****
Terlihat suasana pentas masih terlihat ramai. Benar dugaan mereka! Ternyata para juri tengah bersiap-siap mengumumkan para pemenangnya.
“Baiklah, setelah kami menilai penampilan dari para peserta lomba puisi tadi, maka dengan ini kami memutuskan, yang menjadi juara pertama dalam lomba ini adalah…”
Semua penonton menyimak dengan seksama termasuk Erick dan Debi
“DEBI…!” teriak juri.
Mendengar nama “Debi”, seketika Erick dan Debi terharu. Mereka berdua tidak menyangka bisa menang di lomba itu. Godel, Bubun, Butonk, dan Paul pun tak henti berteriak-teriak nama Debi di pinggir pentas.
Setelah mendapat tropy, akhirnya Debi pun pamit pulang dengan ditemani Erick. Hari sudah mulai senja. Sinar matahari terlihat kuning keemasan di ufuk barat— membelai rambut Debi yang panjang terurai.
*****
Sesampainya di rumah, Debi bergegas menerobos pintu depan rumahnya dengan riang gembira. Erick tertawa melihatnya.
“Ma, Pa! Debi juara!” teriak Debi dari dalam.
Ketika Erick tengah duduk— menunggu di teras, Debi muncul bersama Ibunya dari balik pintu.
“Ma, kenalin! Ini A Erick!” kata Debi pada Ibunya.
Erick mencium tangan Ibunya sambil memperkenalkan diri. Ibunya tersenyum dan Debi pun menyertainya.
“Makasih ya, udah ngajarin Debi berpuisi, sampai Debi bisa juara!”
Ibunya tertawa senang.
“Sama-sama, bu,!” jawab Erick.
“O ya, Deb, Bu, saya mau pamit pulang dulu!” Erick beranjak dari duduk.
“Iya, hati-hati ya!”
Debi mengantarkan Erick sampai di pintu gerbang.
“Assalamu’alaikum..!”
“Wa’alaikumsalam…” jawab Debi sambil melambaikan tangan.
*****