Feb 21, 2011

Cerpen "LUCAS"

Cerpen berjudul LUCAS ini merupakan cerpen kedua dari Ni Galuh Ginanti. judulnya sama dengan namaku yah? Cerpen pertamanya yang 'keren banget' sudah dipublikasikan kemarin dan bisa dilihat dalam cerpen 'Dia Sang Abstrak'.

L U C A S

          “Udah berapa lama tinggal di sini?”
          Tanyaku bahkan tak bisa membuatnya tak bergeming. Dia tetap menunduk memegangi secangkir kopi panas yang baru dibuatnya ketika aku datang dan mengejutkannya.
          “Dari mana kamu tau kalo aku sekarang tinggal di sini?” akhirnya dia bersuara juga setelah sekian jam kami berdiam.
         “Kamu lupa? Aku selalu tau kamu lagi di mana.” Sahutku tanpa menatapnya. Aku lebih memilih untuk mengedarkan pandangan ke sekeliling kost yang menurutku lumayan kumuh untuk ukurannya. Entah sejak kapan dia, orang yang setahun belakangan ini menjadi kekasihku, menghuni tempat ini.
          Dia hanya tersenyum getir. Membuatku makin miris melihatnya.
          “Kamu nyaman tinggal di sini?” tanyaku lagi.
          Dia mendesah sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku yang seakan tak ada habisnya.
          “Memang nggak senyaman rumah yang dulu, tapi di sini suasananya tenang. Teman-teman juga ramah-ramah. Mereka semua baik sama aku.” katanya. Kali ini sembari tersenyum.
          Aku memandang ke arahnya. Dia benar. Anak-anak kost di sini memang ramah. Tadi saja, kedatanganku di sambut sebuah senyum hangat oleh teman kost Lucas.
          “Kenapa kamu nggak bilang soal ini?”
          Dia membuang muka.
          “Ayolah, Lan! Aku nggak mau kita berantem cuman gara-gara aku minggat dan nggak izin sama kamu.”  Tukasnya agak memelas.
          “Bukan gitu maksudku...”
          “Apapun maksud kamu, aku mohon, jangan tanya-tanya seperti itu dulu. Aku ke sini buat nenangin diri. Percaya sama aku, nanti kalo udah waktunya aku bakal ceritain semuanya sama kamu.” Suaranya lirih tapi itu tak bisa menghilangkan rasa penasaranku.
          Aku merogoh tasku. Ku keluarkan sekotak makanan kesukaan Lucas. Lalu kusodorkan padanya.
          “Kamu pasti belum makan. Makan ya!”
          “Taruh aja di sana. Nanti aku makan.”
          “Nggak! Please, aku pengen liat kamu makan makanan yang aku bawa. Hari ini aja.” Aku merajuk.
          “Baiklah. Tapi maaf, mungkin mulai saat ini kamu nggak bisa bermanja-manja lagi sama aku. Aku udah bukan anak yang punya semuanya lagi.”
          Aku terhenyak dengan pernyataannya. Jadi selama ini aku manja? Aku ingin bertanya tentang itu, tapi melihatnya menyuap makanan dengan lahap, aku mengurungkan niatku.
          “Udah hampir malam, kamu harus pulang! Mama papa kamu pasti nyariin. Tapi maaf, aku cuman bisa nganter kamu untuk cari taksi. Mobilku...”
          “Oke. Aku akan berhenti buat bersikap manja sama kamu. Dan kamu juga mesti berhenti minta maaf buat hal-hal nggak penting kaya gitu. Semuanya bakal baik-baik aja, walaupun aku pulang naik taksi. Aku akan ke sini lagi lain kali. Aku pulang, jaga diri kamu baik-baik!”
          Aku membuka pintu taksi yang siap mengantarku pulang.
          “Aku mungkin nggak akan sekolah untuk beberapa waktu...” cetusnya membuatku batal masuk ke dalam taksi.
          Aku menoleh kemuadian menatapnya. Dia mungkin salah tingkah aku tatap begitu.
          “Aku... aku akan sekolah lagi setelah aku dapet pekerjaan.” Katanya balas menatapku.
          Aku tersenyum dan berlalu dengan taksiku.

***
          Ku pandangi sebuah foto yang terbingkai frame cantik di meja belajarku. Di foto itu Lucas tertawa lebar sambil merangkulku. Aku tersenyum saat mengingat kenanganku bersama Lucas.
          Hari itu untuk memperingati setahun kami jadian, aku dan Lucas pergi ke pantai. kami ingin menghabiskan waktu di sana, di tempat kesukaan kami. Rasanya aku tak pernah lupa saat kami bermain pasir dan bercanda dengan ombak sepanjang hari.
          Aku memang beruntung karena bisa menjadi kekasih Lucas. Dia tampan dan baik. Hampir tak ada cela dalam diri Lucas. Di mataku ia tampak begitu sempurna. Aku kadang tak berkedip saat melihatnya berselancar. Rambutnya yang halus dan hitam berkibar ditiup angin pantai. Badannya yang atletis basah terpercik air laut. Dia memang memesona.
          Aku sudah melewatkan begitu banyak kejadian yang menyenangkan bersama Lucas. Dan aku berharap semuanya tetap sama seperti saat-saat itu. Tapi apa daya, semuanya tak bisa terjadi seperti kehendak kami. Begitu hari tak terlupakan itu berlalu, masalah demi masalah datang mengganggu kami.
          Masalah yang dihadapi Lucas telah merampas kebahagiaan kami. Keluarga Lucas yang dulunya damai kini telah hancur berantakan. Ayah Lucas ternyata memiliki wanita simpanan. Itu membuat ayah dan ibu Lucas selalu bertengkar. Sampai akhirnya orang tuanya bercerai dan ayah Lucas menikah dengan wanita selingkuhannya itu. Hati Lucas sangat perih. Ia menjadi pendiam dan suka menghindariku.
          Setelah detik-detik mengerikan itu, Lucas makin jarang menemuiku. Apalagi setelah itu, ibunya meninggal. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Lucas seharusnya tau, kalau aku juga sedih. Lucas juga tidak mau menceritakan masalahnya padaku. Dan aku tak selalu dapat menebak apa yang ada dalam kepala Lucas. Akupun mengambil keputusan untuk mendiamkannya beberapa saat. Memberinya waktu untuk menenangkan diri.
          Tapi setelah seminggu tak menelponnya, aku benar-benar kehilangan dirinya. Dia pergi dari rumah ayahnya. Dia membuatku kelimpungan mencarinya. Sampai akhirnya hari ini aku menemukannya di kost yang menurutku lumayan kumuh untuk ukuran Lucas yang anak pengusaha ternama. Walaupun begitu, aku tak menemukan Lucas yang utuh di sana. Ada yang hilang dalam dirinya. Entahlah, aku sendiri kurang yakin. Sudahlah, akan aku cari tau besok.

***
          Aku mengetuk pintu kamar Lucas berkali-kali. Tapi pintu itu tak kunjung terbuka. Lucas pergi kemana ya? Aku duduk di depan pintu sambil memeluk lutut. Aku akan menunggunya, selama apapun. Aku melirik jam yang melingkari tenganku. Hampir jam tiga sore. Padahal aku sudah membawakannya makan siang.
          Setelah dua jam tercenung di sana, akhirnya Lucas menyapaku. Aku tersenyum lega.
          “Lilan...”
          “Lucas!” pekikku senang dan langsung berdiri.
          Lucas mendekat dan membuka pintu kamarnya.
          “Ayo masuk! Tapi maaf nggak senyaman kamarmu”
          Aku membuntutinya dari belakang. Lalu duduk di tepi kasurnya yang kecil.
          “Kamu kemana aja? Aku udah nunggu dari tadi. Nih, aku bawa makanan buat kamu” kataku sambil membukakan kotak makanan yang kubawa untuknya.
          “Thanks,” katanya singkat.
          “Kita makan bareng ya,” ujarku seraya membuka kotak makanan satu lagi.
          Lucas melahap makanannya dengan khidmat. Sementara aku, hanya mengaduk-aduk makananku saja. Mataku sibuk mencari tau, apa saja yang telah hilang dari dirinya.
          Sesekali Lucas melihatku dan tersenyum. Mata Lucas masih biru dan tajam, tapi kini tak lagi bersinar. Rambutnya juga tetap hitam dan halus, namun sekarang tak lagi berkilau. Kulitnya mulai kusam dan badannya mulai kurus. Sekarang aku tau, keceriaan dalam diri Lucas telah lenyap tak berbekas. Mungkin sulit untuk memintanya kembali. Tapi akan aku usahakan. Aku bahkan tak menyadari saat air mataku menetes, menghentikan acara makan Lucas.
          “Lan...” tegurnya pelan.
          Aku menunduk. Tak mampu berkata-kata. Air mataku menetes makin deras. Hatiku perih. Perih sekali.
          “Lan...” tegur Lucas sekali lagi.
          “Aku... aku nggak bisa lihat kamu kaya begini, Cas. Ayo bilang sama aku, apa yang harus aku lakuin biar kamu balik ke kamu yang dulu! Kamu udah bikin semua yang kamu punya pergi dan nggak balik lagi, Cas.”
          Lucas termangu degan kata-kataku. Dia membuang muka.
          “Bagian mana yang nggak bisa kamu lihat?”
          “Semuanya Cas!”
          Kami terdiam sejenak.
          “Cas, ayo pulang! Semuanya akan baik-baik aja. Jangan begini!” kataku sambil mencari-cari matanya yang mengindariku.
          “Kamu nggak akan pernah ngerti. Ibuku yang meninggal, ayahku yang nikah lagi, dan kamu nggak akan pernah ngerti sebelum kamu ngalamin hal yang sama. Hatiku sakit, Lan. Kamu harus tau itu. Dan apapun yang terjadi aku nggak akan kembali ke rumah itu.” Teriaknya menatapku.
          Aku membisu. Berusaha memahami maksud Lucas. Dia salah. Aku mengerti. Bahkan sangat mengerti. Tapi aku tidak bisa seperti ini terus. Hubunganku dengannya akan memburuk jika ia tetap ada di tempat ini.
          “Aku ngerti, Cas. kamu salah kalau bilang aku nggak ngerti. Aku bicara begini agar hubungan kita balik seperti dulu”
          “Apa yang bisa kamu ngerti dari aku. Keadaan kamu sama aku beda, Lan. Keluarga kamu utuh, nggak terusik apapun. Sedangkan aku?” nada bicara Lucas meninggi membuatku terdiam.
          Lucas, aku bukan nggak bisa ngerti tapi aku nggak bisa bilang. Kalau aku juga...
          Lucas tiba-tiba menatapku tajam.
          “Jadi, aku berubah?” tanyanya dingin.
          “Iya!”
          “Kalau begitu, kita bisa putus. Kamu nggak layak pacaran sama anak SMA yang ngekost dan kerja part-time di restoran.” Katanya sembari membalikkan badannya dan membelakangiku.
          Aku menarik pundaknya agar ia berhadapan denganku. Menatap wajahku dan mengatakan kalau tadi ia hanya bercanda.
          “Lucas...”
          “Aku juga ingin kita seperti dulu lagi, tapi kalau harus kembali ke rumah itu... maaf, aku nggak bisa. Aku lebih baik putus dari kamu daripada tinggal dengan ayah yang sudah mengkhianati ibu. Aku begini bukan berarti aku nggak sayang sama kamu, tapi semuanya punya porsi masing-masing, perasaanku sendiri dan perasaanku buat kamu.”
          Aku membekap mulutku. Aku tak percaya kalau Lucas akan berkata seperti itu padaku. Waktu memang mengubah segalanya, keadaan, hati Lucas, dan hubungannya denganku. Tuhan, kembalikan semuanya padaku!
          “Baik. Kalau memang kamu mau seperti itu. Akan aku lakuin. Itu nggak sulit kok, Cas.” kataku seraya menyambar tas yang kuletakkan di meja belajar Lucas dan pergi secepatnya dari sana. Aku benci keadaan seperti ini. Aku benci Lucas.
          Lucas memang sudah tidak menyayangiku lagi. Dia bahkan tak mengejarku. Tak menahanku agar tetap disampingnya. Ya, hubunganku dengan Lucas memang sudah berakhir. Bahkan sejak dulu. Sejak Lucas kehilangan ibunya.

***
          Langit-langit kamar tampaknya perlu di cat lagi. Warnanya sudah mulai luntur. Gampang, walau aku benci, aku akan meminta pegawai papa untuk mengecatnya. Aku baru sadar saat melamun sambil menerawang ke langit-langit. Kata-kata Lucas kemarin masih terngiang-ngiang ditelingaku. Lucas benar. Semunya punya ukuran sendiri-sendiri. Tidak seharusnya aku memaksanya kembali pulang saat hatinya belum pulih. Aku memang tak berperasaan. Aku harus minta maaf pada Lucas. Ya, aku akan ke kostnya sekarang.

          Kost Lucas lagi-lagi kosong. Kemana dia? Kerja?
          “Kamu Lilan, kan?”
          Seorang anak laki-laki yang tampak seumuran dengan Lucas, menghampiriku dan menyapaku. Aku mengangguk ragu.
          “Lucas kemana?” tanyaku lirih.
          “Lucas pergi. Dia nggak bilang kemana. Oh iya, Lucas bilang aku harus ngasihin ini ke kamu, kalo kamu datang.” Katanya sambl menyodorkan selembar amplop berwarna abu-abu.
          Dahiku mengernyit tanda heran. Tapi tanganku tetap menerima pemberian Lucas yang disampaikan pada anak ini. Aku melangkah pulang dan berniat membacanya di rumah.
          Aku menyesal karena telah meledek sinetron-sinetron dengan adegan dramatis yang menurutku berlebihan. Tapi sekarang aku agak meniru adegan-adengan sinetron-sinetron yang kutonton itu. Perlahan aku robek perekat pada amplop ditanganku.

Lilan...
Aku pergi. Aku akan berusaha untuk mengembalikan hubungan kita seperti dulu. tapi mungkin akan lama. Kali ini aku berharap kamu mau menunggu, walaupun aku tau, kamu paling benci dengan pekerjaan itu. Maaf, kemarin aku sudah membuatmu marah.
Lucas

          Tulisan Lucas memang bagus. Tulisanku saja tidak sebagus ini. Tapi tulisan ini harus luntur karena air mataku. Aku tak menyesal Lucas pergi. Tapi aku menyesal karena telah menyakitinya di pertemuan terakhir kami. Aku bahkan belum sempat minta maaf untuk itu. Padahal aku dan dia dalam posisi yang hampir sama. Tapi mungkin suatu saat nanti kesempatan itu akan datang.
          Lucas, semuanya akan baik-baik saja. Ibumu, ayahmu, juga kita. Tak akan ada yang tersakiti lagi nanti setelah kedatanganmu. Maaf, aku sudah memaksamu pulang. Aku hanya kesepian, karena mama dan papaku juga sebentar lagi akan segera bercerai.


============================================================
PENULIS
Ni Galuh Ginanti
Denpasar (Bali)
blog: galerikuliner.blogspot.com
============================================================