Mar 15, 2011

Cerpen GURU

Oh, senangnya dapat kiriman cerpen bertema "GURU" dari Ni Galuh Ginanti. Sebab, kebanyakan cerpen yang masuk sebelumnya bertema percintaan dan persahabatan. Seperti cerpen cinta dan cerpen sahabat beberapa waktu lalu. Maka Cerpen guru ini semoga bisa memberi suasana dan perenungan baru bagi para penikmat cerpen di Gen22 blog.

GURU
oleh: Ni Galuh Ginanti


          “Aku harus membawa cita-citaku pulang, Oa,” ucapku saat langkahku berusaha menyejajari langkahnya yang tergesa-gesa.
          “Percuma saja kau mendikte rincian cita-citamu yang segunung itu padaku. Kau tidak akan dapat ilmu soal cita-cita dariku, kau tahu?” Nada tenang namun sinis terlontar dari mulut Oa yang tak henti mengoceh. “Lupakan saja cita-citamu. Cari uang yang banyak,” lanjutnya.
          Uang? Apa pula ini? Tidak bisakah melakukan sesuatu tanpa benda edan yang satu ini?
          “Aku bersekolah mencari kepuasan, Oa. Uang tidak bisa menjadi pemuas!”
          Oa berhenti. Ia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. “Oh, begitu? Apa kau sadar, uang yang akan menyekolahkanmu? Bukan aku! Apa sekarang kau bisa katakan kalau uang tidak bisa menjadi pemuas?” Suara Oa meninggi. Lalu, dilanjutkannya ketika ia telah mengambil cukup nafas untuk mengomel lagi,” Memangnya kau bisa membuktikan padaku, secepat apa kau bisa membeli makanan dengan tumpukan kumpulan sajakmu yang tak laku-laku itu, heh? Apa kepuasan kau dapat saat kau kelaparan dan tak punya uang untuk membeli makanan? Dengar, kita bertahan hidup dengan uang, bukan dengan rangkaian kata-kata hiperbola macam sajak-sajakmu. Kau tak bisa berkoar-koar panjang membaca puisi di tengah laut tempatku bekerja lalu semua orang bertepuk tangan, dan mereka memberimu uang karena kau dianggap menghibur! Kau tidak sedang berada di dalam bar seperti yang ada di kota-kota besar! Tidak akan dan tidak pernah sama, Ata. Tidak segampang menjentikkan jari!” Ia kemudian mendengus, lalu kembali melangkah dengan irama secepat sebelumnya.
          Aku diam. Aku mengerti kenapa Oa menjadi sangat sensitif terhadapku, juga terhadap uang. Karena kami bernasib sama. Ya, kami budak uang. Tidak, tidak hanya kami. Aku butuh uang. Oa butuh uang. Hidup kami bermasalah jika tak ada uang. Bukankah orang lain juga begitu? Bukankah orang miskin juga begitu? Bahkan orang kaya bisa menginginkan lebih dari itu. Orang miskin perlu uang agar bisa mencukupi kebutuhan hidupnya, biar tak mati. Orang kaya juga masih memerlukan uang, ah, entah untuk apa. Sampai-sampai untuk mengejar ‘sang uang’ memerlukan banyak cara kotor yang tak masuk akal. Sekejam itukah uang hingga mampu mengacaukan nalar seseorang?
          Lupakan soal uang. Aku tak mau memperpanjang perdebatan sia-sia ini bukan hanya karena aku juga butuh uang seperti Oa. Tapi aku juga sangat ingin didengarkan, dan aku butuh cara untuk merealisasikan cita-citaku. Maaf, Oa. Hanya denganmu aku bisa berkeluh kesah hari ini. Tapi aku tak menyangka, responmu terlalu sulit untuk kuterima. Aku juga tak mengerti kenapa setiap orang yang marah memberikan penjelasan yang panjang lebar, dan dengan nada suara yang tinggi. Tak bisakah menyabarkan diri hanya untuk lima menit saja? Toh tempat kerjanya tak akan lari ke tengah laut, kalau alasannya ‘sudahlah, ngomongnya nanti saja. Aku mau pergi bekerja’. Lagipula, ia tak akan dihukum mati karena terlambat, kalau alasannya ‘aku sudah menghabiskan seperempat pagiku dengan membicarakan hal yang mubazir seperti ini, dan aku pasti terlambat’. Padahal ia hanya membuang setengah menit dari lima menit yang aku minta.
          “Aku sedang tidak bernafsu mendengar keluhan apapun. Jadi maaf, Ata. Mengeluhlah pada gurumu di sekolah. Aku rasa dia lebih mengerti,” ujarnya sinis. “Kalau saja pak RT tidak menyuruhmu bersekolah, aku tak akan menyekolahkanmu karena seperti tebakanku, sekolah malah membuatmu ketergantungan.”
          Apa? Ya Tuhan, sepicik itukah pemikirannya? Aku ingin membalas, mencoba menaikkan nada suara satu oktaf mungkin membuatku sedikit lega. Tapi ia bergegas pergi tanpa menoleh lagi. Baiklah, aku rasa aku berada di waktu yang salah. Hari ini bukanlah waktu yang tepat untuk berkeluh kesah pada si ceking Oa.
          Nama lengkapnya Samoa. Ya, hanya itu. Pantas saja, lelaki ceking itu selalu berpikiran pendek. Dengan kata lain, menggampangkan hal yang rumit. Untungnya ia tidak pernah memikirkan untuk mengembalikan nyawanya ke alam baka dengan cara yang pendek. Atau mendapatkan uang dengan jalan pintas. Aku tahu, ia seorang pekerja keras. Tetapi ia selalu bermasalah dengan uang. Bahkan uang senilai satu sen! Oa tidak pernah menghargai sebuah nilai keterampilan apa pun. Asal uang dalam genggamannya, entah dalam jumlah yang sedikit atau banyak, saat itu juga ia merasa dirinya bak raja yang dikelilingi sepuluh bidadari. Karena artinya, Oa bisa hidup tenang meski hanya untuk beberapa jam ke depan. Tidak akan kelaparan, dan bisa menghidupiku seperti biasa.
          Jadi, aku terpaksa pulang. Menunggu Oa kembali dari kehidupan lautnya di Kampung Apo, perkampungan nelayan. Ketika Oa kembali pukul tujuh malam, aku bungkam. Karena aku tahu, kalau aku mengoceh soal sekolah dan serentetan cita-citaku, seperti biasa, Oa pasti akan membalas nyinyir.

 ***
          Pak Nardiguruku, datang tepat pukul lima. Beliau membawa tas hitam lusuh kebanggaannya, dengan dua buah novel dan sebuah buku sajak yang sampulnya usang. Ah, pasti ia habis mengajar di pondoksebuah tempat perkumpulan anak-anak di bawah umur yang belajar sehabis bekerja. Memang beliau yang mendirikannya, setelah setengah mati menjamin kepada orang tua mereka kalau anak-anak itu tidak akan terganggu pekerjaannya. Namun anggotanya berkurang sedikit demi sedikit, karena orang tuanya berpikiran sama seperti Oa. Takut anak-anaknya akan ketergantungan pada buku-buku dan sekolah. Hal tersebut menjadi momok bagi pak Nardi. Saat seorang murid merengek meminta buku bergambar pada orang tuanya, orang tua murid yang lain langsung meminta anak-anak mereka mundur teratur. Sekarang, anggotanya berjumlah 5 orang tersisa, dari 25 orang enam bulan yang lalu. Ah ya, aku ‘alumni’ pondok tersebut.
          “Untukmu,” katanya ketika aku hendak bertanya. “Biar usang, yang penting masih bisa dibaca. Aku tahu kau pasti bosan dengan buku yang sudah-sudah.”
          Aku memekik girang dalam hati. Pikiranku melayang pada Oa. Ia tak pernah sekalipun menyisihkan sepersekian rupiah uangnya untuk membelikanku macam buku apapun di tukang buku bekas keliling. Aku benar-benar merasa dihargai ketika Pak Nardi memberinya. Meski aku selalu berharap buku itu adalah pemberian Oa.
          “Terima kasih banyak, Pak,” kataku sopan. “Karena Bapak, saya bisa menghibur diri sendiri sewaktu saya dihadapkan oleh kenyataan kalau saya…” aku diam menelan ludah. Rasa pahitnya menjalar sampai ke tenggorokan.
          “Saya mungkin tidak bisa melanjutkan sekolah. Kami kekurangan biaya.”
          Pak Nardi terlihat kecewa, namun cepat-cepat ditepisnya rasa kecewa itu dengan menghiburku. “Barangkali lain kali, Nak. Setelah kamu berpenghasilan seperti yang diinginkan ayahmu.”
          “Kata Oa, tidak ada lain kali, Pak. Tak ada besok, seminggu lagi, atau tahun ajaran baru bulan depan. Lagipula, kalau aku bekerja, aku masih perlu makan. Penghasilanku nanti hanya cukup untuk makan.”
          “Tapi kau pintar, Nak…”
          Hening. Kami kehabisan kata-kata untuk menjabarkan betapa aku sangat ingin melanjutkan sekolah. Kata Pak Nardi, aku terampil di dunia tulis menulis. Tapi sudahlah. Memang benar, tak akan pernah ada lain kali. Memangnya aku bisa melanjutkan saat aku umur berapa? Setelah aku berpenghasilan berapa? Tahun berapa? Semuanya hanya mimpi. Kata hanya itu selalu kugarisbawahi. Keyakinan akan sebuah mimpi tak akan bisa diubah jika fakta yang sesungguhnya tak pernah bisa diajak kompromi. Kenapa setiap orang diharuskan untuk memiliki mimpi kalau tak bisa dicapai? Apa artinya cita-cita untuk orang melarat sepertiku? Bagiku, cita-cita kini sudah tak ada artinya. Tinggal aku yang pintar-pintar memilih, karena hidup itu memang pilihan. Aku melanjutkan sekolah atau aku kelaparan. Semudah itu! Pilih A atau B, lalu habislah perkara. Tapi aku tak pernah tahan dengan resiko setiap pilihan yang kuambil. Ah, mendadak hidup menjadi sulit. Atau mungkin aku yang baru menyadarinya?
          Ketika Pak Nardi hendak pamit pulang, Oa datang dengan menenteng tas plastik hitam hasil membanting tulang di lautentah apa isinya. Aku sempat melihat mereka bertemu pandang. Dan Oadengan mulut pedasnya, melawan pandangan Pak Nardi dengan satu kalimat sinis,”Jangan hasut anakku dengan pelajaran tak bergunamu itu, Pak Guru. Kami tak punya uang. Bawalah kembali buku-buku itu bersamamu. Anakku tak butuh benda macam itu! Urus saja anakmu. Sekolahkan dia baik-baik, karena kau menginginkannya. Kita beda prinsip, dan aku tak bisa membiasakan diri dengan segala prinsip yang ada di kepalamu. Kau tahu, kami miskin. Kau tahu alasanku melarangnya untuk sekolah, bukan?”
          Aku terhenyak mendengar suara Oa tak selembut biasanya. Meski nada sinis masih kental kudengar, tapi suara Oa barusan bergetar seperti menahan tangis. Oh, tidak, tidak. Mungkin aku salah dengar.
          Aku melirik pak Nardi. Beliau tetap tenang. Mungkin sudah terbiasa menyaksikan reaksi orang tua murid mereka yang tak ingin anaknya mengenyam bangku sekolah. “Saya hanya mengajarkan bagaimana cara anak Anda berbicara, untuk tidak seperti ayahnya. Saya tidak pernah menghasut siapa pun, dan anak Anda tidak pernah merasa terhasut oleh saya. Ia punya kehidupan sendiri, Pak. Jadi jangan halangi anak Anda untuk menentukan pilihan hidupnya kelak. Dan buku-buku ini, tidak akan saya tarik kembali. Itu sepenuhnya hak milik anak Anda. Jangan pernah samakan hidup Anda yang Permisi.” Pak Nardi meninggalkan Oa yang emosi, dan aku yang kebingungan. Duh, Tuhan, apa lagi ceramah Oa yang harus aku dengarkan hari ini?
          Mereka memang mempunyai andil dalam kehidupanku. Pak Nardi yang memberiku wejangan-wejangan, sementara Oa, menafkahiku untuk tetap meneruskan sekolah hanya sampai saat ini. Tapi Oa tidak pernah merestui apa yang menjadi pilihanku. Mereka adalah guru, dan aku harus dan sangat menghormatinya.
          Ya, mereka masing-masing adalah seorang guru. Hanya saja, mereka adalah dua orang yang hanya berbeda profesi.
          Oa membuyarkan lamunanku dengan tepukan kecil di pundak. Suaranya melunak.
          “Jadi, kau hanya tinggal memilih, Nak. Kau tahu, hidup itu memang untuk memilih...” Kalimat Oa menggantung. Oa menghembuskan nafas panjang.
          Aku menunggu kalimat Oa selanjutnya. Apakah Oa sadar saat pak Nardi berkata demikian? Mungkin ini adalah saat yang kutunggu-tunggu. Oa akan sadar!
          “Mau aku kirim ke jermal, atau bekerja di toko Koh Apung. Aku tunggu jawabanmu besok pagi. Sekarang tidurlah.”
          Ucapan tenang Oa ternyata membuatku mati rasa.

~~000O000~~


catatan :
*jermal = tempat penangkapan ikan besar-besaran yang ada di tengah laut, biasanya mempekerjakan anak-anak di bawah umur.

Baca juga kumpulan cerpen karya Ni Galuh ginanti yang lain dalam Cerpen "Dia Sang Abstrak" dan Cerpen "LUCAS".