My D’N (Disappear Neighbour)
Cerpen Cinta Romantis by Mutiah Sari
Kabar baru dari mama tidak begitu menarik di telingaku. Katanya kami punya tetangga baru. Iya sih, rumah di sebelah memang telah terjual dan sedang direnovasi. Tapi apa urusanku! Ya, aku tak begitu dekat dengan teman-teman tetangga. Pergaulan mereka sedikit bebas, dan aku tak tertarik untuk hal yang bisa saja menjerumuskanku.
Suatu hari aku duduk di teras belakang lantai 3. Tempat itu dibuat khusus untukku jika ingin belajar atau sedang ingin sendiri. Apapun dapat kulakukan disana. Tempat itu sudah menjadi tempat spesial bagiku. Aku bisa melihat seluruh kota, pemandangan indah, sunset, dan menghirup udara segar dari sana.
Suatu malam aku merasa bosan, dan seperti biasa aku memilih duduk di teras favoritku. Aku menoleh kiri dan kanan memastikan tak ada yang melihatku, kunyalakan laptop dan memutar video klip lagu-lagu the corrs. Berharap agar stresku lenyap dengan bernyanyi. Suara tanpa pitch control terpaksa kukeluarkan.
“This is the right tiiimeee! Once in the ...” teriakku keras mengikuti irama lagu.
“Woi! Berisik!” tiba-tiba saja ada suara lelaki yang mengganggu konsentrasiku.
Aku menoleh, menyapu seluruh pemandangan mencoba menemukan sumber suara. Tak ada orang satupun.
“Setan kali yak? Ada suara gak ada gambar!” aku mulai mengira-ngira.
“enak saja! Kamu tuh yang setan! Nyanyi tengah malam gini, suara gak mendukung lagi,” balas dari makhluk tak terlihat itu.
‘Heh! Setan kok jujur? Suaraku emang gak ngedukung sih. Hihihi’ gumamku dengan tertawa kecil. Aku kembali mencari bayangan makhluk itu, dan akhirnya kudapati sepasang mata yang sedang mengawasiku dari lantai 2 rumah tetangga baruku itu. Oh, pasti dia ini tetangga baru yang dimaksud Mama.
“ups! Sorry! Aku gak tau kalau di sebelah ada penghuninya, biasanya gak ada!”
“ya udah. Aku mo tidur. Suaranya kecilin dikit!” dia langsung menutup tirai jendelanya. Dan aku tetap melanjutkan laguku.
Hoho. Dia keren juga. Maklum di lingkungan sekitar rumahku selalu tandus dengan yang namanya cowok keren. Ckckck.
Keesokan harinya seperti biasa aku berangkat kuliah dan pulang sore. Ku lempar tasku dan berlari ke tempat spesial mengejar sunset yang sedang indah-indahnya. Aku tak ingin ketinggalan dengan keindahan sore. Ku duduk dan memandangi alam sekitar. Aku melirik ke lantai dua tetangga baru dan..
“Woiii..kalo ganti baju tutup tirai dong! Aku gak mau dosa lho liat kamu ganti baju gitu! haha” teriakku pada lelaki malang yang baru kenal malam lalu sambil tetawa.
“Ganggu!” dia langsung menutup tirai dan cepat-cepat memakai kaosnya. Ia kemudian membuka tirainya kembali.
“kamu tuh ya, ngapain ngintip-ngintip?” tanyanya dengan wajah merah.
“Siapa yang ngintip! Dari dulu setiap sore juga aku disini. Week!” balasku.
“emm..iya juga sih. O iya, kenalan yuk! Namaku Firza!”
“Amel! Aku Amel!”
“jadi kita temen ya?” tanya Firza
“iyeh! hoho”
Perkenalan sekejap itu tak disangka berlanjut dengan keakraban diantara kami. Setiap sore atau malam kami mengobrol dari rumah masing-masing. Firza di lantai 2 rumahnya, dan aku, seperti biasa di teras belakang lantai tiga. Segalanya dapat menjadi obrolan kami. Dia orang yang menyenangkan. Namun ada satu hal yang tak pernah ingin dijawabnya ketika ku tanyakan tentang kesibukannya, kuliah atau kerja.
Hampir 3 bulan kami saling mengenal. Hal yang paling sering kami lakukan bersama adalah memandang langit berharap bisa melihat indahnya sinar bintang jatuh yang menggesek atmosfer tiap malamnya. Firza senang dengan bintang jatuh karena ia percaya bahwa permohonannya akan dikabulkan oleh bintang jatuh. Tapi tidak bagiku. Sebenarnya, aku tak begitu percaya. Hanya saja, aku senang melihat Firza yang memejamkan mata saat mulai memohon sesuatu. Seakan ia benar sangat menginginkan sesuatu untuk diwujudkan. Kadang ku bertanya tentang apa yang diinginkannya, tapi ia tak pernah mau memberitahukannya.
Hingga suatu waktu kami tak pernah lagi bertemu. Sudah 4 hari aku memandang langit malam seorang diri. Dan kusadari, aku merasa ada yang hilang. Ya, Firza. Dia sepertinya sudah menjadi pelengkap hari-hariku. Dan aku, merindukannya.
Keesokan hari ku coba mengunjungi rumahnya, untuk pertama kalinya. Seorang wanita tua membukakan pintu, dia bibi yang menjaga rumah itu. Ketika ku tanyakan tentang keberadaan Firza. Ia kemudian menceritakan semuanya.
Firza hidup sebatang kara di dunia ini. Ia menderita kelainan jantung. Ia tahu, umurnya takkan lama. Hingga saat bertemu dengan seorang wanita yang ia sukai, ia memberikan ginjalnya untuk wanita itu, tapi tidak ingin memberitahukan identitasnya. Ia hanya ingin bermanfaat untuk orang yang disayanginya sebelum ia meninggalkan dunia. Hingga beberapa hari ini, ia yang hanya memiliki satu ginjal dalam tubuhnya, harus mengalami gagal ginjal dan sulit mendapatkan cangkok yang cocok.
Mendengar semua itu, bening di mata ini tak sanggup ku tahan lagi. Isak tangisku semakin menjadi ketika ku baca surat yang dititipkan Firza.
“Amel...
Hai!
Maaf beberapa hari ini tak bisa menemanimu. Maaf tak memberimu kabar. Maaf karena menghilang beberapa hari. Dan mungkin saat kau baca surat ini, aku tak di dunia ini lagi. Jadi maafkan untuk kesekian kalinya lagi karena ternyata aku tak akan pernah menemanimu memandang langit malam. Aku juga tak menyangka! Hehe.
Kau tahu apa yang ku pinta setiap satu bintang jatuh berusaha menembus atmosfer bumi? Aku berharap agar kau selalu dilindungi, karena ku tahu aku takkan lama berada di sisimu untuk melindungimu. Aku meminta agar aku menjadi salah satu bintang di atas sana yang bebas memandangmu setiap kali kau menatap langit. Andai aku bisa meminta agar bisa hidup lebih lama, aku pasti meminta. Tapi sepertinya aku tak ditakdirkan untuk itu. Hehe..
Eh, Amel jangan nangis yah! Aduh aduuh.. aku dah capek-capek nge-rangkai kata biar gak bikin kamu nangis lho..heheh...tapi kalo nangis juga gak papah..tapi maaf lho aku gak bisa jadi crying shoulder..
Amel, aku ingin kamu tau, kalau kamulah wanita yang paling ku cintai di dunia ini. Segalanya ku lakukan agar kau tetap bahagia, agar kamu tetap hidup. Aku bersedia, jika melindungimu harus mengirimku ke surga. Dan aku senang, aku ikhlas jika harus meninggalkan dunia setelah ku berikan sesuatu yang berharga untukmu. Aku sangat berterima kasih padaNya karena menciptakan kamu sehingga sempat ku rasakan bahagia di hidupku yang singkat ini. Dia telah memberikan kesempatan biar aku bisa kenal Amel lebih dekat. Mel, Terima kasih sudah menjadi tetangga yang kusayang. Terima kasih untuk malam-malam indahnya! Terima kasih untuk setiap senyum yang kau berikan.! Saat ini, kita memang di dunia yang berbeda, tapi percayalah, kelak kita kan bertemu di surga! Aku menunggumu...
Firza sayang Amel!
Aku berlari pulang, dengan butiran air mata yang tak mungkin dapat ku tahan. Kurasakan ngilu menusuk di kepala ini. Sesak di dada semakin membuatku lemah.!
“Amel? Amel kenapa nangis?” tanya ibu dengan wajah terkejut.
“Firza bodoh! Mengapa tidak mengambil satu ginjalku saja..” teriakku, meronta dalam pelukan mama.
“Sayang..tenang!” mama masih tetap berusaha membuatku tenang.
“Firza meninggal, Ma! Dia gak bilang kalo dia butuh ginjal. Aku bisa kasi ginjal ini ke dia..!” aku benar-benar tak bisa menahan emosi ini lagi.
“Amel! Jangan pernah bilang begitu! Ginjal kamu..” tiba-tiba omongan mama terpotong. Ia menangis. Dan akhirnya aku menyadari satu hal.
“Ginjal? Mama... ginjalku..” aku teringat sesuatu. Aku hanya memiliki satu ginjal dalam tubuhku. Ginjal yang diberikan seseorang 2 tahun lalu. Ginjal yang diberikan oleh orang yang merahasiakan identitasnya. Ginjal dari Firza..
“Ma, Firza yang...” tangisku semakin menjadi-jadi mengetahui bahwa dia mengorbankan hidupnya untukku, menyadari bahwa wanita yang dimaksud oleh bibi adalah aku.
“Maafkan mama, sayang! Mama tahu semua ini akan terjadi. Awalnya Mama bermaksud memberitahumu, tapi Firza memohon agar mama tidak memberitahukanmu. Maafkan Mama!”
“Firza.. kenapa harus Firza? Kenapa Firza yang harus pergi! Untuk apa ia datang membuatku mencintainya dan pergi begitu saja meninggalkanku dengan sakit ini, Ma!” aku terisak, tak sanggup menerima kenyataan bahwa Firza takkan pernah menemaniku. Kenyataan bahwa Firza mengorbankan dirinya untuk hidupku, dengan ginjal yang ada dalam tubuh ini.
Hari-hari ku lalui sendiri. Hampir 5 bulan saat kepergiannya dan kesedihan ini tak bisa hilang begitu saja. Tak ada yang mampu menghiburku. Hingga tersenyum menjadi hal yang sangat sulit tuk kulakukan. Apalagi untuk merasakan bahagia. Aku tak tahu lagi apa perasaan ini akan abadi atau hanya sementara.
Tak pernah terpikirkan, dia akan pergi secepat itu, dan selamanya. Ketika tak ada seorangpun yang bisa menjelaskan mengapa hidup Firza harus sesingkat itu. Ketika penyesalan meremuk hati, tersadar belum sempat ku katakan bahwa aku mencintainya. Mengapa ia tak bisa memperoleh kebahagiaannya lebih lama lagi?! Aku harus berhenti bertanya mengapa. Aku tak akan menangis lagi, karena ku tahu, tak akan ada dia yang hapus air mata ini, takkan ada bahunya tempatku bersandar.
Aku takkan membiarkan air mata ini membuat Firza sedih saat memandangku dari langit malam yang ia janjikan bersama bintang. ‘Firza, tunggu aku di sana! Sebab sepertinya waktuku pun tak lama lagi. Aku hanya harus menunggu datangnya detik itu. Saat Tuhan menyatukan kita kembali di surgaNya, dimana waktu takkan bisa memisahkan kita.’ Ku pejamkan mata, dan ku sadari detik itu pun tiba. Aku meninggalkan dunia ini, melihatmu menyambutku dengan senyum yang aku rindukan itu.
SELESAI
Baca juga cerpen lainnya karya Mutiah Sari dalam Cerpen Romantis: Kali Ini, Aku Tak Bercanda!