Feb 17, 2011

Cerpen "Dia sang Abstrak"

Cerpen -Dia sang Abstrak

oleh: Ni Galuh Ginanti

          Bolehkah aku membencinya saat ini? Setelah apa yang pernah dilakukannya kepadaku, semua yang ia ucap kala itu, sedetikpun tak dapat membuatku tenang sepanjang malam. Andaikan saja aku boleh mengumpatnya untuk terakhir kali, ”Kamu pergi kemana selama ini? aku menunggumu untuk sekian lama. Sangat lama, kau tahu?”

          Begitulah. Malam-malam terus berulang, menyisakan gambaran sosoknya yang tak mau pergi dari benakku. Selalu menampakkan seraut wajah samar di sela-sela kamarku. Setiap kali aku menghela nafas, aku tercenung, mengingatnya lagi dan lagi. Teringat masa-masa saat ia dengan sesumbar mengajakku bertaruh bintang jatuh di tengah malam. Ia mengidap kegilaan akut pada bintang. Saat itu, aku kalah. Semenjak itu pula jendela kamarku selalu terbuka, seolah aku akan melihatnya menungguku di balkon, untuk bertaruh hal bodoh tak penting itu.
          Aku pasrah dia menggerogoti semua lamunanku. Menjadi aktor dalam setiap mimpi-mimpiku. Kadangkala aku membayangkan kalau dia ada di sampingku, menjaga setiap tidurku. Berada di sudut kamar saat aku menghadap hamparan cahaya putih dalam lukisan alam sang malam, bintang.
          Hiperbolis, memang.
          Aku hampir gila. Begini rasanya mengalami kegilaan pada sesuatu.
Kau sudah melanggar janji. Kau membuatku menunggu terlalu lama. Kau menyimpan semuanya, tanpa pernah aku tahu. Kau berbohong!, pikirku.
Tolong aku, Tuhan.
          Kata itu selalu kuucapkan beribu-ribu kali setiap malam. Seperti menghafal sebait mantra penghilang insomnia. Lalu aku tertawa dengan suara tertahan. Minta tolong untuk apa? Mungkin aku ingin mendapatkan sebuah hiburan gratis dengan menertawakan diriku yang bodoh itu, karena dia bisa menguasai pikiranku secara utuh! Aku tak mengerti. Sungguh! Tertawa mungkin satu-satunya jalan untuk menentramkan hatiku dari kegalauan. Dan yang paling penting, aku membencinya karena aku tak mengerti kenapa dia selalu hadir dengan sosok secercah bayangan dalam kegelapan.
          Sungguh, aku ingin melihatmu sekali saja tanpa pernah merasa terjebak dalam suatu misteri. Tanpa pernah merasa ditakut-takuti. Aku tidak ingin melihatmu hanya dari sebuah nama yang tercantum di nisan kecilmu yang lapuk itu.
          Nisan itu... membuatku yakin kalau kau benar-benar sudah tidak bersamaku lagi.
          Payah. Lagi-lagi aku tertawa. Tertahan di ujung kerongkongan. Memiriskan hati.
          Sudahlah, aku sangat lelah. Entah sejak kapan aku mulai memikirkan kadar kebencianku padanya, hanya gara-gara wujud abstrak sang perusak hidup. Aku mulai merasa ini lucu sekali. Segala imaji tertumpah hanya karena aku tak pernah bertemu dan mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kali. Aku tak menyadari kalau ucapan terakhirnya padaku adalah, “Tak ada yang abadi. Aku mungkin akan tergantikan. Tapi engkau tidak akan pernah terganti dalam hatiku, Gadisku.”
          Ringan dan santai. Begitu nada bicaranya. Seakan tak ada masalah di otak tumpulnya itu. Hingga aku merasa bodoh telah apatis akan segala ucapannya.
          Namun kini, aku yang gila. Mulai tertawa penuh kekalahan dalam sisi gelapnya.
          Jadi, dia datang di hidupku seperti rangkaian cerita. Sebuah cerita bersambung, namun dengan beratus-ribu serial. Terputar di proyektor otak yang sebelumnya terekam di memoriku. Aku ingin sekali menghapusnya ketika aku tahu dia egois. Dia hanya menyematkan kata-kata yang tidak pernah membawa ketenangan dalam hidupku.
          Aku kembali menghela nafas. Kantukku tidak berkurang ketika aku mulai memikirkannya lagi. Bukannya aku menderita insomnia yang malam ini mengharuskanku untuk minum pil tidur, tetapi aku masih mempunyai urusan yang tak nyata dengan dia. Hanya aku yang mengerti.
          Kemudian aku mengambil secarik kertas, berusaha untuk meredam kekalutanku dalam goresan pena. Aku mulai menulis dalam satu rangkaian cerita yang tersusun dari beribu kalimat. Aku tidak ingin lagi memutar cerita-cerita itu dalam kilasan gambar yang berkelebat sesaat di otakku, tentu dengan seorang aktor ; dia. Tapi pada akhirnya, itu tak kunjung membuatku tenang. Karena kata-kata monoton itu: Aku harus bagaimana? Apa boleh aku membenci dia?
          Kalimat-kalimat yang ku tulis itu berubah sarkastis.
          Ku benamkan wajahku di lipatan siku. Jendela terbuka lebar, angin malam yang dingin berhembus menjalari ubun-ubunku. Aku ingin menangis, menampilkan guratan kesedihan dan mempertontonkannya pada sang malam. Dia, masih menggerayangi setiap jengkal jaringan otakku. Masih menaburi bibit-bibit ketergantungan untuk selalu memikirkan dia. Penaku terhenti, karena banyaknya kata monoton. Aku ingin menulis lagi, tapi pikiranku tak memerintahkan tanganku untuk bekerja. Entah kata dan kalimat apa lagi yang mampu menggambarkan ‘betapa aku membenci dia’. Aku ingin marah, tetapi kemarahanku menguap. Apapun yang telah aku lakukan untuk dia, aku telah lupa. Lebih tepatnya sengaja untuk melupakannya. Sudah tak ada lagi yang bisa aku katakan. Aku terlanjur menetapkan kalau dia bersalah.
          Pikiranku mulai bekerja. Namun kali ini aku mendapat sebuah sisi baik yang pernah dia simpan untuk kuingat. Dia mampu membimbingku saat aku butuh pertolongan, dia membuatku tertawa saat aku kembali dengan kebiasaan anehku ; menertawai diriku sendiri. Dia pernah membuatku tersenyum bahkan saat dalam keadaan terpuruk sekalipun. Terkadang aku ingin memberinya sebuah pujian kecil, karena aku beruntung merasa pernah mengenal dia. Aku ingin dia tahu bahwa aku tidak ingin membencinya, tapi dia yang menginginkan itu. Padahal aku tahu, dia tak pernah sungguh-sungguh membenciku. Dia sangat menyayangiku.
          Ku angkat kepalaku perlahan. Rasanya menutup mata sebentar untuk menenangkan diri membuatku menjadi sedikit lebih baik. Aku menatap nanar hamparan bintang yang terlihat dari jendela kamarku yang terbuka. Aku yakin, dia pasti melihatnya, disini. Setelah aku berfikir panjang dan mereka-reka apa yang pernah dia lakukan untukku, aku ingin meminta maaf karena aku pernah membencinya. Aku tak ingin terikat dengan masa lalu. Karena aku hidup ditemani kenyataan di masa sekarang dalam rentetan rencana untuk masa yang akan datang. Aku terpaku melihat pena ku. Kertas yang penuh dengan coretan tentangnya. Kumpulan cerita kegusaran dalam file komputerku. Akhirnya aku tersenyum dan berterima kasih.
           Seperti tantangan memasang puzzle, aku berhasil menyatukan semua pikiran yang terpecah.
          Untuk kau disana. Untuk yang tak pernah bisa hadir dalam jasad yang indah, dalam wujud yang sempurna. Untuk yang selalu menghipnotisku dengan uraian abstrak wujudnya, temani aku selalu, disini.
          Malam ini giliranku untuk sesumbar mengajakmu bertaruh bintang jatuh. Pukul 12 malam, di jendela kamarku. Aku pasti menang kali ini.
****


Ni Galuh Ginanti 
Denpasar - Bali