Jan 23, 2011

Cerpen "Susahnya Minta Maaf"

Cerpen kali ini merupakan cerpen kiriman dari Nita Widya Ratna. Masih ingat sama Nita kan? Selain menulis Cerpen, Nita juga penulis puisi, puisinya bisa dilihat dalam "Puisi cinta Nita Widya Ratna". Salah satu cerpennya juga pernah dimuat di blog ini (baca: Cerpen Remaja: Lagu Terakhir Untuk Ita).

Susahnya Minta Maaf
oleh: Nita Widya Ratna

Hari mulai sore, tapi Ita masih berada di kelas praktiknya. Pikirannya sudah tidak menyambung dengan pelajaran yang diberikan, matanya terus tertuju pada handphone miliknya yang sejak tadi terus bergetar karena ada telepon masuk.

“Udah, di angkat aja teleponnya” ucap Imas yang duduk di samping Ita.

“Tapi gue takut ketahuan, nanti gue di usir keluar kan nggak lucu” sahut Ita yang masih sibuk mengetik SMS.

“Emang telepon dari siapa, sih?” sambung Evi yang ikut penasaran.

“Ini si Yudi telepon, dia udah tungguin kita di luar.”

“Bilang aja tunggu sebentar, 10 menit lagi kita juga pulang.”

Telepon itu berhenti bergetar, digantikan getar SMS yang langsung di buka oleh Ita. Belum sempat dia membaca SMS itu, pengawas praktikum sudah berjalan mendekat ke arahnya, dengan terburu-buru dia memasukkan HP itu ke saku roknya.

Sepuluh menit kemudian Ita dan teman-temannya keluar dari ruang praktikum. Dia membuka HP-nya dan membaca pesan yang tadi belum sempat di bacanya.
Gue tunggu 10 menit, lebih dari itu gue pulang
Setelah membaca SMS itu, Ita langsung berlari menuruni anak tangga tanpa merapikan bajunya, bahkan rok yang tadi baru di gantinya juga masih bersandar dengan nyaman di lengan Ita. Sesampainya di luar kampus Ita mencari sosok Yudi, orang yang dari tadi menelponnya. Tapi sosok yang dicari tidak ada, baru saja Ita ingin menelpon tiba-tiba ada yang memanggilnya.

“Gue kira lo udah pulang” ucap Ita ketika melihat seorang cowok yang melambaikan tangan kepadanya.

“Kalau lo telat lima menit lagi gue bener-bener pulang. Lagian lama banget sih? Emang ngapain aja di kampus? Bete tahu tunggu sendirian” omel cowok yang bernama Yudi itu.

“Iya, maaf. Tadi gue praktikum jadi nggak bisa keluar cepat. Lagian lo kan cuma gue minta tunggu setengah jam. Gitu aja protesnya udah kayak anggota DPR nggak dapat gaji. Waktu itu gue tunggu lo satu setengah jam nggak bawel kayak lo” sahut Ita lebih kesal daripada Yudi.

“Iya, iya. Kenapa jadi gue yang dimarahin, sih?”

“Lagian lo duluan yang mulai. Gue masih ngos-ngosan nih.”

“Emang lo ngapain sampai ngos-ngosan gitu? Lo lari?”

“Ya iyalah, emangnya gue ngesot. Lagian lo bilang mau pulang, gue jadi lari-lari sampai lompatin anak tangga segala.”

“Salah sendiri, gue kan nggak nyuruh lo lari. Ya udah, ini pesanan lo, kurang nggak?” tanya Yudi sambil memberikan bahan untuk tugas makalah Ita.

“Enggak, ini udah cukup. Lo ikhlas? Minta bayaran nggak nih?”

“Enggak, Yudi ikhlas kok” sahut Yudi.

“Thank’s, ya,” ucap Ita, “ngomong-ngomong komik gue mana? Kok nggak balik? Kasihan temen-temen komik yang lain cariin dia” lanjut Ita.

“Iya, Yudi lupa. Tadi buru-buru kesini jadi lupa bawa komiknya. Besok aja gimana?” tanya Yudi.

“Ya udah, SMS gue kalau mau ke kampus, ya.”

“Lho, jadi lo udah disini? Gue kira lo kemana tiba-tiba menghilang gitu” ucap Evi yang datang bersama Imas dan Mita.

“Sorry, soalnya tadi Yudi bilang mau pulang, makanya gue buru-buru kesini buat ambil tugas kita” sahut Ita.

Seperti Ita tadi, Evi dan kedua temannya ikut menyalahkan Yudi yang terlihat buru-buru sekali. Tapi Ita menghentikan debat mulut yang sebenarnya cuma bercanda itu. Setelah itu ketiga sahabat Ita pergi meninggalkan Ita yang masih berdiri diam disamping Yudi.

“Ita mau pulang?” tanya Yudi.

“Ya iyalah, masa gue mau menginap disini” sahut Ita.

“Pulang sama siapa? Ada temannya kan?”

“Gue aja nggak tahu mau pulang sama siapa. Gue nebeng motor lo sampai lampu merah, ya” ucap Ita.

“Maaf, Ta. Bukannya Yudi nggak mau, tapi gue mau ke rumah temen gue, soalnya udah sore nih” sahut Yudi.

“Gue kan nggak minta anterin sampai pulang. Cuma minta anterin sampai lampu merah, nanti gue naik angkot dari situ.”

“Yah, maaf banget, ya, gue nggak bisa. Emangnya lo nggak ada teman bareng gitu?”

“Kalau ada gue juga nggak akan minta anterin lo. Ya udahlah, kalau nggak mau. Nggak apa-apa kok” sahut Ita yang terdengar jutek.

“Ita marah, ya? Maaf banget, ya.”

“Ya udah, pergi sana. Lo mau ke rumah teman lo kan?”

“Nanti aja, deh. Gue tungguin lo sampai ada temannya dulu.”

“Sampai kapan lo mau tunggu? Gue kan udah bilang, gue nggak ada teman pulang. Udah pergi aja sana!”

Waktu seakan berhenti saat kedua insan itu sama-sama diam. Ita memalingkan wajahnya membelakangi Yudi yang berdiri di belakangnya.

“Ya udah, gue aja yang pergi duluan!” ucap Ita sambil pergi meninggalkan Yudi yang terlihat salah tingkah.

“Tunggu aja sampai dia nengok, kalau dia nengok berarti dia minta anterin sama kamu” terdengar ucapan Pak Satpam yang dari tadi mendengar percakapan Ita dan Yudi.

“Ih, Pak Satpam ada-ada aja. Emangnya gue lagi main AADC apa, kayak adegan Cinta nengok gitu? Berharap Rangga menghampiri terus mengantarkannya pulang. Ih, ogah, deh” batin Ita.

Dan ternyata Ita memang tidak menengok ke arah Yudi, dan Yudi juga tidak mengejar Ita. Hal itu membuat Ita kecewa. Walaupun tidak terlalu berharap Yudi akan mengantarkan dia, tapi Ita merasa kecewa karena ternyata sahabatnya itu tidak peduli padanya.

Langit mulai gelap, entah karena mendung atau karena memang sudah mulai malam. Ita berjalan sendiri menahan sesak emosi yang terus mendesak di dadanya. Rasa ingin marah itu sungguh besar, sayangnya tidak ada tempat yang tepat untuk meluapkannya. Hingga akhirnya butiran kristal bening menetes ringan di sebelah matanya, mengalir pelan ke pipinya. Pandangannya terus ke atas, berusaha menahan air mata itu agar tidak jatuh.

Dia berjalan sendirian diiringi hembusan angin dingin yang membuat penyakit yang kadang menyerang tubuhnya kembali lagi. Ita memegangi perutnya, menahan sakit. Tampaknya penyakit maag yang selama ini dia abaikan kembali lagi, dan seakan menambah kesakitan Ita, kepalanya ikut pusing. Dia berjalan dengan sempoyongan seperti orang mabuk, berusaha menahan sakit yang terlihat sangat menyiksanya.

Ditengah semua rasa sakit itu Ita ingat pada Yudi, sahabat yang di sayanginya. Tapi ternyata tega mengecewakannya dan membiarkan dirinya dalam kesakitan yang harus ia tanggung sendiri. Kekesalannya memuncak. Dia memutuskan tidak akan bicara pada Yudi sampai cowok itu datang dan minta maaf padanya.

Hujan yang turun dengan ringan menemani kesedihan Ita, dan seakan menggantikan air mata yang enggan dikeluarkan Ita. Mendung juga seakan mengisyaratkan langit yang ikut bersedih untuknya, dan nyanyian angin yang dingin membuat Ita merasa mendengar lagu sendu alam untuknya.

õ õ õ

Tiga minggu berlalu, tapi perang dingin itu belum juga berakhir. Bukannya tidak ingin mengalah untuk mengakhiri perang itu, tapi Ita hanya ingin menyadarkan Yudi agar dia mau mengalah dan sadar akan kesalahannya. Tapi, keras kepala cowok itu tidak dapat dihancurkan, bukannya minta maaf dia malah seakan balik menyalahkan Ita.

Ita yang tidak mampu berbuat apa-apa lagi memutuskan untuk membiarkan waktu yang menyadarkan sahabatnya itu. Usaha terakhirnya adalah menulis seruan di facebooknya.
Nggak tahu lagi gimana caranya buat lo sadar, kenapa lo nggak mau ngalah dan minta maaf? Apa harus selalu gue yang mengalah dan baikin lo?? Apa segitu sulitnya minta maaf buat lo?? Sadar donk lo itu cowok
Karena cowok itu belum juga berubah, Ita pun diam dan menganggap hal ini tidak pernah terjadi. Dari lubuk hati yang paling dalam dia sudah memaafkan Yudi, bahkan dia juga sempat minta maaf pada Yudi yang memang di balas lewat SMS, tapi yang Ita inginkan Yudi meminta maaf langsung di depan Ita. Tapi ternyata hal itu tetaplah menjadi suatu harapan yang tak juga jadi kenyataan.