Feb 20, 2013

Cerpen Sedih: Tentang Liontin

Liontin
Tentang Liontin
OLEH : RAI INAMAS LEONI

“Liontin ini buat kamu. Simpan baik-baik ya. Jika suatu hari nanti aku pergi ninggalin kamu, mungkin liontin ini akan membuat kita bertemu lagi.”

***
Panas begitu terik siang ini. Bel pulang sudah berbunyi dari tadi. Tapi aku masih berkeliaran di parkiran sekolah. Bukan karena ada pelajaran tambahan atau ekskul yang biasa aku ikuti. Melainkan karena motor yang ada disamping motorku parkir secara sembarangan. Terlalu mepet dengan motorku. Kalau aku paksakan untuk mengeluarkan motor kesayanganku dari sana, aku bisa menjamin motor di sebelahku pasti jatuh. Siapa sih yang punya motor?

“Dasar motor sialan!” Rutuk ku kesal. Andai saja motor di sebelah ku tidak ada, mungkin dari tadi aku sudah sampai di rumah. Sial sekali nasibku hari ini. Ku putuskan untuk mengambil headset di tas punggung biru ku berniat mendengarkan lagu di handphone. Beberapa detik kemudian aku sudah tenggelam dengan lagu-lagu favoritku. Tanpa ku sadari ada langkah kaki yang mulai mendekat.

“Woi cewek!”Seru seorang cowok yang berperawakan tinggi. Ku lepaskan headset yang masih nyangkut di telingaku.

“Apa?”Tanya ku bingung.

“Jangan berdiri disana. Aku mau ngeluarin motor. Mau ku tabrak? Kurang kerjaan banget sih berdiri nggak jelas kayak gitu.”

“Jadi kamu yang punya motor ini!” Kata ku sambil menunjuk motor jelek yang ada di depan ku. Tapi sebenarnya nggak jelek-jelek amat sih.“Gara-gara motor jelek mu ini, aku nggak bisa pulang dari tadi!!”

“Terus?”

“Sinis banget sih jadi orang!” Ujarku jengkel. “Buruan ambil motor mu, sebelum ku tendang tu motor jelek!” Lanjutku galak. Kesel juga ketemu sama orang sinis kayak gini.

Cowok itu cuma memandangku tanpa ekspresi. Dengan sigap ia berlalu dari hadapanku lalu mengatur motornya agar tidak terlalu mepet dengan motorku. Dari tadi kek, batinku kesal. Tanpa basa basi aku mulai mendekati motorku berniat pulang.

“Mitha…” Teriak seorang cewek dari belakang. Spontan aku menoleh dan cowok di sampingku juga ikut menoleh. Ku lihat cewek itu berlari terengah-engah menghampiriku.

“Nih kalung mu, tadi ketinggalan di meja. Makanya kalo punya kalung bagus, jangan di taruh sembarang. Mending dipakek aja.” Lita lalu memberikan sebuah kalung liontin silver itu kepada ku. Lita merupakan teman sebangku ku di kelas sekaligus sahabat terbaikku sejak aku menginjakan kaki di SMA ini. Liontin ini merupakan benda kesayanganku. Nggak pernah ku pakek, tapi selaluku bawa. Melihat benda ini selalu mengingatkanku pada seseorang.

“Nggak bakal ada yang nyuri kok, Lit. Kalung lama begini, berapa sih kalo dijual?”Gurau ku asal. Untuk sesaat aku lupa akan kehadiran cowok sinis itu.

“Terserah deh. Yang jelas kalung kamu keren banget. Kapan-kapan aku pinjem ya..”

Aku hanya menangguk.

“Ya udah Mit, aku pulang dulu.” Lita melambaikan tangannya sebelum pergi meninggalkanku.“Oh ya, besok jangan lupa kenalin aku sama cowok cakep disamping mu ya..” Teriak Lita yang kini sudah berada jauh di depan. Kemudian ia berlari sambil tertawa-tawa. Dasar Lita!

Ternyata Lita dari tadi sudah memperhatikan cowok yang ada di sampingku. Ku lirik cowok sinis yang ada di sampingku, ternyata ia masih tetap berdiri dengan wajah tanpa ekspresi. Dingin. Datar. Sadar ada yang memperhatikannya, cowok itu membalikan tubuhnya hingga tepat menghadap kearah ku. Namun tatapannya kini berubah. Seperti melihat sesuatu yang mengejutkan.

“Mitha Ariana Dewi?” Tanya cowok itu tak percaya.

Sejenak aku terdiam. Bagaimana bisa cowok ini tau nama lengkapku? Apa diabersekolah di SMP yang sama dengan ku? Kayaknya nggak deh. Biarpun otakku rada lemah sama yang namanya mengingat, tapi aku tau kok siapa saja temen SMP ku walau mereka beda kelas.

“Iya. Kok kamu tau nama lengkapku?”

Bukannya menjawab, ia malah menggangguk seolah mengerti. Lalu cowok tersebut menghampiri motor sport merahnya — yang sangat kontras dengan motorku — dan pergi begitu saja. Meninggalkan ku yang masih bingung dengan sikapnya.

“Rasanya kenal, tapi siapa?” Ujarku pada angin.

***
“Cowok kemaren siapa namanya?” Tanya Lita yang baru nongol di kelas. Baru nyampe di kelas udah nanya aneh-aneh.

“Yang mana?” Tanyaku balik, namun pandanganku masih terfokus pada buku matematika.Semalam, aku hanya berhasil menjawab 4 soal.

“Aduuuh. Masa lupa? Yang di parkiran kemaren. Yang cakep itu lho.” Jawabnya kesal sambil menaruh tas di atas meja.

Aku hanya mengangkat bahu lalu kembali asyik meghitung kalkulator. Tumben Lita peduli banget sama cowok. Biasanya nggak. Mungkin karena Lita menganggap cowok itu merupakan cowok tercakep di dunia. Tapi pada kenyataannya cowok di parkiran kemarin lumayan juga. Oke, harus aku akui. Cowok itu lebih dari lumayan.

“Mithaaaaa! Tolong deh, jelas-jelas kemarin kalian ngobrol bareng.” Lita lalu mengambil kalkulatorku hingga mau tidak mau aku harus menjawab pertanyaannya. Sahabatku ini memang pintar membuat diriku terpojok.

“Lita, dengerin baik-baik ya. Aku nggak kenal dia. Jadi kalo kamu nanya namanya siapa, kelas mana, alamat rumahnya, mending tanya di Tata Usaha sekolah aja. Masalah kemarin, aku bukannya ngobrol sama dia. Tapi aku lagi marahin dia karena motornya kelewatan mepet sama motor aku.Ngerti?” Dengan sigap aku merebut kalkulatorku.

Sekilas aku melihat jam dinding yang menjukan pukul 07.10. Berarti lima menit lagi pelajaran akan dimulai. Buru-buru aku menyelesaikan PR matematika ini. Tinggal satu nomor saja.. Tapi anehnya aku tak mendengar ocehan Lita lagi. Jangan-jangan Lita marah.

“Halo…” Aku melambaikan tanganku kearah Lita.Namun tak ada reaksi. Rupanya Lita tak marah denganku, buktinya ia melamun. “Hey!!!”

Sejenak Lita terkejut, lalu ia tersenyum. “Kayaknya aku suka sama cowok itu...”

Gubraaakk!!!

***
Waktu itu aku dan Revan baru kelas VI SD. Rumah ku dengannya hanya berbatas tembok.Dari kecil kami selalu bersama. Dimana ada aku pasti ada Revan. Main bareng, jalan-jalan bareng, belajar bareng, sekolah pun juga bareng dan selalu sekelas.Jika ada orang yang mengganggu ku, pasti Revan yang menghadapi.Orang tua kami berteman baik.

Tapi suatu ketika Ayah Revan dipindah tugaskan ke luar kota. Mungkin karena tidak tau kapan akan kembali, Ayah Revan memutuskan untuk menjual rumah mereka. Saat hari terakhir keluarga Revan ada di Bali, Revan memberikanku sebuah liontin tanda persahabatan. Dan parahnya, aku belum menyadari bahwa hari itu adalah hari terakhirku melihat Revan.

Keesokan harinya kudapati ia tak ada di kelas, rumahnya pun berisi tanda dijual. Barulah aku sadar bahwa Revan pindah rumah entah kemana.Aku malas bertanya kepada orangtua ku.Jujur, kepergian Revan membuatku kehilangan sosok sahabat yang selalu menemaniku.Baru setahun kemudian aku iseng bertanya kepada mama dimana Revan sekarang berada.Tapi mama tidak tau, begitu juga papa. Rupanya orangtua ku juga kehilangan kontak dengan keluarga Revan.

“Mitha..Coba tebak aku bawa siapa?”Ucap Lita dengan senyum bahagia.Lamuan ku tentang sahabat masa kecil lenyap sudah.Ku lirik seorang cowok yang berdiri di samping Lita.Ternyata cowok yang ada di parkiran kemarin. Pantesan…

“Tadi ketemu di kantin, jadi ku ajak ke sini..”Lita kemudian tersenyum pada cowok disampingnya.Dan tebak siapakah cowok ini.Yap, tentu aja cowok yang di parkiran kemarin.

“Kenalin nih, Mit. Namanya Wawan. Lucu kan namanya?Dia murid pindahan di kelas sebelah lho”Ujar Lita sambil menyerahkan air mineral dan snack yang ku pesan tadi. Nongkrong di taman sekolah emang enak. Tapi kalo jadi obat nyamuk kayak gini, nggak ada enaknyasama sekali.

“Lucu?Nggak tuh.Kenapa namanya nggak sekalian bakwan aja?”Tanya ku asal.Itung-itung balas dendam waktu insiden meninggalkan-tanpa-sebab di parkiran kemarin. Tampang boleh oke, tapi nama kok mengecewakan gini. Bagusan dikit bisa kan. Michel kek, Darwin kek, Eliot kek, atau apa kek..

“Iiiihh..Mitha kok gitu sih?!”Rengek Lita.

Cowok yang ada di depan ku hanya tertawa kecil. “Kalau nggak suka Wawan, bisa panggil yang lain kok.Asalkan jangan bakwan aja. Masa aku disamain sama makanan? Kan nggak mirip.”Cowok itu mulai melucu.Aku hanya bisa meringis mendengar leluconnya yang garingnya minta ampun.

Sadar dengan situasi, cowok itu mulai berdeham.“Nama ku Revan Setiawan.Dulu sempet sekolah di SD Bunda Pertiwi, tapi pindah waktu kelas VI.Trus sebulan yang lalu aku balik kesini.Semoga kamu masih ingat.”Jelasnya sambil menatap ku dengan serius. Kalau melihat si Wawan dengan jarak sedekat ini, barulah aku sadar kalau Wawan mirip dengan….

“Apaa???”Pekikku tanpa sadar.Otak ku kini berputar dengan cepatnya.Napas ku mulai tidak terkendali.“Nggak mungkin!!!”Teriak ku kasar.

“Kenapa Mit?”Seru Lita yang panik melihat perubahan raut wajahku.

Aku tak menggubris pertanyaan Lita, mataku kini menatap tajam Revan. “Ngapain kamu balik? Pergi aja sana. Aku nggak pernah punya temen kecil kayak kamu! Pergiii!!!!”

“Soriii Mitha...” Revan bergumam frustasi. “Aku nggak tau kalo waktu itu hari terakhir aku disini. Papa bilang lusa baru pergi. Tapi tiba-tiba ada rapat mendadak disana, jadi Papa mutusin buat pergi malam itu juga. Makanya aku nggak sempet pamit sama kamu. Maafin aku, Mit.”

“Bentar.. Tadi bilang apa? Nggak sempet pamit? Jadi kalian udah saling kenal?”Lita terlihat bingung.

Aku hanya diam tak ingin menjelaskan kebingung Lita. Aku melangkah mendekati Revan hingga wajah kami berhadap-hadapan.“Dasar PEM-BO-HONG!!”Ujarku sinis.

Aku yang sudah muak dengan semua ini, memutuskan untuk pergi. Namun kemudian aku tersadar akan kebingungan Lita. “Oh ya Lit, biar kamu nggak salah paham. Aku sama dia bukan saling kenal. Tapi PERNAH kenal.Itu pun kalo dia masih inget.” Aku melirik sekilas Revan.

Kemudian aku berjalan meninggalkan taman sekolah tanpa menghiraukan suara Lita yang memanggilku.Perasaan benci setengah mati kepada sahabat kecilku kembali ada.Sahabat yang pergi sekian tahun tanpa memberi kabar. Sahabat yang tak mampu menepati janjinya yang akan selalu ada untuk ku.

Sekian tahun, aku berjuang melupakan Revan dan segala kenangan tentangnya. Aku mulai menganggap bahwa Revan kecil tak akan muncul lagi.Aku tersenyum pahit menginggat pemberian terakhir Revan. Liontin yang hingga kini masih ku simpan seolah menjadi bukti.Bukti tentang kegagalanku melepas kenangan Revan sekaligus bukti bahwa aku masih berharap bertemu dengannya suatu hari nanti.Tapi ketika harapan itu menjadi nyata, aku merasa dunia mempermainkanku.

***
Sial! Motor brengsek! Harus tambal ban dimana?

Siang yang mendung menghiasi pemandangan kali ini.Memang akhir-akhir ini hujan selalu mengguyur bumi ini.Genangan air pun terlihat ada di sudut-sudut parkir sekolah.Seolah mendukung hari yang suram ini, ban belakang motorku kempes.Kembali aku merenung sendiri di parkiran.Tak ada yang dapat menolongku.Parkiran kali ini sepi tak ada orang.Maklum saja, sore jam segini semua orang sudah pulang. Hanya ada beberapa motor yang masih terparkir dengan rapi. Andai sehabis ekskul tadi aku tidak ke kantin, mungkin ada orang yang masih bisa membantu.

“Ngapain bengong sendiri?Ntar ayam tetangga mati baru tau rasa.”Ucap seorang cowok dari belakang.Dia lagi, dia lagi.Selalu di parkiran sekolah.Siapa lagi kalau bukan Wawan. Atau mungkin Revan.

“Ban nya kempes? Wah, harus di bawa ke bengkel.Bengkel deket sini mana ya?Bengkel sebelum belokan deket sekolah kayaknya masih buka.”Jelasnya panjang lebar.Aneh juga orang ini. Tau-tau Revan sudah jongkok di samping motor ku sambil mengamati ban motor yang kempes. Aku hanya bisa memandangnya sendu.

Masih ingat dengan kejadian di taman sekolah? Yap, setelah hari itu Revan selalu meminta maaf dan memberi penjelasanku panjang lebar. Perjuangannya memang patut diacungi jempol. Tiap pulang sekolah Revan selalu menghampiri kelasku. Yang tentu saja tidak kuhiraukan. Lalu Revan mulai menelponku, bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Namun aku tak pernah mengangkat teleponnya.
Tak putus asa rupanya, Revan mengirimku puluhan bahkan ratusan SMS yang berisi permohonan maafnya. Dan lagi-lagi aku tak menghiraukannya. Sampai suatu ketika, Lita menyadarkan sifat kekanakan ku.

“Kamu udah maafin dia kan? Cuma kamu gengsi buat ngungkapin. Terusin aja aksi ngambek kamu yang kayak anak kecil. Tapi kamu tau nggak kalo sesulit apapun minta maaf sama anak kecil, pasti anak kecil itu luluh juga. Walaupun harus disogok pakek permen, cokelat, jajan, mainan atau yang lain. Selama kita tulus, anak kecil itu pasti mau maafin .”Ucap Lita kala itu.

Dan sejak saat itu aku mencoba memaafkan Revan dan kami pun berteman kembali.Harus kuakui, peran Lita sangatlah besar dalam hubunganku dengan teman kecil ku itu.

“Terus gimana?”Tanyaku pasrah sambil menatap Revan dalam. Revan hanya memandangku lalu tersenyum. “Kita bawa motor ini ke bengkel. Tapi imbalannya kamu harus mau bantuin aku..”

Dasar cowok! Kalau ada maunya pasti langsung jadi baik.

***
Aku hanya bisa terdiam. Melihat mereka dengan tatapan kosong. Revan dan Lita kini semakin akrab. Kemana-mana selalu bareng. Walau si Revan belum nembak si Lita, tapi bisa pastikan mereka bakal jadian. Tinggal menghitung mundur saja.

Aku masih ingat dengan hari itu. Hari dimana Revan menemain ku di bengkel. Ternyata imbalan yang diminta Revan adalah membantunya mendekati Lita. Aku masih ingat, sambil menunggu ban ku selesai ditambal, Revan menanyakan beribu pertanyaan tentang Lita. Mulai dari nomer handphone, alamat rumah, hoby, tipe cowok, dan lain sebagainya. Aku hanya bisa menjawab dengan pasrah sambil memandangi Revan yang sangat bersemangat.

Dan kini.. Aku hanya bisa menerawang jauh, sambil menggenggam liontin silver ini. Dulu, hari pertama Revan kecil pindah sekolah membuat ku shock. Aku lebih sering diam di kelas karena sahabat terbaik ku pergi entah kemana. Ada rasa sedikit benci melihatnya kini hadir secara tiba-tiba. Aku tak mengerti rasa yang muncul ketika pertama kali bertemu Revan di parkiran sekolah, selain rasa benci. Namun kali ini aku sadar, bahwa rasa selain benci itu sudah terlambat.

Ku pandangi mereka berdua yang sedang tertawa bersama. Tawa yang begitu hangat. Mereka sangat serasi. Aku tahu Revan akan menjaga Lita. Dan Lita yang biasanya hanya bisa menceritakan cowok yang disukainya tanpa berusaha mengenalnya, kini berbalik 180 derajat.

“Mitha! Gabung sama kita yuk. Ngapain bengong sendiri di sana? Sini..” Perkataan Lita membuyar lamuan ku. Aku hanya bisa tersenyum lalu menggeleng.

“Aku mau pulang dulu. Lanjutin aja kencannya.” Ucap ku dengan nada centil. Walaupun sakit, aku mencoba untuk menutupinya. Kaki ku mulai melangkah meninggalkan tempat ini, namun baru ku berbalik ada suara yang mencegah ku.

“Kalau mau pulang periksa dulu handphone nya.Ntar siapa tau ada yang ngajak pulang bareng.”Suara ini tak asing di telingaku.Aku hanya bisa tersenyum lalu melanjutkan langkah kaki ku.

Sampainya di parkiran sekolah, aku terdiam. Aku bertemu dengannya untuk pertama kalinya setelah sekian lama tidak bertemu. Di parkiran ini juga awal mula aku membantunya untuk bisa dekat dengan sahabatku. Bergegas ku mengambil helm ku dan memakai jaket ku. Tapi entah kenapa aku ingat kata-kata dia tadi. Segera ku membuka tas biru ku lalu mengambil handphone. Ada satu SMS, dengan segera aku membukanya.

From :Revan (+6281236145xxx)
To : Me (+6281933881xxx)
Thx Mitha. Ak ud jadian sma lita.
Sbg gnti’a km bs minta apa aj sma aku.
Oh ya, msh inget liontin silver yg dlu akuaksi ke km?
Boleh gak liontin itu biar lita yg jaga?

Hujan gerimis turun membasahi bumi. Aku masih terpaku dengan SMS Revan sambil bergeming bersama awan yang mulai menangis. Kini aku benar-benar merasa sendiri. Kuambil liontin yang berada di saku bajuku. Masih sama seperti dulu. Ku pandangi liontin itu dengan saksama. Rupanya liontin ini memang mengantarkan ku bertemu dengan Revan, tapi liontin ini tak pernah mengatakan bahwa ketika aku bertemu dengan Revan lagi, saat itulah aku harus melepaskannya.

Mungkin sudah saatnya liontin ini berpindah tangan.Aku tau bahwa ini adalah hal termustahil yang pernah aku lakukan. Tapi aku akan mencoba dan berusaha semampuku. Apapun dan bagaimana pun caranya, aku harus bisa terbebas dari bayangan liontin ini. Buru-buru aku membalas SMS Revan. Dengan ini aku menyakinkan diriku, bahwa detik ini juga aku resmi melepaskan teman kecilku, yang tanpa sadar telah menjadi cinta pertamaku.

From : Me (+6281933881xxx)
Sent : Revan (+6281236145xxx)
Pasti boleh dong. Besok aku kasi ke kamu deh.
Aku percaya kalo Lita bakal ngejaga liontin ini sebaik mungkin. Dan kamu juga harus jaga Lita sampai kapan pun.
***


By : Rai Inamas Leoni
TTL : Denpasar, 08 Agustus 1995
Sekolah : SMA Negeri 7 Denpasar
Blog : raiinamas.blogspot.com
Twitter : @RaiInamasLeoni
Cerpen sebelumnya : Kenapa Bukan Aku?, Me and My Best Friend, Sebuah Janji, My Valentine, Dia Telah Pergi, Teddy Bear