Jul 9, 2011

Cerpen: Hari-Hari Terakhir untuk Adikku

Hari-Hari Terakhir untuk Adikku

oleh: Zainal Abidin
          Satu jam yang lalu, nalu sudah terkulai lemas di kamarnya. Dia tak mau dibawa ke RS hanya karena masalah biaya katanya. Memang kami berasal dari keluarga yang bias di bilang serba kekurangan, untuk makan saja, kami harus kerja keras banting tulang dari pagi hingga malam menjelang.
“gi, nalu udah sadar belum?” tiba-tiba suara ibu mengagetkanku.
“belum bu, apa kita bawa ke rumah sakit aja?”
“kurang tau lah gi, ibu gak punya biaya”.
“tenang aja bu, egi akan kerja keras banting tulang supaya nalu bisa sembuh”. Kataku. “yang penting sekarang nalu kita bawa ke rumah sakit dulu, ayo bu…!” ajakku.
“ya sudahlah, ayo!” jawabnya.

ЖЖЖЖЖ

“kamu sudah bangun nal!”. Tanyaku.
“a…aaku di mana kak?” tanyanya.
“kamu di rumah sakit nal!”
“ kenapa nalu di bawa kesini kak, nalu mau pulang….. pokoknya sekarang mau pulang!” rengeknya.
“kamu harus sembuh nal…..pokoknya kamu harus di rawat di sini, kakak mau kamu sembuh, makanya kakak bawa kesini!”
“tapi kak… siapa yang mau bayar biayanya!”
“tenang aja nal, nanti kakak akan cari uang yang banyak biar kamu bisa sembuh!” jawabku.

ЖЖЖЖЖ

“HUFFFFFFFFFFFFFFTTT”…… andai kejadian itu tidak pernah terjadi. Pikirku.
          Beberapa tahun yang lalu, ketika nalu masih berumur 4 tahun dan ayah masid disini. Kejadian yang menewaskan ayahku dan membuat nalu mengalami gegar otak. Kejadiannya berawal dari keberangkatan kami menuju tempat rekreasi cipanas beberapa tahun yang lalu, waktu itu umurku baru 16 tahun.
“ayah, aku yang nyetir ya!” pintaku ke ayah. Setibanya kami di dekat cipanas.
“ya sudah, lagipula kamu kan udah gede, cipanasnya juga udah deket kok. Di depan sana tinggal belok aja”. Kata ayah.
“makasih ya yah!”
          Awalnya memang lanca-lancar saja. Namun ketika hendak masuk ke cipanas tiba-tiba aku kehilangan kendali karena ada batu besar yang tak sengaja kulindas. Akhirnya mobil kamipun menabrak pagar tembok. Ayahku tewas seketika karena posisi tempat duduknya tepat di depan pagar, nalu langsung terlempar ke luar mobil dan mengalami gegar otak. Sedangkan aku dan ibuku tidak terlalu parah kami hanya mengalami lecet-lecet sedikit di beberpa bagian tubuh kami.

ЖЖЖЖЖ

“gi, udah shalat belum? Kalo belum shalat dulu gih, biar nalu ibu yang jagain!”. Tiba-tiba suara ibu membangunkanku dari lamunanku.
“belum bu, sebentar lagi ya. Egi masih mau disini nemenin nalu!”. Jawabku.
“heh… shalat kok entar-entar. Sana shalat dulu, gak baik lo ditunda-tunda”.
“iya deh bu…!”.
          Di dalam kekhusyuan shalatku masih terbayang kejadian empat tahun lalu. Tetapi apa yang bisa aku lakukan, aku hanya bisa terdiam dan menangis meyesali semuanya yang telah tejadi. Andai saja waktu itu….. akh pikirku, aku tidak boleh banyak berandai-andai.
“bu!, apa nalu udah sadar?”. Tanyaku setibanya di sebuah kamar bertuliskan melati 2 tempat nalu dirawat.
“belum gi!, kamu udah makan gi?”.
“egi lagi ngga nafsu makan bu, ibu makan duluan aja!”.
“oh.. ya sudah kalo bbegitu, ibu makan duluan ya gi, nanti kalo kamu mau makan nyusul ibu aja”.
“iya”.
          Dua hari kemudian sepertinya nasib baik sedang berpihak kepadaku, aku diterima di senua perusahaan meubeul yang cukup terkemuka di daerh Jakarta yang kebetulan letaknya dekat dengan tempat tinggalku. Hari ini aku sudah mulai bkerja di perusahaan itu sebagai staff accounting, dan katanya penghasilanku nantinya lumayan cukup besar. Yah,, lumayanlah untuk biaya pengobatan nalu.
“bu, aku diterima kerja bu”. Kataku pada ibu dengan menggebu-gebu.
“wah…selamat ya gi!”. Kata ibu.
“iya bu, semoga saja bisa nyembuhin nalu ya bu”. Dan tiba-tiba “KLIK” sambungan telepon terputus. Ada apa ini, pikirku.
          Tiba-tiba.
“HEH.. loe karyawan baru ya disini?”
“iya mas, ad apa ya?”
“ada apa-ada apa jangan belaga bego eh lo. Enak aja pake telepon sembarangan emangya itu telepon punya nenek moyang lloe apa.?”
“tapi kan ini fasilitas kantor mas…”
“eh, gua juga tau kalo itu fasilitis kantor… gak usah sok ngajarin gue deh loe. Anak baru udah berani cari masalah”.
“terus masalahnya apa mas, aku kan Cuma pake fasilitas kantor, kalo itu mengganggu mas ya sudah saya minta maaf.”
“ooooo. Jadi lo berani sama gue, sikat Din kasih pelajaran dia, berani-beraninya nantangin gue”.
          Tiba-tiba. “ehem”. Terdengar suara orang berdehem dari belakangku dan tak lain itu adalah bosku, pak Hadi Tegar Prakasa. “Dinu, Roby, ngapain kalian disini?, udah selesai kerjaannya?”
“e,, anu pak..!”
“a e a e, anu apa?, kembali kerja?”
“I I iya pak….” Jawab dini dan roby serempak. Sejurus kemudian mereka langsung kembali ke meja mereka masing-masing. Meneruskan pekerjaannya. Sambil melotot ke arahku.
“Egi Pramono”.
“iya pak… ada apa?” tanyaku pada pak Hadi
“bisa ikut ke kantor saya.”
“bisa pak” jawabku dengan agak sedikit gemetar.

ЖЖЖЖЖ

“Alhamdulillah ya bu, akhirnya Nalu udah bisa pulang”.
“Iya gi, alhamdulillah, tapi kenapa dia dari tadi diem aja ya gi, ibu jadi kuatir, tanyain sana!”.
“Iya bu, Egi ke dalem dulu ya bu”.

          Di dalam kamar.
“Nal. Kamu kenapa?” tanyaku. Tapi Nalu hanya diam hingga beberapa detik kemudian baru dia menjawabnya, sambil setengah berfikir.
“Nalu gak apa-apa kok kak, Cuma agak sedikit capek aja”. Jawabya tidak bersemangat yang semkin menyiratkan bahwa dia sedang memiliki pikiran yang tidak mau dibaginya kepadaku dan juga kepada ibu.
“Beneran gak apa-apa Nal?”
“Iya kak, Nalu gak apa-apa, mendingan kaka istirahat aja sana kasihan kak egi baru pulang kerja langsung jemput Nalu ke rumah sakit, pasti kak capek kan!”.
“Yaudah kalo gitu, kak istirahat dulu ya Nal, kamu juga jangan idur kemaleman, biar cepet sembuh.”.

ЖЖЖЖЖ

          Pagi-pagi sekali ibu sudah membangunkanku lengkap dengan air mata yang masih menetes dan mata yang sudah sembab.
“Gi, bangun di, Nalu gi, Nalu!”
“Ada apa sama Nalu bu..??”. karena ibu terus menangis dan tidak ada jawaban satu patah katapun yang keluar dari mulut ibu, akupun segera lari ke kamar Nalu yang kebetulan dekat dengan kamarku.
          Setibanya di kamar Nalu detak jantungku serasa berhenti berdetak, tubuhku lemas, dan air mataku pun jatuh setetes demi setetes dan akhirnya deras.
          Aku menangis sekencang-kencangnya hinggpa para tetangga yang kebetulan mendengar tangisanku berbondong-bondong dating kerumahku untuk melihat ada apa sebenarnya.
          Nalu sudah tiada. Ya allah apakah ini sudah takdir darimu? Jika ini memang cobaan yang dating darimu aku ikhlas menerimanya. Ya allah tenangkanlah jiwa Nalu di alam sana. Aku belum sempat membuagtnya bahagia ya allah, sampai akhir hayatnya. Aku sangat menyesal, tapi kenapa?, kenapa harus Nalu, kenapa bukan aku saja yang kau ambil nyawanya, biarkan Nalu hidup di dunia ini.
“Gi, sudah yuk, enggak baik nangisin terus orang yang udah enggak ada Gi,?” ajak ibu.
“Nanti saja bu, egi masih mau nemenin nalu disini”.
          Tak lama waktu berselang dari kepulangan ibu, hujan pun turun dengan derasnya, diiringi suara petir yang menyambar bersahut-sahutan. Sekali lagi, tangisku pecah dalam bingkaian air hujan dan petir.
          Ya, suara petir mengiringi kepergian adikku Nalu.

~* END *~


Nama : Zainal Abidin
TTL : Palembang, 24 oktober 1994
alamat : perum pondok damai, Jl. satria Blok E4 no13 Rt 06/12.cileungsi-bogor 16820

facebook : zainal vierharp gleek's
twitter : @zainalvierharp
twatter : zainal abidin
kalo di search gak ketemu, searchnya pake email aja.
email : zainal90@ymail.com