Jun 29, 2011

CERPEN REMAJA: Antara Ayah dan Mimpi

Cerpen remaja ini dikirimkan oleh Ika Pratiwi. Selain cerpan, Ika juga menulis puisi. Karyanya bisa dilihat dalam artikel Puisi-puisi Ika Pratiwi.

Antara Ayah dan Mimpi 
oleh: Ika Pratiwi

           Sore ini terlihat begitu damai. Angin pun berhembus pelan. Fania melihat ke arah teras samping. Ia ragu untuk melakukan hal ini. Tapi ia sudah tak tahan lagi mendengar celotehan teman – temannya tentang rencana kuliah mereka. Mereka terlihat sudah begitu siap mempersiapkan diri dan mental untuk menghadapi dunia baru itu. Sementara dia masih ragu tentang rencananya. Dengan memberanikan diri Fania menghampiri ayah dan bundanya yang sedang santai di teras samping. Ia menarik kursi dan duduk di samping bundanya yang sedang merajut.
“Bun, kok Bunda bisa merajut dengan rapi sih? Bunda dulu kursus ya?” tanya Fania membuat bundanya menghentikan rajutan dan menoleh padanya.
“Ada apa?” tanya bundanya membuat Fania terdiam. “Ada apa, Sayang? Bunda tahu kamu ada yang mau dibicarakan. Ayo katakan pada Bunda,” lanjut bundanya membuat Fania tersipu malu.
“Emm,..Fania besok mau melanjutkan kuliah di UGM boleh ya?” tanya Fania ragu. Bunda langsung terdiam dan menoleh pada suaminya. Ayah Fania meletakkan koran dan menatap Fania.
“Pikirkan dulu nilai kamu semester ini. Urusan kuliah bisa dipikirkan di semester terakhir nanti,”kata ayah seraya melangkah ke dalam rumah. Fania hampir saja protes namun urung. Ia menoleh pada bunda berharap bunda akan membantunya untuk bicara pada ayah.
“Kita lihat saja nanti ya Sayang,” kata bunda meninggalkan Fania yang kini sendiri dalam bimbang. Ia memandangi langit senja yang menyuguhkan lukisan dengan warna – warna yang begitu menakjubkan. Ia menarik napas panjang. Matanya menerawang jauh. Ia sudah menyangka hal ini akan terjadi. Ayah memang selalu menutup semua pertanyaannya tentang kuliah dengan jawaban yang terkesan acuh tak acuh. Dan jawaban tersebuut tak boleh disangkal. Sementara bunda selalu menyerahkan masalah pendidikan dengan ayah. Kini ia bingung apa yang harus dilakukannya. Ia sudah mengumpulkan keberaniannya selama seminggu sejak ia menjalani ujian semester hari terakhir hingga hari ini. Ia sudah menargetkan bahwa saat liburan usai, ia sudah tahu ia hendak melanjutkan kemana. Namun ternyata ia belum berhasil membicarakannya dengan orangtuanya dengan baik. Ia segera memasuki rumah begitu suara adzan maghrib terdengar. Ia sujud dan  berdo’a pada-Nya agar ayah dan bunda bisa mendukung rencananya. Baru saja ia melipat mukena, suara tanda sms masuk mengagetkannya. Dari Robi.
‘Hey Friends, kalian mau lanjut kemana nih? Aku sudah dapat persetujuan dari mama papa aku untuk kuliah di Australia. How about you?’
Fania segera membanting handphonenya ke ranjang dengan gemas. Teman – temannya sepertinya sudah siap menyongsong bangku kuliah sesuai dengan harapan mereka. Mereka optimis mereka akan diterima di Universitas dambaan mereka itu. Sementara Fania harus kembali gigit jari karena pertanyaannya ditutup secara sepihak oleh ayahnya tanpa penjelasan apapun.  Padahal ia ingin sekali bisa kuliah di Kota Pelajar itu. Ia ingin masuk jurusan hubungan internasional seperti Kak Aldi yang sekarang menempuh pendidikan itu di UGM. Kak Aldi adalah tetangga Fania yang sudah ia anggap kakak sendiri. Maklumlah, ia anak pertama dari 2 bersaudara. Adiknya, Famia kini sedang duduk di kelas X  SMA Anak Bangsa, satu sekolah dengannya. Baru saja ia akan keluar kamar ketika handphonenya kembali berdering. Nama Kak Aldi berkelap – kelip di layar handphone.
“Halo…Kakak….kangen nih,”sapa Fania manja.
“Halo, Puteri Kecil. Gimana ujian semesternya?” tanya Kak Aldi.
“Lumayan susah. Eh Kak, kapan pulangnya? Fania pengen cerita ke Kakak,”
“Cerita apa sih? Kan bisa di telepon,”
“Ah, nggak seru. Kakak nggak tahu kan kalau Fania sekarang lagi sebel sama ayah,” kata Fania jutek. Kak Aldi hanya tertawa.
“Kenapa lagi? Ya udah, Kakak besok pulang. Lagian Kakak juga besok gak ada mata kuliah. Tapi nggak pake acara ngerampok lagi ya,” canda Kak Aldi membuat Fania teringat kejadian dua bulan lalu saat ia curhat pada Kak Aldi  yang lagi liburan. Eh akhirnya ia malah minta ditraktir makan dan belanja dengan alasan biar nggak sebel lagi. Ia tersenyum malu karena ternyata Kak Aldi juga masih mengingatnya.
“Kenapa diem? Jangan – jangan Fania memang sengaja ya?” lanjut Kak Aldi.
“Enggak kok,”sahut Fania cepat. “Fania janji deh. Pokoknya janji ya Kakak pulang besok? Soalnya besok Fania bagi raport nih,”
“Trus hubungannya apa?” tanya Kak Aldi bingung.
“Nggak ada. Hubungannya masih fine – fine aja tuh,” kata Fania santai.
“Dasar…Oh ya, Fania rencananya mau melanjutkan kemana nih?”
“Itu dia masalahnya, Kak. Fania butuh Kakak di sini,”
“Kenapa?” tanya Kak Aldi penasaran. Fania baru saja mau menjawab ketika Famia nongol di depan pintu kamarnya.
“Kak, disuruh mama ke meja makan. Udah ditunggu tuh,”kata Famia seraya menutup pintu.
“Ya udah ya, Kak. Fania udah ditunggu ayah sama bunda makan malam nih. Besok aja ya Fania ceritanya. Bye…,”kata Fania menutup telepon.
“Bye,”
Fania segera menuju meja makan untuk makan malam bersama keluarganya. Sebuah rutinitas yang selalu ia lakukan. Ia menatap ayahnya ragu. Baru saja ia hendak bicara saat ia melihat bunda memberi isyarat untuk menundanya. Fania yang paham pun segera menghabiskan makan malamnya dalam  diam.

*********
Fania segera mengambil raportnya begitu ayahnya keluar dari ruang kerjanya. Ia melihat nilai raportnya tak sabar.
‘Yes! Peringkatku masih bisa aku pertahankan. Nilai – nilai aku juga masih sesuai target. Sepertinya aku bisa lolos izin ayah nih buat ke UGM. Hore…,’seru Fania girang dalam hati. Ia segera memasukkannya kembali ke tas dan keluar dari ruang kerja ayah. Ia tak sabar ingin membicarakan rencananya pada ayah dan bunda. Makanya saat makan siang, ia adalah orang pertama yang duduk di kursi meja makan. Bunda dan Famia memandanginya heran, karena biasanya ia yang paling susah untuk disuruh makan. Ayah datang dan langsung mengambil koran tadi pagi.
“Panggil kakakmu untuk  makan, Mia,”kata Ayah membuat Famia mengerutkan dahinya bingung. Fania hanya tersenyum menahan tawanya.
“Tapi, Yah,”
“Cepat. Nanti ia pura – pura nggak nafsu lagi,” potong ayah .
“Kak, disuruh ayah ke meja makan tuh,” kata Famia sebel.
“Iya…iya. Ini juga udah di meja makan kok,” kata Fania membuat ayah menoleh padanya. Fania hanya memandang ayahnya  geli.
“Tumben kamu sudah di sini,” kata ayah datar.
“Nggak papa dong, Yah. Kan kata Ayah sendiri kalau kita itu harus makan tepat waktu biar kita nggak kena maag,” kilah Fania. Mereka segera memulai acara makan siang dengan do’a bersama. Fania menunggu ayah mengatakan sesuatu.
“Mia, kamu dapat  ucapan selamat tuh dari Pak Bahri, wali kelas kamu. Karena kamu peringkat 5 besar di kelas. Bagus itu, lanjutkan belajarmu,” kata ayah di sela – sela makannya.
“Makasih, Yah. Mia janji Mia akan tambah rajin belajar biar bisa juara 1 kayak Kak Nia,” jawab Famia membuat Fania senang. Saatnya ia bicara.
“Ayah nggak mau kasih selamat juga ke Nia? Nia kan juara 1, Yah,” pancing Nia.
“Selamat apanya, Sayang? Nilai kamu sejarah kok bisa hancur gitu,” jawab ayah.
“Yaelah, Yah. Nilai sejarah aku kan masih 79. Nggak ancur – ancur amat dong,”kata Fania kecewa.
“Itu masih standar, Sayang. Nilai KKMnya berapa coba? 75 kan?,”
“Kan masih lebih 4, Yah,”
“Tetap saja itu namanya standar. Pak Pras bilang kamu nggak serius kalau belajar sejarah,”
“Gimana nggak malas kalau Pak Pras neranginnya kayak pendongeng sejati. Nia kan jadi ngantuk. Yang lain juga gitu kok,” kata Fania bete.
“Atau jangan – jangan Pak Pras kasih nilai segitu, segan karena kamu anak ayah yang ketua yayasan. Mungkin nilai kamu memang standar,” kata bunda membuat Fania kecewa.
“Oh ya? Trus kalau Ayah dan Bunda nggak percaya bahwa nilai yang Nia dapat selama ini murni hasil usaha Nia, kenapa dulu Ayah dan Bunda ngotot masukin Nia ke sekolah itu. Padahal Nia kan nggak mau di situ,” kata Fania keras.  Ayah dan bunda langsung diam menatap buah hatinya itu.
“Sayang, bukan itu maksud Bunda. Bunda kan hanya bercanda, Sayang. Jangan dimasukin hati ya,” kata bunda pelan.
“Tapi kenapa Ayah dan Bunda nggak bisa percaya sama Nia?”
“Bunda percaya kok sama Nia. Nia emang anak yang pintar,”
“Kalau percaya, Ayah dan Bunda mengizinkan Nia kan kalau Nia akan melanjutkan kuliah di UGM? Nia mohon, Yah, Bun,”harap Fania.
“Enggak. Kalau untuk Ayah tidak bisa,” jawab ayah membuat harapan Fania langsung sirna.
“Tapi, Yah. Nia…,”
“Sekali Ayah bilang tidak ya tidak. Kamu boleh memilih jurusan apa yang kamu sukai dan universitas apa saja. Tapi tetap di Jakarta ini.Mau UI, UNJ atau apa saja terserah kamu,” potong ayah.
“Tapi, Yah…,”
“Sudah! Kamu pikir hidup jauh dari orang tua itu gampang apa? Siapa yang akan mengurusi kamu kalau kamu sakit, siapa yang akan bertanggung jawab atas hidup kamu di sana?”  potong ayah cepat.
“Yah, kan ada Kak Aldi. Nanti Nia kan bisa minta tolong ke Kak Aldi,” kata Fania ngotot.
“Pokoknya tidak. Ayah tidak mau kamu kuliah jauh – jauh. Di UI kan juga bagus, kenapa harus ke UGM?”
“Yah, Nia pengen mandiri. Selama ini kan Nia selalu di dekat Ayah dan Bunda. Jadi Nia selalu mengandalkan Ayah dan Bunda,” jawab Fania.
“Kalau memang mau kamu seperti itu, kamu kuliah saja di London. Di sana kan ada Tante Grace. Jadi Ayah bisa tenang melepas kamu,” kata ayah membuat Fania tambah cemberut.
“Ayah kenapa sih nggak pernah bisa ngertiin Nia? Semua yang Nia lakuin sepertinya nggak pernah cukup di mata Ayah. Ayah selalu saja mengekang Nia dengan aturan – aturan Ayah. Selama ini Nia nurut sama Ayah dan Bunda. SMA Nia ambil di Jakarta karena Ayah nggak bolehin Nia ke London. Sekarang, Nia mau ke Jogja, Ayah nyuruh Nia ke London. Yah, sekali ini saja Nia bisa menentukan masa depan Nia sendiri. Nia mohon, Yah,” kata Fania sambil menatap ayah. Ayah hanya memainkan sendoknya. Fania yang sudah tak tahan segera berlari ke arah balkonnya. Ia menangis sesenggukan sendirian. Tak dipedulikannya panggilan ayah dan bunda untuk membuka pintu. Ia memandangi berlutut dan menenggelamkan wajahnya. Ia bingung kenapa ia merasa terlalu dikendalikan ayahnya. Padahal ia ingin bisa merasakan mandiri tanpa harus berpijak pada bayangan orang tuanya. Ia ingin sukses karena hasil usahanya sendiri sehingga tak ada orang yang menyangka ia mendapatkan kesuksesan itu hanya karena orangtuanya. Lelah menangis, Fania beranjak mengambil gitar kesayangannya dan mulai memetik senarnya menciptakan nada – nada indah. Perlahan lagu ‘Perfect’ dari Simple Plan mengalun lembut.
Hey Dad look at me
Think back and talk to me
Did I grow up according to plan?
And do you think I’m wasting my time
Doing things I wanna do
But it hurts when you dissaprove all along
And now I try hard to make it
I just wanna make you proud
I’m never gonna be good enough for you
I can’t pretend that I’m allright
And you can’t change me
Cuz we lost it all
Nothing last forever
I’m sorry I can’t be perfect
Now it’s just too late
And we can’t go back
I’m sorry I can’t be perfect

Fania menghentikan petikan gitarnya. Ia mendongak ke atas mencoba menahan air matanya. Namun sepertinya air mata itu tak sanggup lagi bertahan. Ia mulai jatuh membasahi pipi sang pemiliknya membentuk alur sungai kesedihan. Berusaha menceritakan kepedihan sang pemilik yang dititipkan padanya. Fania masih menangis saat seseorang melemparkan sebuah pesawat kertas padanya. Saat ia menoleh ke arah asal kertas itu, dilihatnya Kak Aldi tersenyum padanya. Ia membuka kertas tersebut dan membacanya.
Hey Puteri kecil, kenapa nangisnya lama amat? Mia udah cerita ke Kakak tentang pertengkaran Nia dengan Om Frans. Nia, setiap orang memang punya impian. Namun yang harus kita ingat, jangan sampai impian itu merobek kebersamaan kita dengan orang – orang yang kita cintai, terutama orang tua kita. Karena berkat merekalah kita bisa tumbuh dengan baik dan bisa bermimpi. Ingat Nia, orang tua Nia seperti itu bukan karena mereka ingin mengekang Nia atau menghambat cita – cita Nia, tapi justru karena mereka ingin mengarahkan Nia ke impian Nia. Nggak semua yang baik menurut kita, itu baik untuk kita. Kalau memang Nia ngotot pengen masuk UGM, coba Nia istikharah. Mohon petunjuk pada-Nya. Karena sebaik – baik petunjuk adalah petunjuk dari-Nya.Oke?


Fania menoleh pada Kak Aldi dan tersenyum manis padanya. Kak Aldi membalas senyum Fania dan mengacungkan kedua jempolnya. Tanda bahwa ia percaya pada Fania. Fania hanya tersenyum dan menatap bintang – bintang di langit sana. Ia ingin menjadi seperti bintang itu, bersinar terang saat malam mulai kelam dan tetap bersinar meski tertutup sinar sang surya. Ia kan tetap bersinar selamanya. Ia melambaikan tangannya pada Kak Aldi yang masih menungguinya dan melangkah memasuki rumah. Ia bertekad akan melakukan apa yang dikatakan Kak Aldi, Shalat istikharah. Dan ia akan memohon agar diberi petunjuk harus kemanakah ia melangkah? Tetap pada impiannya atau harus bertahan di sisi ayahnya.

TAMAT

-------------------------------------------------------------
Tentang Penulis:
nama aku Ika Pratiwi.
Fb:Ika_Pratiwi06@yahoo.com(Ika Pratiwi)
Mohon saran dan kritiknya...
-------------------------------------------------------------