Mar 21, 2012

KEMBANG LAYU DI BULAN

KEMBANG LAYU DI BULAN
Oleh : Respati Zenar

Aku tak bisa menggambarkan betapa cantiknya benda yang bergantung di langit itu, sungguh luar biasa indahnya, tampak seperti wajah bidadari dalam setiap hayalan tidurku. Bersinar terang memancar sempurna sekali. Bulat tanpa cacat sedikitpun. Andaikata disandingkan dengan benda apapun di muka bumi ini, tidak ada yang bisa mengalahkan kecantikanya selain yang menciptakan benda itu sendiri. Walau sesekali pernah tertutup oleh kabut asap dari hutan. Sungguh maha karya yang sangat sempurna dan abadi sepanjang masa.

KEMBANG LAYU DI BULAN
Di ujung sebuah pulau yang jauh dari hiruk pikuk suasana kota yang memabukkan, di bawah cahaya purnama tampak kesibukan masyarakat pesisir yang sedang berpesta merayakan hasil panen padi yang melimpah, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Berkumpul di tanah lapang dengan iringan sebuah rancak melayu yang merdu dari alunan musik lesung kayu yang diisi dengan padi, dan dimainkan oleh gadis-gadis desa dengan ritme yang teratur, membuat suasana semakin meriah. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari ikut bersuka ria. Para pemuda memperhatikan gadis-gadis desa yang sedang menumbuk padi itu dengan isyarat bahasa tubuh yang dibuat sedemikian untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Sesekali gadis-gadis itu memalingkan wajahnya dengan tersenyum dan tersipu malu. Sementara sambil menyanyikan rancak melayu, Alok Galing.

Alok galing lassong-lassong gambang
Menumbok emping berkawan-kawan
Alok galing lassong-lassong gambang
Menumbok emping bettarang bulan
Bilelah padi menguning nak masak
Ramailah urang di dese
Iellah musimnye si anak dare
Riuh semarak mengamping
Riuh semarak mengamping

Seakan tahu dengan suasana hati yang sedang bergembira, sang purnama senantiasa setia menemani sampai malam tanpa lelah. Moment ini selalu dilaksanakan setiap habis panen raya, dan sering disebut dengan Aluk Galing. Adat kebiasaan ini merupakan kesempatan sebagai ajang mencari pasangan atau jodoh bagi pemuda pemudi dari kampung lain. Dan setelahnya mereka akan berlanjut untuk merajut kelangkah yang lebih serius dengan ikatan sebuah keluarga.

Kembang yang menjadi pusat perhatian para pemuda kampung, merupakan salah satu diantara penembang rancak melayu itu. Dengan wajahnya yang ayu ditambah dengan sifatnya yang santun sungguh membuat sempurna dirinya sebagai kembang desa yang bisa memikat sang kumbang manapun. Dan kumbang desa yang terpikat adalah anak seorang saudagar ikan dari kampung tetangga yang sedang kuliah di kota. Kumbang pulang kampung dalam rangka mengisi liburan. Perkenalan singkat itu adalah awal dari perjalanan Kembang.

Semenjak pertemuan itu Kumbang selalu rajin datang main kerumah. Setiap ada acara hiburan di kampung, mereka selalu berdua, layaknya pasangan lagi di mabuk asmara. Sebuah kebanggaan bagi orang tua kalau anak gadisnya menjalin kasih dengan pemuda tampan dan berpendidikan seperti kumbang. Namun disisi lain ia juga merasakan sebuah kekhawatiran. Dikampung status sosial masih dijunjung tinggi.

Di bawah kilauan cahaya purnama, sang kumbang berjanji pada kembang bahwa ia akan setia dan tidak akan ada hal yang bisa memisahkan mereka. Kembangpun seia sekata, ia berjanji hanya kepada Kumbang sari madu akan diberikan. Dengan mengepakkan kedua sayap akhirnya kumbang hinggap di kelopak kembang dan menghisap sari madu dengan puasnya. Dan madu itu dihisapnya terus menerus oleh kumbang setiap hari sehingga sampai pada puncak kejenuhan. Lalu janji yang ikrarkan oleh kumbang diingkarinya, kemudian meninggalkan kembang begitu saja.

Dalam Kembang terdapat putik yang telah terdapat biji yang merupakan benih hasil buah dari cinta mereka. Keluarga besar kumbang yang menganggap paling tinggi derajatnya itu tidak mau bertanggung jawab. Ini karena perbedaan status yang sangat jauh. Dan Kembangpun tidak bisa berbuat dan beraharap banyak. Demi menutup aib dan menjaga martabat serta harga diri akhirnya kembang dikawinkan dengan kumbang lain yang bekerja sebagai penebang kayu dipedalaman, sebutan mereka adalah pekerja PT. Dan kembang diboyong ikut ke barak dipenebangan kayu. Jauh masuk kedalam hutan. Tragis!

Nasib memang tidak bisa ditebak, dan sebaik yang diharapkan. Dibarak penebangan kayu yang mayoritas kaum kumbang itu, dibawah tamaram sinar purnama kembang terpaksa menjadi barang mainan yang boleh dimainkan oleh siapapun. Ini adalah konsekuensi sebagai bahan taruhan kalah berjudi oleh pasangannya. Berminggu-minggu ia harus melayani dari dekapan satu kedekapan lain, hingga akhirnya putik yang tertanam benih itupun layu dan gugur sebelum waktunya.

Di bawah sinar purnama kembang memberanikan diri untuk keluar dari sarang jahanam itu. Ia berlari sekuat mungkin. Semak berduri tidak dihiraukanya. Namun ia bingung mau pulang kemana. Untuk pulang kerumah jelas tidak mau menanggung resiko, lari keluar kampung tidak ada yang dituju. Ia memutuskan ingin pergi sejauh mungkin dari tempat itu. Ia tersandar pada tiang ditepi pelabuhan, kembang layu dihembus sumilir angin laut bercampur kabut. Bagai kisah klasik melayu.

***
Tiga belas tahun wajah rembulan itu tidak berubah, bulat sempurna bersinar terang bagaikan wajah bidadari dari langit seperti hayalan yang dari dulu. Namun cahaya purnama itu tidak bisa menembus sebuah kaca jendela yang dilapisi tirai lembut warna marun. Sesekali tirai itu bergerak perlahan terkena hembusan angin dari desah nafas seorang perempuan. Guratan samar di wajah perempuan itu tetap tidak bisa menyembunyikan bekas kecantikannya. Pada masa itu dia adalah gadis belia berumur empat belas tahun dan predikat kembang desa tersemat pada dirinya. Sarah adalah pemilik wajah itu.

Disebuah kamar yang serba Lux terpampang sebuah TV plasma yang menayangkan program pertukaran seni dan budaya antar negara. Gadis-gadis cantik itu sangat lincah membawakan tarian yang dipadu dengan gerakan alat tradisional. Rancak melayu berkumandang sangat merdu seiring seirama dengan gerakan gemulai para penari. Sarah seakan menemukan dirinya dalam rombongan penari itu. Dan ia hapal benar dengan lagu yang dinyanyikan. Sesekali bibirnya bergerak lembut mengikuti lirik syair Alok Galing.

Sekarang ia bukan lagi Sarah sang kembang yang hanya bisa menaklukan kumbang-kumbang desa. Di ibu kota ini ia bisa menaklukkan kumbang-kumbang liar walaupun harus bermandi peluh, namun walaupun demikian ia merasa puas. Mandi peluh itu tergnatikan dengan lembaran-lembaran kertas merah yang sangat berharga nilainya. Soda dan asap rokok adalah teman sehari-harinya. Mall tempatnya berbelanja barang-barang berkelas. Sedangkan tempat hangoutnya di café-cafe dan diskotik. Kamar hotel adalah tempatnya menjaring lembaran kertas-kertas merah yang bernama rupiah.

Ia tidak pernah lagi melantunkan shalawat badhar, lagu-lagu melayu yang merdu apalagi melantunkan ayat-ayat suci yang biasa dilakukannya di surau kampung setiap habis magrib. Sarah sekarang penampilannya seksi, gaya keseharianya adalah rok mini, baju tangtop, sepatu high hell, kacamata yang lebarnya hampir setengah wajah, rambut selalu mengikuti trend terkini dan selalu harum dengan minyak wangi kelas jetset. Sedangkan Sarah yang dulu wajahnya ayu alami tanpa polesan apapun. Selalu memakai baju kurung, selendang selalu diatas rambutnya dan melingkar keleher. Sifatnya selalu santun dengan senyuman yang selalu dibawanya setiap bertandang kerumah tetangga.

Kini ia merasa rindu akan semua itu. Rindu akan purnama dikampungnya. Walaupun sekarang dirinya berlimpah harta namun hatinya selalu kosong dan kering. Ia telah mencapai titik jenuh. Semua itu hanya semu. Kerinduan itu telah membawa Sarah untuk meninggalkan apartemen mewah hadiah dari kekasihnya yang merupakan seorang bos besar di ibu kota ini. Dengan syarat ia harus mau menjadi barang simpanan yang bisa dipakai kapanpun diperlukan.

Sementara seorang laki-laki gagah dan tampan sedang berpesta ditemani oleh bidadari malam. Lelaki itu wajahnya sangat familiar. Sering wara wiri di layar kaca. Satu tanda tangan sangat berharga darinya. Baju safari dengan dasi berkelas selalu melekat dibadanya. Aktivitasnya selalu mengikuti berbagai rapat sidang. Kursi empuk yang merupakan titipan rakyat selalu membuatnya mengantuk seperti badut yang biasa lagi manyun, lupa akan tanggung jawab yang dimandatkan kepadanya. Dia adalah salah seorang anak saudagar ikan yang datang dari pelosok kampong yang seolah sudah merasa dirinya hebat.

Berita pagi disemua media mengenai tewasnya seorang pejabat dan perempuan disebuah kamar hotel menjadi topik utama. Seorang pejabat tersebut diduga tewas disebabkan serangan jantung. Sedangkan seorang perempuan yang bersamanya dengan dugaan sementara karena over dosis. Keduanya tanpa selembar benang dan juga bukan pasangan sah. Tidak ada tanda-tanda kekerasan disekitar tubuh. Saksi mata mengatakan sebelum kamar tersebut ditempati oleh kedua mayat, seorang perempuan telah menyewa kamar tersebut.

***
Tince sukarti binti Mahmud
Kembang desa yang berwajah lembut
Kuning langsat warna kulitmu

Lagu lawas milik Iwan Fals yang dinyanyikan anak-anak di ujung gang Harapan itu seakan menyindir hatinya. Dikontrakan sederhana yang telah disewa untuk sementara, ia telah memantapkan diri untuk menjemput purnama di kampungnya. Purnama saksi bisu janji-janji manis pujaan hati yang pada akhirnya telah menghempaskan menuju jurang yang dalam dan sekarang mungkin sudah tersungkur didasar neraka. Purnama memang terlalu indah untuk dikenang.

“Aku berjanji akan selalu datang untukmu setiap akhir bulan dan setiap ada liburan, adik tidak usah khawatir, kita akan selalu bersama, tunggu abang selesai kuliah.”

Itulah janji Bujang sang kumbang desa yang bisa menaklukkan hati kembang, setelah berhasil menghisap sari madunya di sebuah gubuk tempat menunggu padi dibelakang rumahnya.

“Aku berharap kamu tidak mengingkari janjimu itu.”

Sambil terisak kembang menyandarkan diri didada bidang milik kumbang.

Semenjak itu setiap hari kembang merajut kasih dengan kumbang, sampai tetes terakhir madu yang ada pada dirinya, hingga akhirnya kumbang pergi ke kota dan meninggalkan selamanya. Namun ia tetap menantikan kehadiranya di depan rumah panggung tua seperti saat-saat kumbang datang untuk mengajaknya berjalan disekitar pematang sawah.

Kembang desa layu
Tak lagi wangi seperti yang dulu

Jam dinding menunjukkan pukul setengah tiga malam. Sayup-sayup lagu itu masih terdengar di telinganya. Sekarang cahaya purnama itu bisa menembus jendela kamar yang sengaja disibaknya. Ia bisa menyaksikan indahnya cahaya purnama. Purnama itu tetap seperti yang dulu tidak berubah sedikitpun. Namun kembang yang dulu ayu itu telah layu tanpa madu.

Jemari itu bergemetar membuka lembaran-lembaran kertas yang dipangkunya. Bibirnya mulai melantunkan kalimat-kalimat penenang hati yang sudah lama ditinggalkanya. Suaranya parau namun masih jelas.

Di bawah tamaram sinar purnama, ia bermunajad dengan khusuk, merenungi nasib yang merundunginya. Kabut di matanya terlalu tebal, sehingga menjadi sebuah mendung. Semakin lama mendung di matanya tidak bisa ditahan dan akhirnya mengalir membasahai alas sujud di bawahnya. Ia tidak tahu untuk apa air mata itu mengalir. Andaikan air mata itu untuk menghapus noda-noda yang melekat padanya, ia terlalu pesimis karena terlalu hitam noda itu dihapus dengan air mata untuk menjadi putih. Didalam munajadnya ia berharap masih ada setitik cahaya yang bisa meneranginya.

Di luar, purnama tersenyum lewat cahayanya yang sempurna.
*****


*Respati Zenar adalah nama pena dari Sukamto Prasetyo
Penulis adalah Alumni STIT Singkawang. Penikmat seni. Hobby menulis sejak SMP. Beberapa cerpenya dimuat di Annida, Cempaka, Pontianak Post, Radar Banyu Mas. Sekarang mengabdikan dirinya untuk mengajar anak-anak Indonesia di Malaysia. Dan masih mengejar mimpinya jadi seorang penulis.
E-Mail : nun_walqalami@yahoo.co.id


Identitas Penulis :
Nama : Sukamto Prasetyo
TTL : Klaten, 24 April 1982
Alamat : Jln. Ratu Sepudak, Sei Garam Hilir
Komp. BTN Polri No. 37, RT.12/RW.04
Singkawang Utara, Singkawang
Kal-Bar. 79521